DI tikungan dekat gang kami ada warung tenda. Warung hik orang Jogja dan Solo bilang. Orang Semarang menyebutnya "warung kucing", atau sego lunyu (nasi licin).
Warung tersebut berjual nasi bungkus murah meriah beserta goreng-gorengan, dan, tentu saja, teh lezat yang dimasak dengan arang.
Sore hingga malam ramai sekali di sana. Sepeda motor berjajar di depan dan kiri-kanan. Di antara riuh rendah orang-orang lesehan, terdapat sejumlah remaja. Dari parasnya, tampak benar mereka bengal. Pria-pria tanggung itu merokok seraya saling ejek dengan bahasa kasar.
Syahdan, di warung ini sering pula ada reserse yang menyaru, ikut bergabung. Mengapa polisi di sana? Tentu saja untuk meringkus bandit, atau sekadar memburu informasi. Dengar-dengar polisi-polisi preman tadi beberapa kali memborgol kawanan maling sepeda motor di warung tenda itu.
Minggu sore kemarin saya menyantap gongso pindang di sana. Selagi makan dan kemudian merokok sesudahnya, terdengar para remaja "slum" itu bercengkerama dengan nada kencang diliputi tawa ngakak yang sangat berisik. Entah, saat itu saya sama sekali tak merasa terganggu. Biasanya situasi semacam ini memancing rasa jengah saya.
Usai merokok dan membayar makanan, saya membersit keluar. Sontak tawa mereka berhenti seolah direm. Sedetik saya membatin, kehadiran sayakah yang membuat mereka berhenti tertawa? Atau ada hal-hal konyol dalam diri saya? Saya tatap kerumunan itu. Tak kurang selusin remaja nakal melihat secara serempak ke tubuh dan mata saya. Saya sedikit tersinggung karena sebagian ada yang cekikikan seraya memandang saya.
Naluri saya mengatakan, saya memang alasan mereka menghentikan canda. Saya bawa insting itu kala kaki saya melangkah ke arah belasan orang ini, dengan risiko dikeroyok. Tak masalah, batin saya, toh hari belum gelap. Andai mereka mencoba menganiaya, saya masih punya celah untuk menyerang balik. Sudah lama kami, warga terdekat, kesal dengan ulah mereka yang suka trek-trekan motor tiap malam Minggu, menimbulkan bunyi knalpot yang memekakkan telinga! Dan inilah saatnya!
Sejengkal lagi saya sampai di motor-motor yang mereka tunggangi. Saya waspada. Tiap gerakan mereka saya teliti benar. Siapa tahu mendadak ada yang mencabut obeng dan menikam kepala saya.
Tapi ternyata keliru. Tanpa tahu apa sebabnya, seorang diantara mereka yang bertato kupu-kupu di lengan menyapa dengan ramah, "Pak ... " Ujarnya sembari menganggukkan kepala. Beberapa di antaranya bersikap sama.
Kepalan tangan yang saya persiapkan pun saya lepas. Berganti senyum untuk merespon sapaan itu. Tak lama, kami terlibat obrolan seru. Mereka ternyata maniak sepakbola. "David Beckham itu cuma dipinjam AC Milan atau benar-benar dibeli, sih, Pak?" Tanya remaja kurus dengan gigi yang berkerak hitam karena rokok.
Perbincangan kami 15 menit lamanya. Mereka kurang berpendidikan, atau bersekolah tapi tak mendapat perhatian penuh dari orangtua, dan salah bergaul. Itulah kesimpulan saya. Mereka enak diajak ngobrol, tapi sering kurang kontrol. Tak jarang saya mendengar mereka bilang (maaf) "asu" (anjing), "cocote" (diterkemahkan secara harfiah dengan "mulutnya", tapi "cocote" sungguh sangat kasar untuk orang Jawa), serta banyak lagi nama binatang dan "profesi nista" mereka lontarkan.
Saya mencoba menganalisa, adakah diantara mereka adalah pelaku perampokan yang gagal terhadap Pak Komar, tetangga di gang saya itu, beberapa hari lalu? Perampok yang gagal ini sempat membacok punggung atas Pak Komar, sehingga urat harus mendapat belasan jahitan.
Saya pamitan akhirnya. Sebelum beranjak, saya ditanya satu diantara mereka. "Bapak ini polisi, ya? Dinas di mana, Pak?" Saya tersenyum saja.
Memang tampang saya polisi? Gerutu saya.
Warung tersebut berjual nasi bungkus murah meriah beserta goreng-gorengan, dan, tentu saja, teh lezat yang dimasak dengan arang.
Sore hingga malam ramai sekali di sana. Sepeda motor berjajar di depan dan kiri-kanan. Di antara riuh rendah orang-orang lesehan, terdapat sejumlah remaja. Dari parasnya, tampak benar mereka bengal. Pria-pria tanggung itu merokok seraya saling ejek dengan bahasa kasar.
Syahdan, di warung ini sering pula ada reserse yang menyaru, ikut bergabung. Mengapa polisi di sana? Tentu saja untuk meringkus bandit, atau sekadar memburu informasi. Dengar-dengar polisi-polisi preman tadi beberapa kali memborgol kawanan maling sepeda motor di warung tenda itu.
