Search

29 Sep 2008

CUTI PUASA


Tadinya saya kesal melirik orang-orang pada makan dan merokok di sudut-sudut jalan atau beranda, sementara di sekelilingnya banyak orang berpuasa.

Tetapi, sejak empat hari lalu kegeraman saya tadi musti saya kubur dalam-dalam, sebab saya terpaksa (catat: terpaksa) juga makan-minum pada jam-jam puasa. Itu artinya juga merokok.

Diare akut membuat saya membolongi puasa. Saya harus minum obat. Ada yang tiga kali sehari, dua kali, bahkan setengah jam sebelum makan. Total 5 jenis obat harus saya embat.

Volume buang air ini sungguh tak terkira ‘jahat’-nya. 15 menit sekali saya berlari ke kamar mandi. Tubuh saya lemas karena kekurangan cairan, bahkan pusing dan mual.

Penyebabnya sepele. Saya pernah buka puasa dengan pecel yang amat pedas di Simpanglima. Dasar kemaruk – pecelnya lezat, sih – saya menambah porsi. Sintingnya, usai shalat tarawih saya tergoda pula menyantap mi instan. Jadilah lambung bergejolak hebat.

Seorang teman menyentil, “Mbokya minum obat abis maghrib, tengah malam, dan sebelum imsak. Jadi puasa sampeyan tidak perlu bolong.”

Saya menyetujui. Namun perlu dicatat, saya berobat pada pagi hari (yang seketika dikasih resep) ketika mulas di perut sudah tak mau kompromi. Guna meredam sakit perut agar tak semena-mena, saya segera minum obat tadi (sekaligus membatalkan puasa).

Untung diare reda setelah membabi buta selama tiga hari. Tetapi problem baru muncul. Saya menderita ambeien. Kok bisa?

Bisa saja. Menjadi satu-satunya ‘pintu’ yang diberondong oleh ‘limbah’ selama tiga hari penuh, lubang anus pun jebol. Pembengkakan sebesar jempol tangan muncul di sana. Itu artinya saya juga minum obat dari dokter yang berbeda!

‘Cuti puasa’ pun menjadi berkepanjangan dibuatnya. Tuhan, maafkan saya.

25 Sep 2008

ROMANTISME LEBARAN YANG HILANG


Lebaran ini berderap menuju titik nol dengan ritme yang membuat sesak dada.

Dalam kegelisahan ini, tampaklah wajah Bapak. Pria yang dulu saya idolai itu sekarang menjadi karang, terutama beberapa Idul Fitri terakhir.

Memasuki rumah, dulu, senantiasa bertabur aroma kembang. Langkah ringan melekat ketika telapak kaki menginjak kusen pintu.

Ia duduk berurai senyum di sudut ruang tamu, di tengah beragam penganan di atas meja. Ibu, dengan kerudung baru, menyongsong saya dengan luapan gembira.

“Masuk. Ayo sini.” Selalu itu ucap Bapak setiap melihat kedatangan saya. Sebuah narasi pendek yang menabur keriuhan yang hening.

Saya tak segera bersimpuh karena mendadak saja sanak famili mengerumuni. Biasanya Om Antono dan Bulik Sri yang bergegas menyalami. Kemudian Eyang Putri. Lalu sejumlah sepupu macam Baskoro, Ira, Heri, dan juga sejumlah tetangga.

Baru setelah basa-basi lewat dan ruang menjadi sepi, saya menghampiri Bapak dan Ibu. Saya menciumi punggung tangan mereka dengan jiwa raga seraya berbisik, memohon maaf atas segala dosa.

Mata mereka berkaca-kaca. Ibu menciumi kening saya seolah saya masih delapan tahun yang perlu dininabobo. Kami terdiam beberapa saat, kemudian melepas tangan dan berarak menuju meja makan, diikuti Indah, Edi, dan Eni, tiga adik saya.

