“AKU akan membunuh Ayah!”
“Jangan, nak!”
“Mengapa kau melarang?
“Kau darah daging Sukarti yang lemah lembut, bukan angkara murka titisan Sumantri.”
“Persetan!”
Bulu kudukku meremang. Ngeri dan waspada. Tidak untuk mendorongnya melakukan pembunuhan mengapa aku datang. Terlebih terhadap ayah atau ibunya. Tetapi semata karena aku merasa perlu mengabarkan sesuatu.
“Sejauh ini kau bilang ia sangat jahat, tapi mengapa kau merintangiku?”
“Kau hanya menuruti keinginan.”
“Apa yang lebih baik ketimbang membuatnya mati?”
“Tapi bukan oleh tanganmu. Dan aku harus memberitahumu, jika kelak ia mati pun bukan karena pembunuhan.”
“Untuk perbuatan nista yang dilakukannya pada Ibu, ia harus mati mengenaskan! Aku aku membunuhnya!”
“Jangan, nak, urungkan niatmu itu!”
Ia mendengus kasar dan liar. Tubuhnya bergerak gelisah. Jari-jari mungilnya mencengkeram. Geram dan amuk berkecamuk. Tangan itu tidak mustahil kelak gemetar menarik geretan. Mendorong api di tungku geretannya menuju obor berlumur minyak, menciptakan lidah api yang sangat merah dan menari-nari.
Obor terayun. Menumbuk tubuh yang sebelumnya juga telah diguyuri minyak. Seseorang meraung kesakitan dengan bara menjilat-jilat tubuhnya, berlarian sepanjang hutan dengan perih tak terkira. Lalu ambruk berdebum. Berkelejotan seperti belut di pemanggangan. Dagingnya mendidih. Bau sangit bergulung di udara. Perlahan-lahan lapuk dan mengkerut, menyisakan belulang kehitaman. Bukan pembunuhan biasa. Seorang laki-laki perkasa meregang nyawa oleh api yang disulut anaknya sendiri.
Anak ini menunggu bertahun-tahun sampai merasa cukup kuat berkelahi. Pada saat sama ayahnya sudah renta dan tak bertenaga. Laki-laki tua yang mulai rabun itu mengira malaikat pencabut nyawa telah tiba. Mungkin ia dijalari ketakutan untuk pertama sepanjang hidupnya.
Bisa saja justru sebaliknya. Anak ini masih sangat muda saat memburu ayahnya. Sementara sang ayah masih bugar hingga sulit ditaklukkan. Sang anak menjadi bulan-bulanan. Diseret dan dicincang tanpa belas kasihan. Dikubur entah dimana. Bahkan mungkin jasadnya diceburkan ke laut.
Aku tak ingin itu terjadi. Kupelajari bolamatanya. Mencari celah meredakan amarah. Rekah murka yang meletup dari seseorang ketika merasa perlu menjaga martabat ibunya. Aku menyesal karena telah menceritakan bagaimana Sukarti hampir tak memiliki lagi harga diri karena Sumantri merenggut semua, sebelum benar-benar yakin anak ini siap memahami.
“Kau masih punya kesempatan untuk menemuinya. Berembug adalah jalan terbaik. Pembunuhan bukan jalan keluar. Kau bakal memahami saranku ini setelah kau dapati matahari dan rembulan yang berkilau menyenangkan di luar sana.”
“Jangan mencoba memengaruhi!”
“Aku telah kenyang pengalaman.”
“Tidak membutuhkan satu pun pengalaman bagi seseorang untuk membela ibunya.”
Luar biasa. Anak ini tumbuh seperti beton. Laki-laki yang mewarisi sorot mata tajam Sumantri dan kelembutan pori-pori Sukarti. Kelak ia menjadi pria gagah dengan wanita-wanita yang berebutan. Aku turut bangga, sekaligus cemas.
Sumantri tak ubahnya percik neraka. Ia pria gagah yang bersekutu setan. Sebuah kekeliruan Sukarti bersedia dinikahi, karena begitu turun dari pelaminan, serta merta Sumantri menjadi binatang. Bukan pria lembut seperti yang diangankannya.
Dalam desau angin kemarau, saat bulan sabit mengintip, lamat-lamat kudengar derit ranjang yang berisik dan penuh rintih. Sukarti kesakitan dan meratap. Gigil deritanya begitu menyayat. Menyeret kakiku mengendap-endap di pekarangan dengan jantung yang ribut.
Dari celah dinding papan kutemukan pemandangan biadab di keremangan kamar. Tangan Sukarti diikat seperti sapi, terentang ke kiri dan kanan seolah akan disalib. Sprei tercampak di lantai. Pembaringan menjelma menjadi altar pengorbanan. Sumantri merangkak dengan seringai serigala di atas tubuh telanjang Sukarti.
