“Mengapa kau pasung rembulan? Mengapa harus menjadi peselancar kabut sementara jagat raya ini indah dan benderang?”
PERTANYAAN yang menukik dan tiba-tiba datangnya. Ia bertanya untuk yang kesekian. Mungkin jawaban-jawaban saya tak mudah dieja. Barangkali, bahkan, hanyut di kali. Ia menanyakannya kembali sekaligus menagih janji: “Kapan kau tulis tentang bunga matahari?”
Hidup saya perih. Saya tertawa dengan siapa saja, tukang batu, para tetangga, imam masjid, pendeta, mantan dosen saya, tukang kerupuk, bekas pacar yang kini jadi pelacur, supir angkot, kernet bis, gali, polisi, perampok, teman jauh, famili, anak-istri. Tapi mereka tak bisa meraba, betapa lunglainya saya.
Saya adalah serpihan memori yang kelam dan demam. Anak kampung yang berlagak kota. Pria introvert yang menyesali diri. Anak mama yang dihempas prahara sejak balita. Bapak mulai menampari saya sejak SD hanya gara-gara salah menutupi nasi. Bukan dengan tangan, melainkan sandal tebal.
Masa remaja saya penuh anyir lendir. Lara berkepanjangan menikam sehingga luka-luka tak lagi terasa. Itu sebabnya saya terbiasa curiga. Saya pernah tak pernah percaya kepada siapa saja. Saya pernah ingin membunuh. Saya melihat lelehan darah di setiap kaki saya melangkah.
Saya adalah simbol kesakitan yang sangat. Kelam dan tenggelam. Rapuh dan runtuh. Moody dan lupa diri.
Saya tak memiliki kemampuan untuk melihat larik panjang tentang "dunia ini indah dan hangat", seperti dikatakan teman-teman. Itu mengapa saya berselimut kabut dan ingin lekas bertemu Tuhan ...
Semarang, 6 Januari 2009
PERTANYAAN yang menukik dan tiba-tiba datangnya. Ia bertanya untuk yang kesekian. Mungkin jawaban-jawaban saya tak mudah dieja. Barangkali, bahkan, hanyut di kali. Ia menanyakannya kembali sekaligus menagih janji: “Kapan kau tulis tentang bunga matahari?”
Hidup saya perih. Saya tertawa dengan siapa saja, tukang batu, para tetangga, imam masjid, pendeta, mantan dosen saya, tukang kerupuk, bekas pacar yang kini jadi pelacur, supir angkot, kernet bis, gali, polisi, perampok, teman jauh, famili, anak-istri. Tapi mereka tak bisa meraba, betapa lunglainya saya.
Saya adalah serpihan memori yang kelam dan demam. Anak kampung yang berlagak kota. Pria introvert yang menyesali diri. Anak mama yang dihempas prahara sejak balita. Bapak mulai menampari saya sejak SD hanya gara-gara salah menutupi nasi. Bukan dengan tangan, melainkan sandal tebal.
Masa remaja saya penuh anyir lendir. Lara berkepanjangan menikam sehingga luka-luka tak lagi terasa. Itu sebabnya saya terbiasa curiga. Saya pernah tak pernah percaya kepada siapa saja. Saya pernah ingin membunuh. Saya melihat lelehan darah di setiap kaki saya melangkah.
Saya adalah simbol kesakitan yang sangat. Kelam dan tenggelam. Rapuh dan runtuh. Moody dan lupa diri.
Saya tak memiliki kemampuan untuk melihat larik panjang tentang "dunia ini indah dan hangat", seperti dikatakan teman-teman. Itu mengapa saya berselimut kabut dan ingin lekas bertemu Tuhan ...
Semarang, 6 Januari 2009
9 komentar:
dan saya kehabisan kata2..
dan ternyata saya merasa belum mengenal sampeyan, hingga sampai titik dimana saya selesai baca berselimut kabut ini..
banyak hal-hal tak terduga ternyata.
*kalo begitu salam kenal lah*
halah komenku berantakan. gara2 bersungut mikir. komen kok mikir..
*salam kenal lagih*
ono opo iki kok ingin segera bertemu Tuhan segala..yg nyalon lurah wingi piye, mas? Potonya apik tenan!
wuihh sadis banged mas, mosyok bekas pacarnya sekarang jadi p***cr..?? hehe gak tega dengernya.
tetep semangat aja mas..
emg bekas pacar yang mana yang jadi pelacur?
pusing...menangis dalam tawa dan tertawa dalam tangis.
intinya bersyukur dan ikhlas.
psstt: mantan pacarnya yg lewat kemarin ya? *ngacir..*
hidupnya ternyata penuh liku dan bilur2 luka. tapi toh kau survive sampai kini. itu berarti hebat kan?
rief, kisah mantan pacar yg kini jadi pelacur pasti menarik utk diposting :P
ada banyak persamaan...
...dan akupun pernah akan membunuh...
hahaha....yuk kita tertawai diri sendiri, mas. lumayan, buat menghibur diri.
Posting Komentar