Lebaran ini saya rindu suasana itu. Tapi saya tak yakin romantisme menyelimuti kami lantaran tak ada lagi Ibu di sana, berganti perempuan paruh baya yang tak bisa menandingi kelembutan Ibu ...

23 Sep 2008

BUAH HATI


Selagi menunggu penggantian velg di sebuah toko, saya mendapati seorang kasir yang muram.

Perempuan berjilbab ini tak hanya dahaga lantaran puasa, tetapi juga sedang dihempas prahara. Prahara yang membuatnya tampak tua.

“Enam tahun, Mas, dan selama itu saya sangat tersiksa ... ” ujarnya menjawab pertanyaan saya perihal berapa lama ia menanti kehamilan yang amat ia tunggu-tunggu.

Benar! Salah satu sumber kesedihannya adalah karena telah enam tahun sejak menikah ia belum mengandung.

“Padahal umur saya sekarang 36. Saya repot oleh banyak pertanyaan, terutama mertua yang menuding saya mandul. Sedih rasanya,” tutur adik ipar pemilik toko ini dengan pilu.

***

Anak adalah tunas. Mereka akan menerima tongkat estafet kita. Pengembangbiakan yang nantinya meneruskan riwayat tentang diri seseorang. Sangat sedih suami istri tak memperoleh keturunan, kecuali Jaya Suprana dan istri yang memang bersepakat untuk tak memiliki buah hati.

Ketika malam beranjak dan jengkerik bersahutan, saat itulah kita takzim di bibir ranjang, mengamati setiap detak jantungnya, menerka-nerka sedang mimpi apa mereka.

Kita menyelimutinya, menghalau nyamuk yang terbang rendah menuju telinga, dan berjanji esok akan bekerja keras untuk mendapatkan uang agar mereka bisa berbaju baru saat Lebaran.

Anak adalah darah kita yang mengalir deras, menjejakkan kaki-kakinya dalam serat dan ukiran yang kita ciptakan.

Kita menangkap lanskap dari derai tawa di mungil mulutnya. Kita terbebas dari belenggu saat mengawasi mereka sedang mengejar kupu-kupu, dan memperoleh kisah-kisah syahdu atas tangisan mereka yang lucu.

Anak-anak adalah sebuah isyarat bahwa kita mampu mendaki dan menggali. Tentu saja perjalanan menyenangkan itu ingin pula dicecap oleh kasir toko ban itu. Tak ayal ia gundah gulana, dan barangkali saja ia memaki dengan kasar orang-orang yang tega membuang bayinya ke kali ...

19 Sep 2008

MENGOPI CD


Saya punya kebiasaan unik berkaitan maniak film. Setiap meminjam CD/DVD dari rental, film-film itu saya kopi ke harddisk laptop.

Tak peduli berapa jumlahnya – asal tak melanggar alokasi 80 giga yang khusus saya sediakan untuk film – segera saya kopi. Pengopian yang tak memerlukan jidat tertekuk lantaran hanya perlu memasukkan kepingan ke CD room, kemudian mengklik “copy”, lantas mem-paste-nya ke folder khusus film.

Praktis, efisien, dan tak melukai hati pemilik rental. Saya katakan “melukai”, sebab beberapa pemilik rental di Semarang telanjur kenal baik dengan saya sehingga mereka rata-rata sungkan meminta denda kepada saya jika saya telat mengembalikan. Kecuali Movie Time di Solo yang mematok aturan ketat soal durasi peminjaman dengan memberlakukan denda.

Kebanyakan film yang saya sewa produksi baru, alias baru beberapa bulan lalu diputar di bioskop. Itu mengapa mereka selalu bilang: “Mas, tolong sehari aja, ya, masalahnya banyak yang ngantre,” pesannya.

Tapi, tak lewat dari sehari, biasanya pesannya tadi berubah menjadi keterkejutan dan rasa senang juragan rental. “Loh, kok cepet banget, Mas? Emang muternya kapan saja?” Ujarnya setengah girang kala menerima 12 film yang saya sewa tadi malam, sebelum saya merayunya untuk meminjami lagi film-film baru.

