Search

16 Mei 2008

BEBATUAN TERJAL BU MUTIA


SAAT pagi menggeliat di peraduan, ketika itulah meloncat teriakan khas: “Jajan, jajaaaan … Mendoan, tahu susur, lumpia, rames, nasi kuning!”

Itulah ‘jam weker’ kami. Teriakannya melengking dari ruang tamu, sebab perempuan ini sudah memperoleh ‘hak’ untuk menguak pintu utama kantor kami, tanpa perlu mengetuk kaca atau memencet bel di luar sana.

Biasanya kami langsung bangkit dari kasur lipat yang berderet seperti bandeng presto di depan televisi, dan bergegas menyambangi perempuan ini. Bu Mutia, begitu namanya, tampak cuek membaui aroma tidur yang belum terguyur. Mata-mata kami yang memerah lantaran semalaman begadang merampungkan pengerjaan tabloid pun tak mengusiknya. Ia tampak begitu gembira kami kerumuni.

Tubuhnya mungil. Umurnya kisaran 50 tahun. Tetapi beban gendongan seolah menyiratkan betapa berat beban hidupnya. Saat azan subuh, ia sudah bangun, kemudian segera mengangkat bakul, mendatangi ‘produsen’ gorengan dan nasi bungkus, lalu menapaki kerikil dan bebatuan sepanjang Jl Tegalsari Raya – tempat kantor kami bermukim --, serta kampung-kampung nun jauh.

Sudah 20 tahunan ia berdagang beginian. “Ancar-ancarnya (saya mulai berdagang gendongan) ya mulai anak saya pertama baru berumur 3 tahun. Nah, sulung saya ini sekarang sudah berusia 25 tahun,” tutur Bu Mutia seraya tersenyum tulus, dengan gigi -- yang saya yakini – jarang disepuh dengan odol.

Sehari, begitu ia bercerita, ia memperoleh untung antara 20 sampai 25 ribu. Dengan penghasilan segede itu, ia bisa menghidupi ketiga anaknya (2 perempuan, satu laki-laki. Yang laki-laki masih kelas 5 SD). Anak sulungnya telah dipinang orang, dan kini telah dikaruniai tiga anak.

Bagaimana dengan sang suami? “Suami saya lumpuh sejak beberapa tahun lalu setelah tangannya terbelah keranjang bambu, saat ia menaikkan tembakau ke atas truk di tempat kerjanya,” ujarnya enteng.

Bu Mutia begitu enteng memandang hidup. Penderitaan tak tampak dari pijar matanya, meski, saya yakin, sesungguhnya ia menderita karena harus berjuang menggempur bebatuan yang menghantam telapak kakinya hingga pecah. Tatapannya tetap optimis, meski tak jarang kami tak membeli apapun darinya lantaran ia kalah cepat dengan soto gerobak.

Di ruang kerja, sesudah menyantap nasi ramesnya pagi ini, diam-diam saya malu karena tak memiliki spirit Bu Mutia …

2 komentar:

Unknown mengatakan...

spirit bu mutia memang harus ada, karena orang orang kecil hidup adalah perjuangan, dan perjuangan butuh kerja keras, spirit seolah-olah sudah menjadi makanan mereka tiap hari. tapi setelah BBM naik ??? menjeritlah

.... mas arief apa kabar... baru melihat blog anda, luar biasa.... banyak tulisan yang harus direnungi.. teruslah menulis....

... mas minta account YM nya.. ato emailnya.. kirim kesaya di :
noor_muhamad@yahoo.co.id

ato liat blog temen2 di :
http://snexcommunity.blogspot.com

Meita Win mengatakan...

Jangan malu, tapi mulai lah mengumpulkan spirit itu pelan2 :) karena kita semua membutuhkan sekali spirit itu...