Search

23 Okt 2008

RUMAH TANGGA PENUH BARA


JAKA tampak kurus sekarang. Bertemu dengannya di tambal ban, kemarin, saya melihat uban mulai menyemut di bibir telinganya.

“Apa kabar?” Dia menyalami. Masih menyisakan sedikit keceriaan. Jaka begitu cerewet untuk seorang pria, tetapi kemarin pegawai sebuah hotel di Semarang itu tampak kuyu.

Kami segera basa-basi sembari menunggu roda mobil tengah dipermak tukang. Sejauh itu saya tak menyinggung mengapa ia kurus. Kami mengobrol politik sampai sepakbola.

Selang setengah jam, kami berpisah. Jaka melambaikan tangan dari Super Carry yang kacanya ia biarkan terbuka. Pertanyaan masih menggumpal. Saya hanya berprasangka, barangkali ia habis sakit, atau mengalami sebuah peristiwa yang menggerogoti dagingnya.

Jawaban itu justru diberikan Bu Hendro, penjaja babat gongso di seberang lapangan basket perumahan. Bu Hendro, yang saya langgani sejak dua tahun silam, bertetangga dengan Jaka. Saya, Jaka, dan Bu Hendro mukim di perumahan yang sama.

“Dia lagi bermasalah dengan istri,” tuturnya penuh semangat seraya mengaduk-aduk bumbu di atas tungku, usai saya pancing.

“Seberat apa, Bu?” Tanya saya. Ini tentu saja usil lantaran telah melampaui privacy seseorang.

“Parah. Istrinya kabur ke Jogja, Jaka minggat ke orang tuanya. Pokoknya sulit diselamatkan,” cerocosnya, khas orang warungan.

Lalu perempuan setengah baya ini mulai kemana-mana. Disebutkannya, Jaka dan istrinya tak pernah membangun komunikasi yang sehat. “Bayangkan, saat Jaka pulang pada keesokan hari, istrinya telah pergi. Si istri datang dari kantornya pada malam, si Jaka sudah bertolak ke hotel. Apa ini sehat, Mas?” Katanya.

Komunikasi? Begitukah pangkal masalahnya? Adakah ‘selilit’ lain, umpama orang ketiga?

“Saya kurang tahu soal itu. Tapi bisa saja itu terjadi. Kita tidak tahu yang terjadi di luar sana,” kilah Bu Hendro, berusaha bijak.

“Si Jaka itu sekarang berapa anaknya?”

“Dua, Mas, laki perempuan.”

Saya bergetar membayangkan retina mata dua bocah mungil itu pilu lantaran terlalu sering menyimak kedua orang tuanya membara ...

[Nama-nama disamarkan]

4 komentar:

goresan pena mengatakan...

hehehe...tulisan ini...
hm, tulisan ini...
hm, seperti menegur saya.
anak..sekaligus ibu...hm...
tulisan ini mas.....

Arief Firhanusa mengatakan...

Maaf loh ya, aku ga ngerti. Suer ini kisah nyata. Tawakal ya, sing sabar dek.

Anonim mengatakan...

sebenarnya apa sie yang diingikan dua manusia ni? dulu waktu pacaran sms ,telpon tiap detik,tapi setelah semua kelakon menikah.. kok kayak rumah tangga yg maen jelungan?Dan komunikasi pangkal permasalahan?!

Anonim mengatakan...

ini kisahnya siapa maz? emang bener, kesian dong anak-anak yg tak punya dosa itu. Sebelll, dosa orang tua dibebankan anak-anaknya!