Setiap film yang sudah saya simak selalu saya hapus dari folder, kecuali judul tertentu yang fenomenal macam Spider-Man 3, James Bond Casino Royale, Scorpion King 2, Pride and Prejudise, While You Were Sleeping, Gone with The Wind, You’ve Got Mail, Something’s Gotta Give, dan sebagainya. Ini saya maksudkan agar harddisk tak overload.

Parktis, kemana-mana saya tak perlu melesakkan kepingan-kepingan CD ke tas. Tinggal menyalakan laptop, colok handsfree, lalu nontonlah film dimana saja saya suka.

Eit, ini pembajakan bukan ya?

17 Sep 2008

ROKOK


Puasa ini melahirkan keajaiban baru. Bolehlah dibilang kemisteriusan. Sesuatu yang membuat saya bertanya: ini berkah ataukah musibah? Isyarat apakah yang dialamatkan kepada saya?

Fenomena ini berkaitan dengan rokok. Setiap maghrib tiba, biasanya saya bergegas mengambil segelas air hangat untuk membatalkan puasa. Setelah shalat maghrib, saya menyulut rokok sambil menikmati kolak. Sehabis itu baru makan besar.

Saat merokok inilah keanehan itu terjadi. Hisapan demi hisapan saya lakukan. Saya menikmati ‘ritual’ merokok sebagai satu kenikmatan yang indah, biarpun MUI pernah berniat mengeluarkan fatwa “merokok haram”.

Pada awalnya saya tak menyadari ini terjadi. Tetapi lama-lama saya merasa ‘dimusuhi’ oleh asap yang mengepul, baik dari hembusan mulut maupun yang mengalir dari ujung sigaret.

Asap-asap itu bukannya menjauhi wajah dan tubuh, melainkan mengeroyok saya. Mereka bergerak berarak dan bergegas, seperti kabut tebal yang mengancam dengan pedang. Bergumpal-gumpal mereka mengerumuni tubuh saya, menciptakan pedas di mata, bahkan saya terbatuk-batuk olehnya.

Saya mengira anginlah yang mendorong asap itu menuju saya. Namun, berulang saya berganti posisi, tetap saja mereka menyerbu. Berulang pula saya mencoba berganti merk dari Class Mild ke Sampoerna, Djarum, Gudang Garam, bahkan Dji Sam Soe dan U-Mild, tapi situasi ini tak juga berubah. Mereka tetap mengepul di sekujur tubuh saya dengan volume yang berlipat-lipat, tak peduli saya merokok di kakus, ruang tamu, beranda, hingga ruang terbuka.

Rokok mendadak menanam bibit trauma. Di tengah ketakutan itu, pernah saya berpikir, barangkali kalau saya merokok sebelum imsak tak akan mengalami siksaan ini. Tapi tetap sama, asap-asap itu seolah ribuan banteng yang berlarian kencang dengan tanduk-tanduk yang terkokang.

Tuhan mungkin sedang memberi pesan ini: berhentilah merokok, Rif!

16 Sep 2008

HIDUP INI RELATIF, RONI


Roni berteriak seraya mengayunkan lengan. Setengah terkejut, saya menginjak rem.

“Numpang sampai gerbang depan, Mas. Saya ditunggu abang di sana,” ujarnya setengah girang saat kepalanya melongok di jendela yang kacanya saya turunkan.

Kemudian ia menghambur ke kabin. Segera ia tanggalkan helm. Dan kami bergerak.

“Nggak bawa motor, Ron?”

“Dibawa Lala. Sudah saya bilang puasa ini banyak operasi polisi. Tapi tadi ngotot karena takut disetrap kalau telat.” Lala, kelas 2 sebuah SMK, adalah anak tiri Roni dari pernikahan pertama Mbak Lastri dengan suami pertama. Menikah dengan Roni, Mbak Lastri mendapatkan anak 2 tahunan. Rifki namanya.

