Search

Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan

1 Mei 2009

CERPEN DAN PUISI DALAM SATU HUMA


KAMI duduk bertiga di dua meja yang diseret menjadi satu. Maghrib bertalu. Azan berkumandang dari masjid di bawah sana. Kafe di ketinggian yang senyap, Rabu 29 April lalu, karena kami tamu pertama, disusul sepasang pria-wanita yang sempat saya pikir mereka bukan suami istri.

Mbak Rini Ganefa tampak anggun, tanpa gurat lelah, meski beberapa jam sebelumnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia ini mengajar sekian puluh anak SMP 20. Mas Goenoeng juga bugar. Tak melintas penat kendatipun sejam sebelumnya ia masih berkutat dengan sistem komputer di kantor perbankan tempat ia bekerja.

Ada semangat yang meletup. Diawali canda ringan, kami segera larut dalam perbincangan sersan. Mbak Rini tampak meledak-ledak, Mas Goenoeng super fokus, dan saya mengimbanginya. Saking semangat, Mbak Rini lupa mengeluhkan gulungan asap yang mengepul dari rokok saya dan Mas Goenoeng, seperti pertemuan sebelumnya.

Sedang membicarakan rencana unjuk rasa pemilukah kami? Hoho, tentu bukan! Ini dia: kami bakal membuat buku.

'Membuat buku' mungkin tampak ringan. Semua bisa membuat, dalam bentuk seremeh apapun, umpama brosur agak tebal. Tetapi buku yang kami rembug (dan nanti berupa kompilasi) adalah buku yang serius, yang diterbitkan oleh penerbit beneran, dan dijual. Tak peduli dijual di toko atau kakilima.

Kompilasi? Benar. Saya menyumbang beberapa cerita pendek, sementara Mas Goenoeng dan Mbak Rini menyodorkan puluhan puisinya. Itu sebabnya kelak ada label "Tiga Warna" di buku ini, entah di sampul depan, atau di belakang.

Kami juga membidani sebuah kelompok, namanya Komunitas Huma. Nama yang meluncur begitu saja dari mulut saya tatkala menggumamkan lagu Huma di Atas Bukit milik God Bless, dan langsung disepakati menjadi nama komunitas.

Huma, menurut Mas Goenoeng, adalah sebuah gubuk mungil. Tak ada kemewahan, tak ada prosedur, tak memiliki batasan siapa yang boleh keluar dan masuk. Itu sebabnya, kelak, Komunitas Huma boleh dimasuki siapapun yang respek pada kesenian (penulis, pelukis, pemahat, pemain teater, bahkan pemain wayang orang), tetapi tentu ada sedikit norma-norma yang mesti dipahami, misalnya haram hukumnya mendaftar hanya untuk gagah-gagahan.

Namun, Mbak Rini memberi sentuhan perempuan yang seketika kami mengerti, bahwa Komunitas Huma hanya akan menampung mereka, atau kita, yang benar-benar belum beredar secara luas sebagai sastrawan besar, atau penulis keren yang telah menerbitkan banyak buku, kecuali nama-nama beken yang kelak kami undang untuk menjadi pembicara saat kami nanti menggelar workshop dan sejenisnya.

Rencananya Komunitas Huma bakal menjadi salah satu sayap DKJT, alias Dewan Kesenian Jawa Tengah.

Kembali ke soal kompilasi tadi. Buku itu dibelah menjadi tiga bab, dua bab menampung puisi (Mas Goenoeng dan Mbak Rini), dan bab lain berisi cerpen. Perihal bagaimana formatnya (cerpen-puisi-puisi, atau puisi-serpen-puisi), kami pasrahkan ke penerbit.

Ketiga bab tak ada kaitan, warnanya berbeda. Puisi Mas Goeneong dan puisi Mbak Rini torehannya berlainan, goresan dan gayanya tak sama. Tema juga sama sekali tak ada benang merahnya. Kami bertiga bebas menentukan tema, sehingga saya dan mereka tak terbelenggu pada topik seragam yang dipaksakan.

