Search

20 Feb 2009

PELURU CINTA


... Mengapa surat-suratku tak pernah kau balas? Mengapa kau pergi seperti ditelan bumi? ...

***

SURAT bersampul cokelat. Nada-nada putus asa ditunjukkan Viona lewat amplop yang tak lagi ungu. Gegar menggeletakkannya di meja, di sebelah botol Jack Daniels, lantaran ia masih bergulat syahwat dengan Diana di sofa.

Ia mengguyur sekujur tubuh dengan air hangat, sejam kemudian. Dalam telanjang, ia ingat Viona. Ah, gadis yang ranum. Gegar mengenalnya di sudut pasar, tatkala hari menjelang dini, lima tahun lewat.

Hati-hati ia melindap menuju BMW warna gelap yang bannya kempes di sudut pasar itu. Ia menyorotkan senter tanpa bermaksud mengagetkan. Tapi, tak urung, si pemilik mobil terperanjat. Wajah kuning langsat itu serta merta sepucat mentega.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara berat Gegar menyurutkan nyali Viona. Tapi, entah, nalurinya mengatakan pria di depannya bukan bandit. Setidaknya, kalaupun penjahat tetapi berhati lembut.

"Ban saya kempes, Pak ... " Ujar Viona dengan geletar yang susah disembunyikan, meski tadi ia sempat merasa aman ada orang datang. Maklum saja, pasar ini gelap gulita. Ada aura jahat di sekeliling.

Tanpa basa-basi, Gegar membuka bagasi. Ditariknya dongkrak dari kolong, membuka ban, dan memasang ban cadangan.

"Lain kali jangan lewat sini, neng. Banyak pencoleng di ujung sana. Untung saya ada di dekat sini tadi," ucap Gegar seraya menunjuk sudut gelap di sayap kiri pasar.

"Terima kasih, Pak."

"Panggil Gegar saja. Oke, kau boleh pergi sekarang. Hati-hati."

Pertemuan yang membuat Gegar menyesal. Ia meninggalkan nomor telepon pribadi ke ponsel Viona. Bukan hal biasa ia lakukan. Ia pembunuh bayaran yang sangat teliti dan rapi menyimpan beragam celah kebocoran.

Paginya Viona menelepon. Sekadar menanya kabar. Celakanya Gegar tak menolak ajakan makan siang. Gegar menjemput Viona di gerbang kampus, menyisir hujan di kota atas dengan renda-renda cinta. Ada sentuhan-sentuhan kecil lengan Viona yang menggerakkan aorta Gegar ...

Keduanya terlontar dalam pusaran pelangi di rentang enam bulan. Viona seolah bersebelahan dengan gladiator tiap kali mendapati Gegar menangkupkan lengannya yang kekar. Gegar pun merasa mendapatkan tetes anggur di kemarau yang retak tiap kali mendengar tawa Viona yang nyaring.

Lalu Gegar harus berkelahi dengan situasi ini. Ia tak mau hanyut dalam asmara bahaya. Riskan andai Viona tahu apa pekerjaannya. Berisiko kalau gadis itu kelak terlibat dalam situasi panas pertaruhan nyawa.

Hanya PO BOX yang menautkan Viona kepada Gegar. Setidaknya bayangan Gegar. Gegar menyesal telah memberi alamat itu. Itu sebabnya ia tak pernah membalas surat-surat Viona.

***

MONCONG senapan mengarah lurus ke kaca plaza di bawah sana. Dari ketinggian -- di gedung berlantai 9 di jarak 200 meter dari plaza --, Gegar menghisap sigaretnya dengan tenang. Ia harus membunuh seseorang malam ini. Sesuai perintah Mr X -- begitu Gegar memanggil 'sosok' yang biasa memberinya order -- ia hanya perlu melesatkan satu peluru yang menembus kaca 5 inci, melalui banyak kepala di acara peragaan busana, dan menancap di jidat seseorang di tengah kerumunan.