Lalu kami basa-basi dan sesekali ngakak. Kebiasaan di masjid. Ia menceritakan cedera engkel sehabis futsal kemarin malam. Pria asal Pati ini cukup kocak. Cara ngomongnya gaya terminalan. Maklum, ia punya warung di terminal bus kompleks perumahan, yang konsumennya kernet dan sopir.

“Enak ya Mas punya mobil. Nggak kehujanan, nggak kena panas. Bisa gaya lagi. Kapan ya saya bisa beli mobil?” Begitu cerocosnya.

Saya hanya tersenyum pahit. Roni tidak paham, mempunyai mobil tidak senyaman yang ia bayangkan karena memerlukan biaya yang besar untuk bensin dan perawatan. Pulang-pergi dari rumah ke kantor setidaknya saya merogoh Rp 50 ribu untuk bensin. Bisa tiga kali lipat kalau saya melakukan aktivitas.

Ia juga tampak kurang mengerti, bahwa pajak mobil dengan cc 2200 seperti milik saya besarnya Rp 2 juta lebih (sebelum kelak tarifnya dinaikkan oleh pemerintah), juga risikonya lebih besar karena spion pun bisa dicolong orang; susah mencari ruang parkir, dan tak jarang pikiran was-was kalau-kalau ada tangan usil menggores badan mobil sehingga butuh ratusan ribu untuk mengecat kembali.

“Ron, hidup itu relatif ...” Bisik saya. Mungkin ia tak mendengarnya.

(Tiba-tiba saya rindu Suzuki Shogun 2003 yang berbulan-bulan saya taruh di gudang ...)

15 Sep 2008

KULTUM


Cuma 8 menitan saya berdiri di mimbar Masjid Al-Ikhlas – masjid yang berjarak tak lebih 20 meter dari rumah --, dan ini bukan yang pertama sebab masjid itu menugasi sebagian besar anggota takmir untuk memberi kultum, termasuk saya. Sudah tiga Ramadhan ini saya diberi jatah.

Tetapi kultum kali ini membuat saya puas. Bukan hanya karena jamaah tampak takzim mendengar, melainkan saya lebih lepas mencabuti ‘selilit’.

Kepuasan yang melebihi pemuatan cerpen di media massa, saat menjadi pemakalah di workshop jurnalistik maupun seminar suporter, atau saat menjadi komentartor siaran langsung sepakbola di RRI atau televisi.

Di sela shalat tarawih Jumat malam lalu itu saya mencubit banyak pihak, mulai polisi yang gemar mencari-cari kesalahan (tak peduli sejumlah tetangga saya adalah polri), anggota DPR yang mudah disuap, ABG yang suka memakai kaus kelihatan pantat dan pusarnya, sampai remaja yang lebih unggul menulis SMS ketimbang membaca Al Quran.

Tak lupa, seperti di banyak kesempatan serupa, saya juga ‘menghajar’ sinetron yang memberi andil cukup besar bagi perubahan perilaku ibu-ibu dan remaja. Film televisi ini membuat anak-anak kurang ajar pada orang tua dan tak canggung berpacaran di depan umum, serta mendorong ibu rumah tangga berani pada suaminya.

Saat turun dari mimbar dan kemudian dikerumuni anak-anak SD yang meminta tanda tangan resume kultum tugas dari sekolah mereka, saya mendadak merasa membuat “hidup saya menjadi lebih hidup”.

12 Sep 2008

APA? JAKARTA?!


/1
Jakarta pernah memenuhi mimpi saya. Saat SMP, saya berangan menyentuh gedung setinggi langit, bemo, atau sekadar asap knalpot bis kota, seperti terlihat di televisi. Maklum, saya sangat udik. Getas – itu nama desa saya di ujung timur Kabupaten Demak – benar-benar ndeso.

Itu mengapa ketika SMA saya mengadakan piknik ke Jakarta – itu saat saya kelas 3, tahun 1989 --, saya senang bukan kepalang. Melewati Monas dan menyusuri pagar Jalan Thamrin seolah melambungkan saya ke langit ke tujuh. Belum lagi TMII dan Ancol yang selama ini cuma berkelebat dalam benak.