Darahku bergejolak. Jala menggelosor lepas dari genggaman. Kamar pengantin itu merenggutku dalam gelembung murka yang sulit ditahan dan dipadamkan. Melintas keinginan mendobrak papan, menghambur ke dalam lalu menghajar Sumantri.
Tetapi keinginan itu kutahan. Membengkak dalam gegas lari kesetanan menuju sungai, terbang mencebur, menyeberangi arus deras. Berteriak sekuat tenaga di seberang sana saat tubuh basahku telentang lemas ....
17 komentar:
weleh judulmu ngeri2 mz. kl ga salah dulu jg ada cerpen bercinta dg srigala atau apa itu?
weks ...
absurd dan merangsang. ditilik dr judulnya plus sedikit prolog itu, aq bs membayangkan persoalan di dalemnya pelik. kapan rilis mas?
wheleh...
suadis'e rek !
kapan mulai beredar, Mas ? atau jangan2 sudah ada di gramed ?
jd pake judul itu? ga dipertimbangkan lg yg masak2? kirain dulu sbatas sharing, e ga taunya beneran pake itu. sadis om kedengerannya? hihihiq
proyek gede neh nampaknya. tareeeeekkk ...!!!
Uuuww... kelam sekali.. Nanti sekalian dengan tanda-tangannya ya.. (^^,)
kata2nya mas arif neh terlalu sastra banget gitu. aku suka baca, suka bgt malah, tapi novel2 yang aku baca dan laris dipasaran tuh novel yang mudah dipahami, mudah diimajinasi, cieee
medeni tenan iki critane..
medeni tenan iki critane..
Sukarti itu bukannya tokoh yg ada di filmnya Suzanna yah?hehehe...;p
Inget lho..Like Father Like Son..Like Daugther Like Mother..ato sebaliknya.
Cerita novelmu ini sepertinya ada dendam didalamnya. Tapi moga2 saja bukan dendam..semoga?!
Olala, bhsnya muter-muter dan bikin puyeng euy. tp ntah kok aku suka ya. maju terus maz, pantang mundur!
Jawaban untuk sodara sebangsa setanah air:
@putri: Iya, judulnya emang ngeri karena yang dijual emang kengerian. Jangan salah, ngeri tapi indah, kan? Hehehehe. Betul katamu, novel yang pertama adalah "Bercinta dengan Serigala"
@joko: akar permasalahannya enggak begitu pelik, yang pelik adalah konflik pribadi antartokoh. Saya nggak suka yang pelik-pelik, Mas Joko, tapi suka dengan hal-hal instan, wahahahaha ... Rilisnya tar sampean saya kabari.
@goenoeng: Sadis? Enggak ah. Ada tutur bahasa yang di-nyeni-nyeni-kan kok, hahahaha. Blom Mas, blom diedarkan lha wong masih under construction,, hihihihih ...
@mira: dari empat biji yang pernah aku omongin ke kamu, yang pas cuma "Membunuh Ayah" Mir. Halaman depan perlu sentuhan keji, pilu, atau selengekan sekalian, haha!
@sendangmulyo: doain kang, tar kita maem serabi bareng lagi,, hehehe ...
@-G-: pasti dirimu dah baca cerpen "Membunuh Ayah". Kalau enggak, mana bisa komentar "kelam". Hm, saya emang kelam, G, sampe ngasih tanda tangan ke kamu aja perhitungannya sepelit tuan tanah,, bhwhahahahah .. pissss!
@SHG: Ini Mas Shugy ya? Ho-oh Mas, emang njelimet setelah kuteliti. Makanya entar batang tubuhnya saya bikin rada lentur, gurih, dan nyaman dikunyah. Makasih saran dan masukannya. God Bless!
@ernut: halah, biasane aja ngakak liat hal-hal medeni. Eh, kapan2 saya mo mampir "susuh" jenengan Mbak. Boleh? Boleh! :p
@anggun: waaaaaaaaaaaa ternyata pecandu Suzanna ni ye! Iya, ada nama Sukarti di film "Sundel Bolong", tapi ini Sukarti versi Cimed, huhuhuhuhu! "Like father like son"? Aha, sudah lama aku engga denger ungkapan itu.
@V: Makasih telah mendorong saya sampe tersedak, V. Tapi juga minta maaf krn bikin kamu puyeng, hehehehe.
tiwas aku sudah meh lapur pulisi....
@Mbak Ayik: Huh, dumeh konco-2ne dadi caleg ...
don't know what to say...
juz one word i would say:
HEBAT!
Makasih Hez, salam buat Sachy ya.
hehehe... "membunuh Ayah" ini pernah aku lahap habis versi yang cerpenmu bang. memang keren. sungguh!! aku suka.
kalo jadi buku, aku beli dah. ntar minta tanda bibirmu ya bang...
Posting Komentar