Search

5 Nov 2008

PULANG


HUJAN hari ini seperti hujan kemarin. Tempias dan basah. Memercik dan menciptakan genangan. Tapi hujan di hati Sri disertai gemuruh badai.

Ia ingin pulang. Telah tiga tahun ia lebur dalam dengus birahi lokalisasi ini. Meninggalkan Emak dan Bapak. Meninggalkan butir-butir bening embun di pelepah bayam dan ketela.

Tapi sesuatu menahannya. Dari kusen jendela tempat ia bertopang dagu ketika gerimis tak juga surut, diliriknya tas jinjing yang telah penuh dengan baju dan sepatu. Tadi pagi ia berpamitan Mami dengan ekstra hati-hati.

“Sudah mantap niatmu itu?” Tanya Mami di teras kiri seraya mematut-matut gincu.

“Bapak sakit-sakitan. Emak setahun ini TBC. Saya harus pulang,” kata Sri dengan suara yang redup.

Mami menarik napas. Ditaruhnya kaca. “Kalau memang begitu, saya tak bisa menahanmu. Cari cerita yang baik agar orangtuamu tetap menganggapmu bekerja di warung makan.”

***

SRI bergegas turun dari bus. Segera angin segar menerpanya setelah tadi guncangan dan pengap membelitnya selama lima jam.

Jalan setapak di depannya mengingatkan Sri pada masa kecil. Pematang sawah dan lumpur, kerbau dan cangkul, mata-mata polos yang berkejaran dengan capung.

“Anak perawan tak boleh mandi bersama laki-laki. Ada sumur di belakang rumah, mengapa kau bercampur mereka di kali sana?” Sungut Emak tiap kali ia mencebur di kali bersama Legi, Parman, dan Sunhaji.

Emak akhirnya yang rutin memandikan Sri. Anak tunggal yang kolokan. Ia tumbuh bersama liuk pinggul penyanyi dangdut yang diundang ke desa tiap panen tiba. Sri kemudian mengenal lipstik dan bedak. Mengenal betapa penting duit. Tak cukup hanya menjadi tukang panen padi untuk handphone dan celana bagus.

Lalu Sumirah datang pada sebuah Lebaran. Diajaknya Sri ke kota. Lampu merkuri, derit rem sedan, restoran mahal dan remang-remang menciptakan sensasi luar biasa di bilik hati Sri. Ia membayangkan bekerja di juragan kaya dengan televisi yang selalu menyala, seperti janji Sumirah.

Langkahnya terbata-bata tatkala dentum musik mengoyak gendang telinganya. Dilihatnya lelaki-perempuan berangkulan seraya menenggak air penuh busa. Orang-orang jejingkrakan. Tak ada rebana, tak ada kasidah, tak ada satupun alasan untuk membalikkan badan karena mendadak ia tak punya pilihan.

***

SRI menyusuri hutan jati. Gurat wajahnya tampak senang karena sebentar lagi ia memeluk Emak sebelum dibongkarnya tas untuk menarik baju baru buat Emak dan Bapak.

Lalu, beberapa puluh meter menjelang rumah, Mak Sadli tergopoh-gopoh datang. Tetangga sebelah itu mencekal lengan Sri dengan amat kuat. “Tabahkan hatimu, Nduk, emakmu meninggal kemarin. Bapakmu sedang diangkut ke rumah sakit karena sesak napas. Ayo kita masuk rumah dulu ...”

Sri menggelosor di tanah dengan raung tangis yang sangat menyayat.

7 komentar:

Miss G mengatakan...

Membaca tulisan ini, rasanya direnggut dari surga keseharian ke dalam realita sebuah neraka keseharian juga dari berjuta-juta langkah yg menjerit.

Pertanyaan: salah siapakah? atau mmg sebagian HARUS tidak beruntung?

Anonim mengatakan...

duh .. endingnya sedih banget ya

-- mengatakan...

Sad ending.... malangnya Sri...

goresan pena mengatakan...

mengikuti pikiran sri saat perjalanan pulang...
membuat saya kembali tersadar, kalau saya juga sering me-refleksi diri justru saat saya bepergian...
itulah yang saya senangi dari sebuah perjalanan. bukan ke tujuan, tapi justru di prosesnya..

Anonim mengatakan...

SRI akhirnya balik ke kota lagi nggak bang?

Arief Firhanusa mengatakan...

Kalo balik ke kota, lo mo nampung yak blue? huehehehe ...

Enno mengatakan...

mas arief kalo bikin cerpen ttg masalah kemanusiaan selalu keren... kenape yee? ;)