Search

23 Mei 2008

CUNGKUP MULUT MUNGIL SILVER

Nama saya Enno.” Cungkup mulut mungil itu mengingatkan saya pada Silver.

Korea yang basah. Suhu 18 derajad celcius membekukan setiap kelenjar dan pori. Bandara Incheon Seoul diliputi kabut. Menunggu jemputan panitia seminar “The Future of Soccer”, membuat mata saya pedas. Sendi-sendi seolah dicopoti oleh penerbangan 6 jam dari Jakarta yang melelahkan.

“Hai.” Sebutir suara renyah. Seperti mengambang dalam nirwana. Saya menoleh. Di dekat bahu saya mendadak mekar sebuah senyum yang putih. Saya ternganga sejenak, hingga akhirnya tersadar bahwa “hai” itu dialamatkan kepada saya. Ia mengulurkan tangan.

“Anda dari Indonesia? BOLA Sport Weekly?” Ujarnya dengan Bahasa Inggris yang mudah dimengerti.

Saya mengangguk seraya mengangsurkan tangan. “Firhanusa.”

“Saya Sylvia Koh. Panggil saja Silver,” ucapnya dengan cungkup mulut mungil. Bibir yang sesekali ditampar dengan lunak sulur-sulur rambutnya yang dihempas angin.

Kami menaiki Mercedes, menyusuri aspal yang lengang dan penuh hutan kota menuju Seoul. Lima belas menit kemudian kami melewati Sungai Han yang luas, dengan penduduk yang memancing atau refreshing di sekeliling. Mata saya tertambat. Silver sibuk menjelaskan dengan telaten. Sikap manis yang menyaingi kelembutan bunga warna-warni di ruas jembatan Sungai Han.

Tibalah kami di Hotel Grand Intercontinental di Jalan Samsung-Dong, Seoul bagian Selatan. Silver berniat meraup koper saya dari bagasi, tapi saya mencegah. Tangan lembut itu terlalu indah untuk barang berat. Namun terlambat. Ia telah menjinjing koper dengan kecepatan yang tak terkira.

“Saya sudah biasa begini. Anda tak perlu khawatir,” ujarnya dengan senyum ramah. Sejurus kemudian ia telah menaiki tangga dengan kaki kijangnya menuju lobi, mirip Julia Roberts saat bermain di Notting Hill. Saya melongo dan bergegas mengekornya.

***

Kami menyusuri Dong Daemun, sebuah plaza yang menukik di bawah jalan protokol Seoul. Rasa cemas oleh kemungkinan beton ambrol ke bawah dan menimpa pertokoan di bawahnya, menciptakan pendar geli di mata Silver.

“Kami telah merencanakan dengan seksama pembangunan plaza ini, sehingga kemungkinan jalanan roboh ke bawah adalah nol persen,” paparnya. Lagi-lagi dengan senyum yang memabukkan. Senyum yang dua malam ini mengganggu tidur saya. Di ruang seminar, belasan kali saya menoleh ke sayap kiri tempat Silver duduk. Ia tampak anggun dengan blazer ungu, menyebabkan konsentrasi saya hilang.

“Saya mempercayainya, bukan saja lantaran kau mahasiswi fakultas teknik di Suwon yang terkenal itu, tetapi karena setiap apa yang kau lakukan selalu dengan cara seksama.”

“Saya bukan insinyur yang turut membangun Dong Daemun.”

“Tetapi kau punya kekuatan melebihi baja manapun.”

“Ah, jangan mudah terhanyut.”

“Kau sendiri yang menghanyutkanku dengan cerita mengenai pria yang mencampakkanmu beberapa tahun lalu itu.”

Please, jangan diungkit.”

“Maaf.”

Di lobi Hotel Grand Intercontinental, malam sebelumnya, paras Silver pias. Saya mencoba membuatnya tenteram tatkala ia mengakhiri kisah hidupnya yang tragis. Seorang dosen muda memacarinya. Dua tahun hubungan berjalan, dan prosesi menuju pernikahan pun tiba. Tetapi pria ini meranggas seperti tumor ganas. Hati Silver tercabik-cabik manakala suatu hari datang perempuan yang mengaku tunangan sang dosen.

“Saya sangat terluka … “ ucapnya di sela airmata yang menggenang. “Dua tamparan datang serentak, pertama dari pacar saya yang membagi hati, kedua dari umpatan perempuan ini. Saya dicaci maki. Saya diserbu dengan perkataan paling nista yang pernah saya dengar …”

Saya mendengar dan menyimak. Saya cermati setiap ucapan yang terlontar. Lalu saya dapati sesuatu yang tak kasat mata. Di balik suaranya yang pilu terdapat kekuatan maha dahsyat. Silver membangun sendiri benteng yang kokoh selepas ditinggal ayah-ibunya. Ia yatim piatu yang menyekolahkan dua adiknya, mengongkosi kuliahnya sendiri, dan mendapatkan seluruh biaya keseharian rumah tangga ‘ganjil’ itu dengan menjadi guide di banyak acara internasional yang diselenggarakan oleh Korea Selatan.

Kemarin, ia berkirim email. Silver mengabarkan telah dipilih pemerintah Korsel sebagai salah satu insinyur yang menangani pembangunan infrastruktur di sepanjang jalur Suwon-Seoul. Mata saya memendar gembira dan segera mengingat cungkup mungil mulutnya.

Pada saat hampir bersamaan, seseorang menyapa saya dengan penuh percaya diri melalui cungkup mulutnya yang juga mungil: “Nama saya Enno.”


*Untuk Enno dengan segenap energinya.

5 komentar:

Meita Win mengatakan...

waaahhh gileee...beneran 'jatuh hati' langsung yah? Aku tau kan 'selera' tulisan yang suka kau baca, Mas! hehe...

Enno mengatakan...

namaku disebut! ayo bayar dulu lisensi nya! :)

Anonim mengatakan...

Ah, semua tulisan bagus kok. Perkaranya dari mana kita menyimak dan meresapinya,, ciee

Meita Win mengatakan...

Ayooo Mas! bayarrr bayarrr....:D

Anonim mengatakan...

Waks, ada provokator yang ngomporin, hihihi. Oke dah, bentar aku liat2 dulu daftar kewajiban membayar lisensi yang diterbitkan Depnakertrans,, hahaha ...