Search

1 Okt 2008

TAKBIR AIRMATA


Ibu, isya tadi selendang beludrumu menyelimutiku dengan rintik tangis. Gema takbir membawa kabar yang selalu kutunggu dengan cemas. Sedang apa Ibu di surga?

Senantiasa Lebaran adalah percik kecil dimana kita bertemu dalam ruang hampa udara. Kubayangkan kau tergopoh di tikungan, melambai dengan rindu dendam, lalu kita bertangisan.

Aku meleleh di kusen jendela, mengamati setiap embun dinihari, mengharap Ibu memanggil-manggil dengan ratap. Mengapa kau tak datang juga hingga retina tak lagi mengeluarkan airmata? Mengapa ketidakmungkinan ini kian berlarut-larut?

Masih kupakai bantal dan sprei Lebaran lalu, juga Lebaran-lebaran sebelumnya. Aku berharap rajut burung merpati dalam sprei ini melambangkan kehadiranmu setiap Lebaran.

Kehadiran yang membuat hari raya berbunga-bunga. Kau selusupkan jari-jari hangat ke kedua belah keningku saat aku sungkem di depanmu, lalu kurasakan sebuah keheningan yang merdu mengaliriku, melahirkan getah-getah bening yang membuatku kuat.

Ibu, aku tahu Lebaran ini hanya ada sekelebat aroma kembang, karena kau tengah melakukan perjalanan panjang menuju kemurnian. Tetapi sesibuk apapun Ibu, hadirlah barang sekejap.

Kerinduan ini padamu, Ibu, menghantamiku dari berbagai penjuru ...

2 komentar:

ANGGUN PUSPITA mengatakan...

duh...jadi ikut sedih neh??
aku ga tau klo ak jg nalami hal spt yang mas alami...tp jgn sedih y? :)

Anonim mengatakan...

gerimis tangis itu meletup setiap Lebaran tiba, Dek. Telah 15 Idul Fitri isak itu hadir tanpa bisa dibendung ...