Search

6 Mei 2008

JANGAN MATI, SOFIAN!


KARTU pos berornamen wayang. Menggelepar tertiup angin dan nyaris terjerembab dari kursi. Bantal sudah membayang di benak. Aku ingin tidur pulas, membuai mimpi, membuang jauh penat setelah enam hari dibekap rapat panjang di kantor pusat. Tapi kartu pos ini menggoda.

Bang, apa kabar? Aku telah menemukan hal-hal yang tak terduga di Jakarta, manis dan getir. Telah kubuat rakit untuk mengarungi banjir, telah pula kutelan bius yang membuatku tersedak. Kapan-kapan kita saling berbagi mimpi, ya, aku rindu bunuh diri seperti nyaris aku lakukan lima tahun silam. Salam, Sofian.”

Kantukku sirna. Mendadak sosok itu berkelebat. Sofian? Bukankah ia bekerja di Radar Semarang? Bukankah ia pria berkacamata minus, wajah penuh senyum, dan kerap diam di kursinya saat ia mengetik sesuatu di komputernya? Di Jakarta? Kerja di mana?

Bukan “bekerja di mana” yang menciptakan kengerian. Kalimatnya di kartu pos seolah membopongku duduk di kursi jetcoaster, mengayun-ayunkanku dalam kelebat-kelebat pohon yang datang menghantam dengan kecepatan maksimal.

Kartu pos tanpa alamat. Bagaimana aku harus menghubunginya, atau setidaknya membalas suratnya seraya bertanya, mengapa ia ingin bunuh diri lagi? Mengapa seolah ada benang layang-layang yang sedang menjerat lehernya dan siap menukik dengan tajam sehingga darahnya mengucur deras hingga ajal datang?

Lima tahun lalu Sofian adalah pria yang lucu. Di kalangan kami, ia sosok mengalah, meski tak jarang dibentak oleh Senja, wartawati olahraga yang bekas karateka itu. Ia cuma mengumbar senyum tatkala Redaktur Pelaksana Iskandar menyuruhnya keluar malam-malam hanya untuk memotret peragaan busana di mall.

“Kamu pernah ikut teater?” Tanyaku tiba-tiba. Ia terlunjak kaget. Dari balik kacamatanya terbias senyum yang nakal. Aku senang menggodanya dengan mengirim sesuatu yang mengagetkan di emailnya.

“Dulu, Bang, di SMA. Kenapa?”

“Saya pikir kamu pantas main film.”

“Ah, yang bener!”

“Iya, jadi tokoh antagonis, perampok atau copet. Lalu digebuki massa …” Ujarku seraya ngakak dan kabur.

“Kampret!”

Lalu sorenya aku membonceng sepeda motornya menyusuri jalan Mataram, Semarang. Melawan arus! Perbuatan gila, tapi kami menyukainya. Ia tertawa-tawa membayangkan dikejar trail polisi. “Polisi mana mau menilang aku, Bang, melihat tampangku saja mereka kasihan.” Lalu kami tertawa lebih kencang.

Dua hari kemudian kami duduk mencangkung di lantai tujuh Matahari. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut tipis Sofian yang keriting. Kami mencecap udara Simpang Lima lewat jendela yang membuka lebar.

“Pernah ingin bunuh diri, Bang?” Tanyanya tiba-tiba.

Aku terkejut. Kusimak parasnya yang kusam. Tak kutemukan keganjilan, kecuali matanya yang sembab. “Kamu habis begadang ya semalam?”

“Cuma merayakan ulang tahun teman.”

“Minum?”

“Beberapa seloki Jack Daniels. Mumpung ada yang mentraktir,” ucapnya sambil senyum lebar.

“Mengapa tiba-tiba membicarakan bunuh diri?”

“Siapa tahu ada kenikmatan tersendiri.”

“Mati itu tidak enak.”

“Memang Abang sudah pernah mati?”

“Nyaris. Waktu SMA saya hampir dilindas bus.”

“Terkadang saya ingin mati, Bang.”

“Lalu meninggalkan sanak famili? Membiarkan ibumu meraung-raung? Merelakan pacarmu dipinang orang? Meninggalkan utang?”

“Kalau mati, semua tadi sudah tak terpikir lagi. Semua sirna. Tak ada ruang lagi untuk mengingat, bahkan untuk memikirkan sesuatu yang kita tinggalkan.”

Aku mengamat-amati wajahnya. Ia memang serius. Ia ingin mati. “Mengapa ingin mati?”

“Dunia terlalu suntuk, Bang. Persoalan tumbuh dan tak pernah berhenti. Dunia seolah hanya permainan belaka, tak ubahnya panggung teater itu.”

“Umpama harus mati, kau pilih dengan jalan apa?”

“Terjun bebas dari lantai ini, misalnya … “

“Jangan sembrono!” Kugamit lengannya kuat-kuat. Siapa tahu ia memang ingin mencebur ke jalan raya di bawah sana.

“Minum racun mungkin cepat mati, ya Bang?”

“Cukup!”

“Maaf, Bang.”

Sofian. Ah, manusia ini memang diselipi angan-angan. Mati – mungkin saja – adalah bagian dari angan-angannya. Itu sebabnya aku sering kangen. Ia menjadi bagian sumsum yang membelit tulang belulangku karena tanpa sadar ia menaruh spirit luar biasa dalam dadaku.

Semalaman setelah mendapat kartu pos darinya, mataku sulit terpejam. Kugenggam remote TV, membolak-balik channel, mencari-cari berita atau sekadar breaking news. Siapa tahu ada kabar yang mengatakan: “Ditemukan sesosok mayat pria muda di bawah jembatan Semanggi dengan tubuh hancur … “

4 komentar:

Meita Win mengatakan...

hahahah...ternyata...
emang enak yah, jadi penulis itu, terserah dia mau nulis apa tentang siapa, silakan protes, tapi toh tulisan sudah tertuang...

tulisan yang sangat imajinatif dan sarat dengan rasa rindu, terasa koq.

sampai bertemu lagi diujung aksara, Mas!

Anonim mengatakan...

Kampret!!!

Anonim mengatakan...

Kepalang basah, blue, aku memang rindu pada kamu, melebihi kangenku pada Don Kardono, Wahyudi, Iskandar, Tia, Budi, Ida, Hanif, Daim, Senja, Ismu, Eva, Sofyan, Pratono, Mansur, Dite, dan semua kawan di Radar Semarang.

Kapan balik Semarang dan berbagi rasa?

Anonim mengatakan...

ah.. kau pikir aku tak rindu. aku juga teramat rindu bang!! kau tak perlu khawatir. aku pasti akan pulang. no HP kamu sudah dalam genggamanku.