Minggu sore kemarin saya menyantap gongso pindang di sana. Selagi makan dan kemudian merokok sesudahnya, terdengar para remaja "slum" itu bercengkerama dengan nada kencang diliputi tawa ngakak yang sangat berisik. Entah, saat itu saya sama sekali tak merasa terganggu. Biasanya situasi semacam ini memancing rasa jengah saya.
Usai merokok dan membayar makanan, saya membersit keluar. Sontak tawa mereka berhenti seolah direm. Sedetik saya membatin, kehadiran sayakah yang membuat mereka berhenti tertawa? Atau ada hal-hal konyol dalam diri saya? Saya tatap kerumunan itu. Tak kurang selusin remaja nakal melihat secara serempak ke tubuh dan mata saya. Saya sedikit tersinggung karena sebagian ada yang cekikikan seraya memandang saya.
Naluri saya mengatakan, saya memang alasan mereka menghentikan canda. Saya bawa insting itu kala kaki saya melangkah ke arah belasan orang ini, dengan risiko dikeroyok. Tak masalah, batin saya, toh hari belum gelap. Andai mereka mencoba menganiaya, saya masih punya celah untuk menyerang balik. Sudah lama kami, warga terdekat, kesal dengan ulah mereka yang suka trek-trekan motor tiap malam Minggu, menimbulkan bunyi knalpot yang memekakkan telinga! Dan inilah saatnya!
Sejengkal lagi saya sampai di motor-motor yang mereka tunggangi. Saya waspada. Tiap gerakan mereka saya teliti benar. Siapa tahu mendadak ada yang mencabut obeng dan menikam kepala saya.
Tapi ternyata keliru. Tanpa tahu apa sebabnya, seorang diantara mereka yang bertato kupu-kupu di lengan menyapa dengan ramah, "Pak ... " Ujarnya sembari menganggukkan kepala. Beberapa di antaranya bersikap sama.
Kepalan tangan yang saya persiapkan pun saya lepas. Berganti senyum untuk merespon sapaan itu. Tak lama, kami terlibat obrolan seru. Mereka ternyata maniak sepakbola. "David Beckham itu cuma dipinjam AC Milan atau benar-benar dibeli, sih, Pak?" Tanya remaja kurus dengan gigi yang berkerak hitam karena rokok.
Perbincangan kami 15 menit lamanya. Mereka kurang berpendidikan, atau bersekolah tapi tak mendapat perhatian penuh dari orangtua, dan salah bergaul. Itulah kesimpulan saya. Mereka enak diajak ngobrol, tapi sering kurang kontrol. Tak jarang saya mendengar mereka bilang (maaf) "asu" (anjing), "cocote" (diterkemahkan secara harfiah dengan "mulutnya", tapi "cocote" sungguh sangat kasar untuk orang Jawa), serta banyak lagi nama binatang dan "profesi nista" mereka lontarkan.
Saya mencoba menganalisa, adakah diantara mereka adalah pelaku perampokan yang gagal terhadap Pak Komar, tetangga di gang saya itu, beberapa hari lalu? Perampok yang gagal ini sempat membacok punggung atas Pak Komar, sehingga urat harus mendapat belasan jahitan.
Saya pamitan akhirnya. Sebelum beranjak, saya ditanya satu diantara mereka. "Bapak ini polisi, ya? Dinas di mana, Pak?" Saya tersenyum saja.
Memang tampang saya polisi? Gerutu saya.
10 komentar:
jaman sekarang emang polisi2 item2, maz. terima saja.
Sampeyan gak tersinggung ta Mas disangka pulisi....? (clingakclingukdotcom)
Saya naksir tato-nya, kayak Yakuza ya? Jadi ingat body painting, kayak tato tapi bisa dihapus, keren juga (^_^)
Jadi bapak ini ternyata sudah menduga yg tidak2 padahal mereka malah ngajak ngomong baik2 yah? Nah kalo yg ini jadi inget kelas sosiologi bab labeling dan deviance.
untung ya mas masih dikasih kesabaran untuk lebih bersikap menunggu...coba, kalau tidak punya sabaran, jangan2 duluan menyerang ...berabe khan....hehehe...
selain belajar lebih sabar, kebanyakan kita memang harus belajar untuk tidak mudah menghakimi orang lain...bertampang preman dan mudah berkata kasar, belum tentu berkelakuan kasar....tapi yang berkata manis, juga belum tentu selalu berkelakuan manis....
akhirnya, tergantung sedang berperan apa saat itu....jahat atau baik ??? :)
tapi kenapa tiba2 si tato kupu2 menyapamu? apa sebelumnya tau kamu seneng bola?
tapi bener juga preman itu, rief. wajahmu di foto andalan berbaju biru kotak2 itu emang mirip reserse..hihi
mas arief, iki cerpen apa dudu to? tiwas tak kiro pengalaman pribadi tibake siapa tau dudu...
HIK aku juga suka "Hidangan Istimewa Kampung"....sega kucing aku ya ketagihan...
wuuaaaahhhhhahhahah...
emangnya mas arief mirip polisi gitu? he...takuuutttt....
sek,sek...aku tak ngakak dulu...
Mas Arief disangka pulisi, wekekekek...
ini pasti kejadian di 'warung koboi' di tikungan kuwi ya, mas ? biasa kok. dulu pas masih di sana, aku sok tongkrong juga. dan mereka jinak2, hahaha...
wakakakakk...
bangga duunk mas.. dikira polisi ;)
nyamar jadi reserse sekalian aja :D
Posting Komentar