Pekerjaan berat. Biasanya ia hanya perlu membidik satu target tanpa rintangan. Tapi Mr X meyakinkan. "Kau tak akan susah menembak karena ia berdiri di atas pentas," ujar pria yang sama sekali belum pernah ia lihat parasnya ini. "Besok, kau ambil sendiri honormu di tempat biasa. Lima puluh juta rupiah," sambung Mr X.

Gegar tak perlu bertanya siapa yang akan dibedil, untuk masalah apa, dan sebagainya. Pekerjaannya cuma membunuh. Lalu upah ia dapatkan. Dan lupakan.

"Lima menit lagi," ujar Mr X, entah dari mana. "Ada tanda dari seseorang yang akan melambaikan tangan di sisi kiri panggung, menuntunmu siapa yang hendak kau tembak. Ia berbaju kuning, melambaikan tangan ke arahmu."

Lup telah memperpendek jarak. Gegar menemukan pria berbaju kuning yang sebentar-sebentar memandang ke arahnya. Tiga menit ... Dua menit ... Satu menit ... Gegar mulai mengatupkan telunjuk di pelatuk. Menunggu aba-aba pria berbaju kuning.

Inilah saat Gegar harus menembak. Pria berbaju kuning menunjuk ke arah seorang peragawati yang gemulai memamerkan busana di atas catwalk. Gegar tersentak. Di bawah sana, perempuan yang harus ia bunuh adalah ... Viona!


***
Cerpen Peluru Cinta pernah saya kirim ke Koran Tempo, medio 2007. Tapi, hingga detik saya menulis ini saya belum mendapatkan kabar dimuat atau tidak. Naskah di atas adalah nukilan cerpen tersebut.



11 komentar:

Ge Siahaya mengatakan...

Tembak! Tembak! Tembak! Persetan dengan cinta. Cinta itu bisa dipungut dimana-mana, sedangkan uang? Uang tidak jatuh dari langit! Ayo Gegar, tembak dia, mengapa harus ragu2? Hanya satu titik lagi lenyap dari jutaan titik2 tak berarti. Bila pelurumu tepat merobek jantungnya, maka darah yg tumpah hanya sedikit saja. Dia akan rebah dengan cantik. Tembak. Tembak. Tembak. Selesaikan pekerjaanmu. Lepaskan hatimu yg tidak pernah juga kau pakai. Tembak.

(^^,) G, yg sedang 'gila'

Anonim mengatakan...

ah, saya lebih suka membunuh dengan melempar kampak ke kepala dan melihat korban terkapar dengan luka menganga di tengkorak...

Anonim mengatakan...

"Keduanya terlontar dalam pusaran pelangi di rentang enam bulan"

great!

kalimat tak biasa ini mencuri perhatianku dan buru2 kucatat dlm memoriku

Anonim mengatakan...

ending ceritanya sudah bisa saya tebak...tetapi,pemaparan cerita ini membawa saya sehingga saya demikian terseret arus perseteruan jiwa Gegar... luar biasa Mas...

Anonim mengatakan...

Mas, Mase! akyu lg bertanya tanya ne. apa sebab si viona kudu koit, ada masalah apa? itu yg gangguin pikiran akyu.

tp kale aja di cerpennya ada penjelasn mengani itu yah? yo wis, tp tetep kutunggu jawabanmu mas.

Anonim mengatakan...

Manstap bang!

Sekar Lawu mengatakan...

hwaduuuh....pembunuhan berencana...

Anonim mengatakan...

Hai mas, udah lama ga mampir sini. wah makin keren aza blognya. kapan2 ke blog sy ya, udah lama engga nulis niy

Anonim mengatakan...

Hai Mas, kamu masih hidup tho? hihihihi ...

Anonim mengatakan...

kenalkan aku pada Gegar, ayik membutuhkannya! (hehe..nyambung nggak niy komen kayak gini)

mas!, aku request cerpen sing lucu!, please...?

Anonim mengatakan...

hidup koran tempo !
haha... pengalaman yg sama.

ini kayaknya salah satu embrio buat nanti ya, boss ?