Search

14 Mei 2008

DHANI (LAGI)


APA, sih, istimewanya Dhani?

Jujur belakangan ia menjadi tidak istimewa lagi, meski saya pernah tergila-gila padanya (sebuah ketergila-gilaan yang rawan, sebab sebelumnya saya masih pria normal yang menyukai perempuan ketimbang pria. Itu artinya, jika ada lelaki yang saya kagumi, berarti ia ‘istimewa’. Saya gay? Najis!)


Tahun 1992, ketika Dewa konser untuk pertama di Semarang, saya bergetar. Tentu itu getaran yang jujur, pasalnya saya masih ingusan dan lugu. Menjadi wartawan freelance pun semata untuk mencari uang untuk membayar kos.

Dewa (baca: Dhani Manaf. Waktu itu ia memang masih menyelipkan “Manaf” di namanya, sebelum berubah-ubah menjadi Ahmad Dhani atau Dhani Ahmad) menciptakan histeria massa. Para ABG memiliki idola baru. Saya juga. Usai konser mereka mau-maunya difoto dengan backdrop Dewa yang saya copot dari background panggung. Para fotografer dan wartawan gadungan sempat senang dengan ide saya ini.

Tahun 2002, ketika saya bekerja di Grup Kedaulatan Rakyat Yogya, saya sering berdiskusi dengan Anas, teman yang rumahnya saya kosi, yang kebetulan Baladewa (sebutan untuk fans Dewa). Kami mendebatkan lirik Dewa yang menyentuh dan megah, hingga tabiat Dhani yang tanpa kompromi. Sejauh itu, saya masih cinta Dewa.


Sampai akhirnya grup ini kesandung masalah, April 2005. Dalam konser "Laskar Cinta" di TransTV. Mereka beraksi di atas karpet motif kaligrafi bertuliskan "Allah".
Reaksi dari para ulama membuat heboh, melebihi geger "Arjuna Mencari Cinta" yang diprotes penulis novel Yudhistira AM Massardi itu.

Dhani mulai dikenal sebagai pria keras kepala dan sombong. Ia dengan enteng berkomentar tentang perkaranya dengan Maia, sang bini. Di infotainmen ia innocent saat menghujat mertuanya, seolah dunia sudah ia genggam. Ia juga arogan, kemlinthi, sok gentle, bergaya menteri, dan playboy.

Perseteruan Dhani-Maia mendongkrak kembali popularitas program infotainmen di hampir seluruh televisi di negeri ini. Orang menunggu-nunggu kabar lanjutan. Masyarakat tak segan mengeraskan volume TV hanya untuk mendengar komentar Dhani atau para pengacara.


Dhani memang layak jual. Sebab itu ia tak henti membangun sensasi. Bayangkan andaikata tiba-tiba tak lagi terdengar kabar tentang dirinya, apakah manajemen "Republik Cinta" bakal bertahan?

Dhani tiba-tiba tidak istimewa lagi. Ia tak bisa menyalip Chrisye, Iwan Fals, atau Ebiet G Ade yang besar tanpa bertingkah. Dhani hanya akan terus menerus berkubang dengan persoalan karena ia memilih jalur keras untuk publisitas.

Kontroversi hanya akan memarkir seseorang menjadi renta dan ditinggalkan para pemuja, sebab negeri ini tengah membutuhkan sosok adem, bukan orang yang memberi tauladan dengan kekerasan.

Saat tua nanti -- semoga prediksi saya ini keliru -- Dhani hanya akan memunguti sisa deposito, atau merekap kuitansi penyewaan alat-alat band warisan kejayaan Dewa, seraya melamun di beranda.

Terus terang belakangan saya tak lagi mengoleksi album-album Dewa (dengan Manajemen Republik Cinta-nya), kecuali menyelipkan lagu Sempurna produk Andra and The Backbone di memori ponsel …

3 komentar:

Anonim mengatakan...

sampeyan dah nggak gay sekarang?
ngomong soal dhani, saya juga mulai muak, mas.

Anonim mengatakan...

justru AD pusing mikirin utang2nya yang menumpuk om, makanya sering ngeluarin statement biar popularitasnya naik dan fulus masuk buat bayar utangnya itu...

DASAR EMBEK !!!

Meita Win mengatakan...

huehue..untung saya tidak pernah nonton TV!