Pendek kata, pembeli buku ini bisa mengunyah tiga sajian dari tiga penulis di satu buku!

Beberapa orang beken -- dari kalangan selebriti, sastrawan, budayawan, penulis top, kalangan akademis -- bakal memberikan komentar-komentarnya di halaman belakang. Tentu bukan melulu komentar gurih, melainkan juga ada kritik dan saran, pedas atau setengah pedas.

Nah, setelah kelak terbit, menurut rencana kami menggelar launching di Toko Buku Gramedia Semarang. Bedah buku yang diplot asyik sebab bakal disuguhi tontonan musik dari band lokal (lagu wajibnya Huma di Atas Bukit), teaterikal puisi, serta kuis-kuis berhadiah.

Spirit yang tak kunjung padam. Spiritlah yang mengalirkan darah ke aorta kami untuk tapak kaki menggapai matahari.

17 Feb 2009

PUISI: YANG PENTING INDAH


SAYA iri pada Mas Goen, Hezra, atau Rozi Kembara. Mereka pintar membuat puisi, menangkupkan kata-kata dalam kubus yang indah.

SMA, saya dikenal tukang bikin puisi di mading. Itu juga karena saya naksir Hanum, kembang kelas Biologi. Puisi centang perentang yang isinya "kembang", "pinus", "rembulan", dan "cinta".

Sampai akhirnya satu puisi saya dimuat Majalah MOP (majalah pelajar terbitan Harian Suara Merdeka, Semarang), pada 1988. Senang rasanya diweseli honor 20 ribu rupiah koma sekian.

Lambat tapi pasti saya tidak pede lagi. Hiruk pikuk lagu-lagu KLA Project atau Obbie Messakh yang 'puitis' menciptakan satu keraguan: apakah benar yang saya tulis ini puisi? Apakah telah saya tuang diksi dan metafor secara jujur sehingga tulisan saya pantas disebut puisi?

Menurut Dresden, puisi adalah sebuah dunia dalam kata. Isi yang terkandung di dalam puisi merupakan cerminan pengalaman, pengetahuan, dan perasaan penyair yang membentuk sebuah dunia bernama puisi.

Kesusastraan, khususnya puisi, adalah cabang seni yang paling sulit untuk dihayati secara langsung sebagai totalitas. Elemen-elemen seni ini ialah kata. Sebuah kata adalah suatu unit totalitas utuh yang kuat berdiri sendiri. Puisi menjadi totalitas-totalitas baru dalam pembentukan-pembentukan baru, dalam kalimat-kalimat yang telah mempunyai suatu urutan yang logis.

Altenbern mendefinisikan puisi sebagai “pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama (bermetrum). Menurut Samuel Taylor Coleridge puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Untuk menyusun kata-kata yang terindah penyair melakukannya dengan pergulatan yang keras; memilih dan memilah kata sedemikian rupa sampai tercipta bangunan puisi dalam sebuah kesatuan yang utuh.

Woordworth mendefinisikan puisi sebagai pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Sedangkan Dunton mengungkapkan bahwa puisi adalah merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa yang penuh emosi dan berirama.

Dari pelbagai definisi itu setidaknya ada kata dua kata kunci yang penting, yaitu “perasaan” dan “indah”. Masalahnya, prosa pun menggunakan bahasa yang indah pula. Jadi di mana letak perbedaannya?

Sebab itu, salut setinggi langit untuk kawan-kawan yang setia dengan pendiriannya, tanpa memedulikan apakah goresan pena-nya pantas disebut puisi atau tidak. Menurut saya, tulisan teman-teman sangat indah (dan itu sudah memenuhi hakekat puisi), dan saya juga tak peduli beragam teori yang membatasi mana puisi mana bukan.

Tapi, herannya, saya sangat sulit membuat puisi!