Search

29 Des 2008

ENDANG, IBU TIRI KAMI


“Rief, kapan mulih, bpk gerah.”

Tanpa tanda tanya. SMS khas Bapak. Mulih maksudnya pulang, gerah adalah sakit. Selalu, sekarang ini, Bapak meminta saya pulang karena ia sakit. Gula. Itulah yang ia derita.

Bapak sakit-sakitan sesudah Ibu meninggal, 1993. Paling rapuh sejak ia menikahi Endang (Endang siapa lengkapnya, saya tak pernah tahu, setahu saya Endang saja), pada 2000. Ini pernikahan kedua setelah Bapak duda. Sebelumnya ada perempuan lain, namanya Emi. Tapi, entah mengapa, Emi diceraikannya pada 1998.

Ketika saya susah payah mencuri waktu untuk mengebut ke Demak, menyusuri jalan desa yang aduhai rusaknya, Bapak tersenyum bugar di beranda. “Katanya gerah, Pak? Kok tampak sehat?” Serbu saya sebelum mencium punggung tangannya. “Iya, kemarin pucat banget. Sudah dibawa ke dokter tadi pagi,” ujar Endang yang tahu-tahu muncul dari dalam.

Endang usianya hanya berjarak 2 tahun dengan saya. Ia lebih tua. Saya memanggilnya “Bu” karena ia dinikahi oleh Bapak. Karena 'Ibu', maka saya pernah menghormatinya. Tetapi Endang bukan tipikal seorang nyonya. Ia kerap bicara selengekan, tak mencerminkan Ibu Carik yang patut dihormati warga (Bapak adalah seorang carik -- wakil lurah -- di desanya).

Selang beberapa saat setelah kami basa-basi, mulailah Endang ini menyerempet-nyerempet uang. Ia bilang, Bapak tak punya duit untuk berobat. Juga sesekali menyinggung Daffa – anak Eni, adik bungsu saya -- yang dipelihara oleh Endang.

“Ia keranjingan main bola. Mbokya bawain dia bola tendang dari Semarang. Ibu tak punya duit untuk membelikannya. Susu saja kadang tak mampu Ibu beli,” cerocosnya dengan muka minta dibelaskasihani, tanpa memberi saya kesempatan untuk beralasan, umpama saya belum gajian sehingga di dompet tinggal beberapa puluh ribu.

Sepanjang mengobrol bertiga, Bapak banyak diam. Sembilan puluh persen pembicaraan hanya berkisar tentang kekurangan. Kekurangan yang saya kira didramatisasi, sebab tak ada tanda-tanda miskin di matanya.

Sekian tahun lalu, sebelum ada Endang dalam kehidupan kami, saya disurati Bapak. Dalam amplop diselipkan selembar foto. Foto perempuan bercelana pendek, dengan satu kaki ditumpangkan di kaki lainnya, dan berkacamata hitam pekat. Tadinya saya ngakak. Saya membatin, preman dari mana ini? Tapi saat membaca surat, tahulah saya wanita tadi adalah calon ibu tiri saya. Mendadak wajah saya pucat.

“Ia pernah bekerja di Kuala Lumpur, jadi TKW. Tapi jangan dilihat TKW-nya. Ia wanita yang baik, dan Bapak yakin bisa ngemong kalian berempat,” kata Bapak dalam suratnya.

Monggo, Pak, nikahi saja dia. Bapak bisa memilah mana baik mana buruk, ujar saya dalam surat balasan. Kalimat yang saya tulis asal, karena saya punya firasat buruk tentang Endang ini. Firasat yang juga merebak di benak Indah, Edi, dan Eni, tiga adik-adik saya.

Maka, terjadilah apa yang kami risaukan. Bapak meminta kami, terutama saya untuk pulang, ketika ia tengah butuh. Namun, ketika bertubi-tubi ia menjual kebun, tanah, hingga rumah, tak satupun kami diminta pulang. Ia telah terkontaminasi akal busuk istri barunya.

Seluruh handai taulan saya serempak mengutarakan ini tatkala saya keluhi: “Ibumu telah melakukan tugasnya sebagai perempuan yang rakus. Bukan hanya harta yang ia gerogoti, tapi juga kesehatan bapakmu ... “

10 komentar:

Anonim mengatakan...

tumben sampeyan meledak2 urusan perempuan bang?

tak biasanya.