/2
Kini, saya ‘harus’ ke Jakarta untuk sebuah pemindahan tempat kerja, ketika saya sudah kenyang akan kekejamannya, mual dengan bir di tempat hiburan di sana, eneg dengan beragam tipu daya, kesal dengan macet, trauma dengan banjir, dan geram dengan gaya hidup yang pura-pura.

Sekarang saya ‘harus’ berpindah ke sana dengan status “mau tak mau”, tatkala saya sudah jengkel dengan calo tiket Gambir, delay jadwal penerbangan pesawat, sopir taksi yang menipu mentah-mentah penumpangnya, bandit berseliweran baik teri maupun berdasi, demonstrasi seperti sarapan pagi, mutilasi ada di mana-mana, dan alat kelamin sudah tak lagi berharga.

/3
Jakarta bukan lagi kota yang empuk ketika menyelinap ke alam mimpi, karenanya sejak 2002 saya sempat berikrar untuk tak lagi berdiam di sana setelah selama enam tahun menjadi salah satu kecoa Jakarta. Jakarta bukan lagi kulkas, karena telah beredar hawa panas yang menikam hati dan kepala hingga membara.

Dan saya “mau tak mau” harus berpindah ke sana, meninggalkan anak yang butuh perhatian. Saya akan sering homesick karenanya. Nggak deh ah!

11 Sep 2008

Tragedi Buah Apel


... Entah apa dosa apel, hingga namanya diseret dalam institusi bernama tragedi.

Makan apel, sebelum imsak tadi, saya teringat Anita Sarawak. Penyanyi Malaysia ini memukau dengan "Tragedi Buah Apel", sebuah lagu dengan kandungan dongeng mengenai terenggutnya keperawanan.


Apel, dengan demikian, apakah simbol kegadisan? Dengan demikian pula, tatkala mengunyah serat-serat halusnya yang gurih tadi, saya juga tengah menikmati tragedi? ...

10 Sep 2008

Kematian


Kematian itu seperti sniper di sebuah rongga gedung pencakar langit. Ia mengintip dari luv, menakar-nakar jarak sasaran sambil jarinya mencengkeram pelatuk dengan erat, dan kemudian memuntahkan peluru yang membelah angin dengan kecepatan tak terkira sebelum menciptakan lubang berdarah pada kepala seseorang di bawah sana.

Begitu tiba-tiba. Begitu tak terduga. Mendadak saja seseorang menggelosor dan menemui ajal.

Kematian seolah mengakrabi saya akhir-akhir ini. Sehari menjelang puasa, saya menabur bunga di makam seorang sesepuh, di Pemakaman Bergota, Semarang. Usai khusuk memanjatkan doa, perempuan penjaga kuburan mendatangi.

“Sampeyan apanya Pak Bambang Sumitro?” Tanya dia tanpa basa-basi.

“Pak Mitro Lemah Gempal?” Saya balik bertanya. Lemah Gempal yang saya maksudkan adalah sebuah perkampungan di Semarang. Perempuan separuh baya itu mengangguk. “Beliau pakde saya, Bu.”

“Tadi malam istri Pak Sumitro meninggal. Tuh, kuburannya sedang digali,” tuturnya sembari menunjuk sekelompok pria yang sedang menggali tanah, di sudut lain pemakaman itu.

***

Kemarin, untuk sebuah keperluan, saya hendak bertamu ke Pakde Win, satu kerabat lain di Semarang. Baru saja saya memarkir mobil di seberang jalan depan gang menuju pakde, tukang parkir datang dengan bergegas. Saya kira ia mau memberi aba-aba, namun ternyata ia mengabarkan sesuatu yang tak terduga.

