Search

30 Okt 2008

SEPI HATI TSUNAMI


Setiap tsunami disebut, selalu yang terbayang adalah wajahmu.” Tulis Yulfarida lewat surat elektronika.

Reza trenyuh tapi protes. “Bukan Ratu atau papanya? Bukankah mereka adalah belahan jiwa? Aku berdoa dibukakan pintu surga untuk keduanya,” balas Reza. Jemarinya bergetar saat mengetik, teringat foto Ratu di gendongan sang ayah yang dikirim Yulfarida setahun lewat.

“Ratu tetap nomor satu. Papanya juga tak mampu kuhapus dengan segera. Tetapi kau memberiku percik api. Kau memberi gugus baru, menyuntikkan semangat hidupku yang beranjak luntur.”

Reza bertemu Yulfarida setahun setelah tsunami menggulung Aceh dengan gelegak ombak. Cengkareng masih pukul 8.00 tatkala wajah itu muncul di pintu kedatangan. Reza nyaris tak percaya Yulfarida amat cantik. Dengan kerudung ungu, ia bagai putri salju.

“Tak kuduga kau secantik ini,” puji Reza di sela denting sendok. Keduanya sarapan di bandara. Tiap detik dilalui silang mata Reza ke pupil mata Yulfarida.

Yulfarida tersipu. “Tak kuduga kau pintar merayu,” elaknya sembari menyembunyikan rona senang.

***

PERTEMUAN pertama yang melahirkan bintang-bintang. Reza kemudian dikirim ke Aceh oleh instansinya menjadi sukarelawan. Menyapu debu, membuka selokan, mengusap duka dan daki. Lalu terjadilah pertemuan kedua yang amat menentukan.

Jadwal pulang Reza ke Jawa dibelokkan ke Medan. Tangan keduanya bertautan kala menyusuri Mal Perisai Medan. “Tunjukkan aku warna paling indah menurutmu,” kata Yulfarida riang di gerai jilbab.

Warna jingga itu dipakai Yulfarida kemana-mana. Jilbab yang anggun, lebih-lebih Reza yang memilih dan membelikan. Cinta bisa tumbuh kembali, meski pernah diranggas bencana. Cinta adalah makhluk mungil yang bersemayam di sudut kamar Yulfarida, di rumah barunya yang dibangunkan pemerintah.

“Aku kesepian. Kapan ke Aceh, sayang?” Rengek Yulfarida via SMS, suatu pagi.

“Belum ada satupun alasan aku bisa bepergian ke kotamu. Bagaimana kalau kita bertemu di Jakarta seperti dulu?”

“Akan kuusahakan, tapi aku tak yakin.”

***

DUA tahun kemudian, datanglah e-mail. E-mail yang nyaris tak dikenali Reza lantaran berulang-ulang ia berkirim ke alamat itu namun tak satupun mendapat jawaban.

Ia memendam rindu dendam yang teramat sangat pada belahan jiwanya. Pekerjaannya kacau, matanya tak lagi memercik riang. Dan kemudian ia harus menjalani rawat inap.

Reza, aku harus menerima pinangan Ismed karena jujur aku tak bisa hidup sendiri di tengah ketidakpastian. Aku butuh seseorang yang menjagaku setiap saat, setiap mimpi buruk datang. Kuharap kau bisa memahami situasi ini. Aku tetap menaruh cinta suci ini di ke dalam hatimu, dan menyemayamkanmu di lubuk hatiku paling dalam.”


[Kisah "M" di Banda Aceh yang dikirim ke e-mail saya panjang lebar. Nama-nama disamarkan]

9 komentar:

Anonim mengatakan...

Weleh, kesian bener si reza itu. ga dijelasin yak, reza anak mana?

Riema Ziezie mengatakan...

kisah cinta yang menyentuh hati...tp sayang kadang cinta itu tdk selalu memiliki

Anonim mengatakan...

hahahaha.. selalu. selalu saja bang!!
bang, ajari aku nulis... plissssss...

Anonim mengatakan...

mungkin memang bukan jodohnya *halahsoktahu* ^_^

goresan pena mengatakan...

apa kita boleh menyimpan sebuah cinta dalam' bilik rahasia' sementara tubuh milik pasangan nyata kita?
naif nya...
jodoh itu kita yang memilih, bukan?

Miss G mengatakan...

Seharusnya siy...tidak perlu terjadi perpisahan semacam ini ya, tapi lagi2 kondisi setiap orang pada suatu saat berbeda begitu juga cara pandang dan respons-nya.

Yg jelas, trenyuh rasanya.

-- mengatakan...

Cinta.... tak selamaya harus memiliki

Anonim mengatakan...

ikhlas dan sabar...
mngkin kata ini yg paling co2k tuk mnghadapi cerita seperti diatas
Nice posting.. Met malam

Anonim mengatakan...

memang harus begitu. hidup kita tak cuma untuk cinta.