Search

27 Jan 2009

PERADABAN YANG MENYIKSA


Seorang kawan merasa dianiaya sepatunya. Loh?

***

REKAN ini, reporter sebuah TV swasta nasional, tadi ribut sendiri. Ia mencampakkan sepatu butnya ke lantai, lalu menyumpah serapah. “Bedebah! Bikin gue senewen neh sepatu!”

Saya menahan ngakak. Lalu menyelidik. “Emang kenapa dengan sepatumu?” Tanya saya.

“Menebar bau! Kaki gue yang butut atau sepatu ini ya biang keroknya? Bini gue suka ngomel setiap sepatu ini gue lepas!” Semprot pria Betawi ini, seraya menuding sepatu yang harganya saya taksir di atas 500 ribu rupiah itu. Saya pun tak lagi bisa membendung tawa.

Sepatu. Uh, saya jadi ingat 1977-1983, saat SD. Di pelosok Demak, Jateng, nun jauh dari hingar bingar kota, saya melahap lumpur tanpa sepatu saat berangkat-pulang sekolah. Sepatu barang langka di desa. Anak-anak sekolah tak mungkin dibalut sepatu lantaran jalan begitu telanjang dengan lumpur kala hujan, dan debu saat kemarau datang.

Tetapi, kami sehat-sehat saja! Tak ada kuman, tak ada bakteri.

Sepatu adalah peradaban, teknologi, dan kenyamanan. Tapi, menyimak kasus teman yang mengomel gara-gara sepatu, ada baiknya kita telisik fasilitas modern lain yang juga memikul 'dosa'. Mobil, pasta gigi, korek api, internet, ponsel, dan barang-barang terkini lain tampaknya memudahkan. Tapi, ayo kita teliti, apakah kemudahan itu juga menyehatkan?

Mobil, misalnya, adalah alat mempercepat. Tapi sifat “asal injak gas, duduk manis, dan tahu-tahu sampai tujuan” justru menggerus kesehatan. Jaman dulu orang kekar-bugar lantaran kesana kemari jalan kaki. Knalpot juga sumber perkara. Ozon, katanya, jadi tipis gara-gara gas yang dibuang rotasi mesin dan oli.

Telepon genggam menciptakan euforia dan praktis-manis. PRT hingga jenderal memanfaatkan modernisasi bidang informasi ini. Namun, adakah yang menyadari orang-orang menjadi kelimpungan tatkala pulsa mereka ludes, sehingga terkadang mencuri duit ibunya hanya untuk membeli pulsa? Adakah yang sadar ponsel merusak jaringan otak? Dulu, orang menyampaikan kabar cukup dengan telepon rumah, atau bahkan menembus semak belukar sehingga sehat. Tak ada niatan menjual apa saja -- termasuk harga diri maupun utang -- cuma untuk membeli telepon selular semata untuk gengsi.

Internet juga membuat orang tak sehat, kendati praktis dan menulari jutaan informasi. Tapi kita menjadi malas menulis surat dan berjalan kaki ke kantor pos. Orang enggan lagi menyambangi bis surat karena ada surat elektronika. Internet, kata seorang teman, memperbudak.

Televisi adalah jendela dunia. Tapi program-programnya meremuk mental generasi berikut. Sinetron menghalalkan kebandelan dan KDRT. Pancaran layarnya juga merusak mata. Coba kalau radio masih mendominasi. Orang dininabobokkan pergelaran wayang, melatih pendengaran, dan mengasah imajinasi.

Banyak lagi kini fasilitas yang mempercepat dan lekas. Peradaban telah melahirkan produk-produk kimiawi yang menyembuhkan dengan segera, sehingga jamu-jamu dan herbal lambat laun omong kosong belaka. Tetapi, kita lupa, makin banyak obat ditemukan, makin pula penyakit aneh-aneh datang.

Ah, saya jadi ingat waktu kecil. Setiap perut mulas, Ibu memetik daun muda jambu. Dicampuri sedikit garam, saya disuruh mengunyah sambil menyuarakan “embek” kambing. Ajaib, sejenak kemudian perut tak lagi bergejolak ...

5 komentar:

Ge Siahaya mengatakan...

Ternyata...mas ini kambing yg pinter nulis toh... Ee.ee.. Eits, saya jangan diseruduk mas!!! Haha!

goresan pena mengatakan...

mungkin benar mas... hidup saya sebagian terampas peradaban... halahhhh....

tapi satu hal yang masih saya pertahankan...menulis manual, terutama untuk sahabat...saya lebih senang via pos...apalagi yang masih pakai perangko... hayo... ada yang mau filateli?hehehhe....

Sekar Lawu mengatakan...

bener Mas, peradaban yang serba digital kadang membuat saya tak nyaman....

ika rahutami mengatakan...

setuju rif..peradaban ini muncul sejak ditemukannya mesin. semua menjadi bergerak terlalu cepat, sampai kita sendiri pun tidak siap mengikutinya.
aku paling sebel dengar ring hp di rapat... aduhhh ini mah diperbudak teknologi

Anonim mengatakan...

weh.. iya mas, dulu dengerin radio aja takutnya minta ampun..

apalagi si srintil itu...

gembungkuuuu enddiiiiii.....