Search

30 Mei 2008

PUISI POHON PERDU


Pagi buta tadi, Indah menelepon. “Mas, Enny udah melahirkan. Cowok lagi. Kapan kita menengok ponakan baru?” Adik saya ini punya lengking suara Renny Djayusman. Jika gendang telinga tak biasa mendengarnya, pasti orang mengira ia marah.

Enny yang dimaksud adalah adik bungsu kami. Ia dipinang pria Jawa, tapi kini sedang membangun usaha di Pontianak. Bungsu yang lucu. Ia mirip kupu-kupu. Terbang dari satu meja ke meja lain, dari satu kamar ke kamar lain, dengan tawa khasnya. Ia menulis buku harian waktu SMP. Tulisannya rapi, tapi tata bahasanya kacau. Sekacau-kacaunya, ia ABG yang menggemaskan, sekaligus (terkadang) mengesalkan.

“Hari ini aku dirayu Yuda, anak Dandim. Aku sih suka orangnya, cakep, dan bajunya bagus-bagus. Tapi aku cuma anak seorang carik, sedang dia anak Dandim. Apa benar ia mencintaiku?” Begitu salah satu halaman diary-nya ia tulisi, yang sempat saya curi intip.

Saya terkekeh. Rasa sayang yang sulit digerus hanya lantaran ia sudah mengenal pacaran, setidaknya mengenal pria tampan, meski ia masih SMP. Sore harinya ia saya boncengkan sepeda motor. Di jembatan tepian kampung, ia saya ‘interogasi’. “Yuda itu siapa?” Tanya saya dengan tutur kata selembut mungkin, agar wajahnya tak seketika memerah.

Tapi tetap saja ia merah padam. “Idih, kok Mas Arief tau siiih! Ngintip buku harianku ya? Jahat!” Ujarnya sewot. Terselip rasa takut di cuping hidungnya. Ketakutan yang kanak-kanak. Ketakutan kuncup bunga sepatu, yang seketika bisa mereda apabila terulur tangan kekar seorang kakak untuk mengelus rambutnya.

“Maaf, sayang, Mas nggak bermaksud mencuri rahasia adik. Tadi tanpa sengaja Mas menemukan buku itu saat Mas membuka tas untuk meminjam penghapus.”

Tapi salah. “Pokoknya jahat!” Teriaknya ketus seraya membanting langkah tergopoh-gopoh menuju rumah. Saya membuntutinya seraya merayu agar ia mau diboncengkan. Tapi gagal.

Enny adalah sebuah perkecualian. Ia gadis bening dengan mata kucing. Saya tak sanggup memelototinya lama-lama seperti tatkala saya mengomeli Eddy, adik kami nomor tiga. Enny mewarisi sifat keras kepala mendiang Ibu. Ia tak segan mencoreti kertas ulangan bila hasilnya jeblok. Bukan marah terhadap gurunya, melainkan merutuki diri sendiri lantaran malamnya ia tak belajar.

Masa SMA melumurinya dengan hal-hal romantis. Ia mulai menulis puisi. Sajak-sajaknya dimuat di majalah dinding sekolah. Di tembok kamar, tetera deretan puisi — yang tatkala saya cermati dengan seksama — cukup indah. Misalnya ini: .. kepada perdu yang bertindihan dengan awan, kusampirkan beban hidup, kusematkan rasa ini pada mega-mega di sekelilingnya ..

“Aku udah boleh pacaran belum?” Ujarnya suatu ketika. Saya meneliti wajahnya. Ada isyarat jenaka, tetapi juga serius.

“Umurmu berapa sekarang?”

“Emm .. Mau 18.”

“Belum boleh.”

“Teman-teman udah tuh.”

“Kamu bukan mereka.”

“Tapi kan umurnya sama.”

“Banyak seumuranmu yang hamil karena salah mengartikan pacaran.”

“Maksud Mas, aku juga gampangan gitu?”

“Iya, terutama jika pacarmu itu nanti hanya berniat mengajakmu berbuat intim tanpa memedulikan risikonya.”

“Pacarku enggak seperti itu.”

“Jadi kau sudah pacaran?” Saya terhenyak.

Enny adalah gadis bening tetapi keras kepala. Ia manekin yang penuh daya tarik. Ia magnet yang menguarkan aroma kembang. SMA kelas 3 ia telah dua kali pacaran, disambung ketika ia kuliah di semester satu hingga empat. Total, saat usianya belum genap 22 tahun, ia sudah enam kali pacaran!

Sebagai anak tertua saya membangunkannya benteng sekokoh koloseum. Biarlah angin mengalir, asal tak membawa aura jahat menerobos pertahanan. Biarlah badai datang, asal Enny adalah perempuan mungil berwibawa yang tak mudah bertekuk lutut. Tetapi puisi tentang pohon perdu di temboknya mengisyaratkan tentang keretakan. Dinding baja itu pun roboh. Suatu senja, saya mendapatinya terisak-isak dengan lolong yang tak terperi. Ia hamil …

Dua tahun kemudian, suatu malam.

“Mas, aku telah mendapatkan pria yang sanggup memikul beban berat. Namanya Hasta. Ia menempatkanku pada singgasana sebenarnya, setelah Ismu membantingku dengan keras seraya meninggaliku Haikal tanpa tanggung jawab …” Itu isi SMS Enny sebulan sebelum pernikahannya.

Gadis mungil saya itu kini telah memiliki bayi lagi …

(beberapa nama disamarkan)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Dahsyat!! saya selalu terhanyut dalam tutur sampeyam mas..