Search

19 Nov 2008

BIDADARI SATURNUS


“Pernahkah kau membayangkan kita duduk di bawah merkuri, menghitung bintang sambil mengunyah cherry?”

AKU menatapnya dengan kelembutan maksimal. Sulit menerka apa yang sedang ia pikirkan manakala mata itu senantiasa ceria. Berulas-ulas senyum yang kukirim kepadanya membentur batu belaka.

Sudah seminggu ini ia di rumahku. Pesawatnya mendarat darurat di sisi rel kereta api karena planet Saturnus, asalnya, sedang bergejolak lantaran terjadi pembengkakan amonia dan metana. Pembengkakan itu menciptakan suhu atmosfer yang membara sehingga seluruh penduduk harus mengungsi ke bumi.

Aku merawatnya seperti mengasuh bayi. Membuatnya tetap sehalus pualam. Memberinya mantel saat ia mengerjap risau ketika menghirup udara senja. Hanya senyum yang ia berikan, sementara aku menantinya dengan gelisah agar kami bercakap-cakap.

“Percakapan apa yang kau inginkan?” Sebuah suara mengagetkan lamunan. Aku terperanjat. Menerka-nerka wajahnya yang sangat stabil. Mengawasi bibirnya untuk meyakinkan bahwa ia yang tadi berucap.

“Hm. Aku hanya ingin yakin bahwa kau baik-baik saja. Katakanlah sesuatu.”

“Aku baik-baik saja. Tak seperti yang kau bayangkan, di Saturnus aku dikenal ceriwis,” ia mengulum senyum. Menciptakan debur yang tak menentu di paru-paru.

“Lalu mengapa di sini kau banyak diam?”

“Aku hanya ingin yakin bahwa kau bukan seperti yang kubayangkan.”

“Pria yang tak bisa dipercaya, begitukah bayanganmu?”

“Oh, tidak. Kita dari planet yang berbeda. Dalam empat puluh tahun usiaku, aku mempertahankan diri dengan tradisi Saturnus, planet yang memiliki ribuan cincin itu. Planet yang menempa penduduknya untuk kuat dalam pertahanan. Bumi kami kenali sebagai planet yang jahat. Tapi apa yang kami yakini itu tak sepenuhnya benar. Kau salah satu yang baik, bahkan super baik. Seminggu ini aku mencoba mengenalmu.”

Malamnya aku bawa ia gazebo. Menyimak sejumlah lagu. Ia suka Biru Vina Panduwinata. Bibirnya mencoba bergerak menirukan. ... tiada pernah aku bahagia, sebahagia kini oh kasih//sepertinya kubermimpi, dan hampir tak percaya, hadapi kenyataan ini ... Kami terkekeh geli. Rembulan tampak sungkan. Angin bergerak berarak menciptakan kesiur lembut di dahan akasia.

Dini hari ia kuselimuti. Menjaganya dari lembab embun kala matanya terpejam. Membuatnya tetap lelap, dengan dada dan hidung yang naik turun.

Diam-diam aku berdoa supaya ia tak pulang ke planetnya ...

10 komentar:

Riema Ziezie mengatakan...

andai saja itu nyata ... wah kita bisa banyak temen dari planet lain ya...bahkan kita bisa singgah maen2 ke planet lain selain bulan...jadi bisa meninggalkan sejenak bumi yang sudah penat ini

-- mengatakan...

wah... mau doong dapat temen dari planet lain...
Mas Arif kalau ke saturnus aku titip oleh2 ya hehehe
SALAM SUKSES !!!

Miss G mengatakan...

Wah... mustinya ya kulitnya ungu dan bersisik keemasan, telinganya kyk Mr. Spock (^^,)

Sebenarnya ini menggambarkan sosok yg tinggal di awang2 yah? Org asing di dunia yg familiar? Jadi pingin tau... Kenapa membentur batu?

Hmm....

Arief Firhanusa mengatakan...

Membentur batu ya -G-? Mungkin sulit nembus batunya itu kaleee,, hehehe

ANGGUN PUSPITA mengatakan...

jadi pengen jadi gadis saturnus tapi di dunia nyata ajah!
dibagian disayang dan dicintai...

Arief Firhanusa mengatakan...

Hmm, bener jg kata anggunpuspita

Anonim mengatakan...

salam ya ama temen dari planetnya. seumuran denganku tuh, kalo dr planet sana masih muda kali ya..

Anonim mengatakan...

bang, cerita ini aku alami. hanya saja, ia menyebutku dengan dunia peri. dan dia manusia biasa.

ah.. peri. kenapa aku ia sebut peri?
ia pernah aku bawa ke dunia peri. kali pertama senyumnya selalu mengembang. Tapi aku sadar, dunia peri tidak baik untuk manusia sepertinya. waktu kita beda.

Kini, ia kembali ke alamnya. alam nyata untuk kembali menjadi manusia.


*Salam bang!!*
hehehehe...

Arief Firhanusa mengatakan...

Kirain Mbak Amalia 28, ternyata 40 ya? Hehehe. Met ulang tahun ya Mbak. Sukses buat keluarga.

Blue, tampaknya aku ngerti siapa yang kau maksud itu. Moga-moga tebakanku keliru, haha ...

Anonim mengatakan...

cewek jaman dulu kok seneng banget ya kalo wajahnya dibilang kayak rembulan???