“Mas mau bertamu ke rumah Pak Win?” Tanyanya saat saya menurunkan kaca. Saya mengangguk. Tukang parkir ini tampaknya sudah cukup akrab dengan raut muka saya lantaran telah beberapa kali saya diaba-abai kala memarkir mobil depan gang Pakde Win.

“Rumah Pak Win sepi, Mas, pada pergi ke Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum,” sambungnya tanpa saya minta.

“Memangnya siapa yang sakit, Mas?”

“Istrinya Pak Win meninggal dua hari lalu. Ia diistirahatkan di Panti Wilasa, menunggu kedatangan anaknya yang tinggal di Kanada,” terangnya.

Malaikat pencabut nyawa seolah sedang berseliweran sambil menggenggam daftar orang-orang yang mengantre untuk mati ...

7 Sep 2008

Biarlah Waktu Tak Bisa Diputar Ulang


Di depan puluhan santri dalam sebuah workshop jurnalistik di Semarang Timur, Minggu (7/9), saya disadarkan tentang satu hal: anak-anak jaman sekarang lebih gurih mengunyah fasilitas.

Seorang remaja putri, mengaku bernama Dela, bertanya: “Mas Arief, saya mau tanya, keahlian khusus apa saja yang harus dimiliki calon wartawan?”

Dengan semangat puasa, saya langsung menjawab: “Nggak ada keahlian khusus, kecuali nggak punya malu.” Ia tampak bengong. Saya segera menimpalinya untuk menandaskan, “Keahlian khusus yang kamu maksud itu ialah nggak punya malu, jangan pernah malu, alias bertebal muka.” Lalu sontak mereka terbahak-bahak.

Ya, wartawan tak boleh introvert lantaran mereka harus menyeruak ke percakapan-percakapan, bertemu dengan orang-orang, dan harus mengorek komentar dari narasumber.

Pada masa kini, rasa-rasanya rasa malu itu nyaris sirna. Para remaja tak pernah segan-segan memakai kaus kelihatan pusar, mengalungkan ponsel di leher, bahkan menyemir rambutnya dengan cat yang warnanya sulit ditebak karena campur baur dan tumpang tindih. Beberapa di antara mereka duduk di kafe dengan laptop hotspot, sesekali telepon dengan nada ‘ember’, dan membuat dunia seolah sempit dan ‘hanya milik mereka’.

Itu sebabnya tak ada alasan bagi generasi mutakhir untuk malu tatkala ia harus mewawancarai seseorang pada saat mereka telah menyandang baju wartawan. Ini berbeda dengan awal 90-an, ketika seorang wartawan freelance seperti saya harus menginterview Rano Karno di GOR Simpanglima (almarahum), yang kini berubah menjadi Mal Citraland.

Saat sudah beradu muka dengan Rano, lidah saya kelu. Saya tak tahu harus ngomong apa, sampai kemudian Rano ‘menolong’ saya dengan bertanya: “Mas mau nanya apa? Hayo, nanya apa saja, nanti saya jawab,” katanya sembari tersenyum tulus (senyum yang belakangan justru sangat akrab dengan saya sejak saya bekerja di Tabloid BOLA – 1996-2002 – dan Rano menjadi kolumnis Piala Dunia, Piala Eropa, atau even-even sepakbola lain di BOLA).

***

Anak-anak jaman sekarang tak pernah dibelit kesulitan sarana. Dulu, saya mengirim naskah berita ke Jakarta (saat bekerja di BOLA) dengan faksimil. Lalu beranjak lebih modern dengan modem (dengan kapasitas minim, sehingga mengirim satu file bisa lebih dari 5 menit). Mengetik tulisan bukan dengan komputer, tetapi mesin ketik konvensional yang suara tak-tok-nya membangunkan tetangga.

Awal-awal menjadi jurnalis tak pernah saya naik sepeda motor, sebab memang tidak punya. Kesana-kemari saya menunggang ompreng, sehingga baju atau kaus sudah sangat kusut ketika saya sampai di depan narasumber.