Anonim mengatakan...

pak.. kudunya anda bisa juga ikut menjaganya, agar tidak mewujud menjadi sitikus....
selamatkan yang masih tersisa.

Sekar Lawu mengatakan...

siikk...sik, sebelum ber koment, aku meh nanyak dulu Mas arief. Iki cerita fakta ataukan fiksi? qiqiqi...menyangkut SARA soale...

Anonim mengatakan...

dimana - mana ibu tiri sama. semua kayak nenek sihir

goresan pena mengatakan...

hm...untuk posting ini emang aku gak mudah ngomentarinya...

tapi aku gak setuju dengan komen anomin di atas..

kakek punya istri lagi setelah menduda juga, saat itu anaknya masih kecil2...dan nenek yang kuketahui itulah...yang merawat kakak2 ayah dengan kasih sayang...

Arief Firhanusa mengatakan...

Jawaban untuk
@blue: ini urusan harta dan kasih sayang, man, bukan perempuan, huehehe ...

@amalia Hazen:
Ho-oh, Mbak, ibu (tiri) kami udah kelewat batas.

@Mbak Ayik Sekar Lawu:
True story, Mbak, alias nyata senyata nyatanya. Nanti-nanti saya akan kasih label NYATA (untuk kisah beneran), dan FIKSI (untuk cerita rekaan). SARA? Sing endi tho mbak yang jenengan maksud?

@Anonim:
Ini istri saya, jangan dihiraukan karena ia juga tengah jengkel dengan telepon Ibu tiri kami yang sering meminta/pinjam uang. Tapi, emang terlalu menjustifikasi kalau ada istilah "nenek sihir".

@Hesra Goresan Pena:
Benar katamu, Hesra, beberapa ibu tiri yang saya kenal memang lembut dan berlimpah kasih sayang. Tak heran kamu tak menyetujui sikap menghakimi para ibu tiri lantaran tak semua mereka culas dan bermuka singa.

Anonim mengatakan...

aku cuma mau ngasih saran saja, mas. sebagai sedulur.
kasihan bapak.
mungkin saat ini, beliau mulai menyadari kesalahannya, dengan memperistri endang siapa itu.
nah, mungkin njenengan bisa mulai mendekati bapak lagi, karena mungkin setelah menikah, hubungan njenengan sama bapak agak jauh. daripada berlarut2, mending sarankan jalan yg sama yg ditempuh untuk emi dulu. pegat !
memang saran yg jelek ya, tapi kalo menurut saya sih sperti itu. biar bapak menikmati masa tuanya tanpa gangguan gambar tikus. :D
maaf, kalo ada salah2 kate....

Arief Firhanusa mengatakan...

Pak Gunung, Anda bener. Saya dan adik-adik pernah menyarankan itu, tapi Bokap nolak. Kadung cinta, katanya. Yaelah!

Bapak itu mirip saya, Mas, dari wajah hingga kepinteran (halah-halah), cuman bedanya Bapak adalah sarjana hukum yang lemah di pengambilan sikap, sedangkan saya mahasiswa yang tak pernah lulus tapi berusaha menjadi manusia yang berguna.

Bapak dulu sangat dekat saya. Susah-penak dipikul berdua. Beliau punya flu menahun, begitu pula saya. Beliau pulang subuh2 setelah ribet mencari duit, maka sayalah yang membukakakn pintu di tengah lebatnya hujan.

Tapi saran jenengan aduhai banget. Saya jg tengah merencanakan 'menculik' Bapak untuk makan bareng di Semarang, sambil sharring ini itu agar beliau memahami kekeliruannya, dan kembali memandang kami, anak-anaknya, sebagai orang-orang yang bisa dipercaya dan patut menjadi teman ketika beliau tua.

Makasih Mas.

Anonim mengatakan...

setuju ! saya ikut mendukung gerakan penculikan itu, mas :D . demi kebaikan bapak. kalo cinta sudah terlanjur melekat, wah mestinya njenengan harus punya kesabaran lebih untuk menyadarkan beliau. harus pelan, sabar, telaten dan berhati2.

selamat berjuang saudaraku. merdeka !

Anonim mengatakan...

kasihan Bapaknya