Untuk mencetak foto, saya mengutang dulu dari kawan, kemudian saya ganti ketika honor tiba. Era digital seperti saat ini membuat saya sangat iri. Pada 1990-1997, pemotretan harus memakai film, dan harganya cukup mahal untuk ukuran saya yang memang pas-pasan. Yang membuat jengkel, jika kebutuhan foto hanya 2-3 frame, film harus dipotong di kamar gelap, dan pemotongan itu mengorbankan tak kurang 5 frame. Begitu seterusnya, sampai tiba-tiba saya sadar film saya sudah habis, sementara esoknya saya musti memotret lagi, alias saya wajib berbelanja film lagi.

Toh jaman tak bisa diputar ulang. Selagi anak-anak jaman sekarang menikmati fasilitas, generasi tua macam saya tak mau kalah. Kalau mereka bisa bangga dengan internet yang membuka jendela dunia, saya malah sudah berada di beberapa langkah di depan mereka.

Kalau anak-anak sekolahan membuat friendster, maka saya sudah mampu mengutak-atik html blog/web. Laptop saya lebih garang dalam urusan spec karena Core 2 Duo, dan jauh lebih maju ketimbang beberapa remaja yang saya lirik masih memakai centrino, bahkan Pentium M.

Saya bisa mengutak-atik Photoshop, atau Corel, atau PowerPoint. Kemajuan karena otodidak dan cukup membuat saya bangga karena beberapa kali justru saya dimintai tolong meracik foto dengan Photoshop oleh sejumlah ABG anak tetangga.

Menyangkut ketertinggalan yang pernah saya enyam tatkala remaja, saya berjanji kelak anak-anak saya adalah orang-orang hebat yang amat dibutuhkan bangsa dan negara, dengan kemampuan maksimal dan membanggakan. Anak-anak yang taat beragama dan berbhakti pada orangtua!

5 Sep 2008

Wahai Setan, Mari Kita Berkelahi!


Puasa selalu menyuguhkan keindahan tersendiri. Bukan es blewah atau bergelas-gelas kolak semata. Bukan seni menunggu bedug maghrib belaka. Melainkan kehadiran kumparan tradisi yang setiap tahun datang dengan menggendong corak dan warna yang berubah, tapi dengan aroma yang sama.

Jam 3.00 bangun, atau dibangunkan. Lalu dengan mata sembab meneliti televisi, memilih stasiun mana paling lucu. Kemudian kita biarkan televisi menyala karena ada segelas teh mengepul di meja. Kita menyeruputnya seraya mencari-cari sesuatu di lemari atau ujung dapur. Jika pun adanya cuma telor asin dan sayur sisa tadi malam, bukanlah masalah, karena esensi sahur adalah mengisi perut untuk perjuangan pagi hingga petang hari.

Setelah tafakur subuh, hari pun membentang. Ada matahari nyalang yang menggoda iman, ada warung yang dikuak pintunya, ada perempuan setengah telanjang bertebar di jalanan. Di situ, ada setan pula yang mendengus dan menari-nari.

Seberapa hebat kita membangun bendungan? Seberapa dahsyat kita membentengi napsu untuk sekadar menjangkau gelas cingcau? Masih adakah pilar yang menyangga hasrat kita untuk kalem dan tak bergejolak? Masih adakah kunci yang menggerendel napsu kita untuk tak berkelana di tubuh perempuan yang menguarkan bau setan di jalanan?

Puasa adalah seni yang mengatur kita untuk terus menari dan berlari, biarpun ada beribu kalajengking dan syahwat. Puasa pula yang membuat kita terus berada dalam sekam karena masakan padang, soto kudus, es teler, bakso, sop buntut, dan segala setan yang beranak pinak di segenap ruang dan waktu begitu menggoda. Puasa begitu indah karena saat bedug buka puasa tiba kita menemukan titik finish usai seharian kita berlarian.

Alhamdulillah, hingga hari ini, saya telah sukses menghajar ribuan setan yang mencoba menghalang-halangi laju lari saya menuju finish itu!