Search

9 Okt 2008

BUNGA-BUNGA BERGUGURAN


Pernahkah kau berpikir suamimu akan meninggalkanmu? Pernahkah kau tiba-tiba resah karena suamimu tak memedulikanmu lagi karena ia bekerja di tempat yang jauh?

Kartu pos merah jambu. Teronggok tak berdaya di atas taplak sebelum Rinai menjumputnya. Dari Hening, sahabat karibnya yang kini domisili di luar kota. Rinai mengerenyitkan dahi membaca pertanyaan pendek yang melukiskan penulisnya lunglai.

Hening adalah gadis dengan kicau kutilang di mata Rinai. Hening yang tak sesuai namanya, karena ia cerewet dan selalu punya kosa kata untuk setiap hal. Mereka bersekolah yang sama di sebuah pendidikan perhotelan. Rinai pernah cemburu karena Hening begitu banyak teman, lelaki dan perempuan.

Tetapi kecemburuan yang tak ada artinya lantaran di balik sikap bengalnya, Hening solider dan setia kawan. Ia tak segan memberi bantuan untuk kawan yang berkesusahan. Pernah Rinai kekurangan uang ketika membeli kaus kaki, Hening kemudian menambahinya sehingga Rinai bisa berkaus kaki baru saat upacara bendera.

Tamat sekolah, keduanya berpisah. Rinai mendengar Hening bekerja sebuah hotel di Yogja dan kemudian berpindah Jakarta, dan belakangan kembali ke kampung halaman, sementara ia mengikuti suami ke arah utara. Sejauh itu ia belum juga menerima warta bahwa sahabatnya itu melepaskan lajang.

“Kapan kau akan menikah?” Tanya Rinai dalam pertemuan tak terduga di sebuah mal di kota asal.

“Kau pasti orang pertama yang kukabari saat aku kelak akan berdiri di pelaminan,” janji Hening.

Janji itu ditepati. “Hore! Selamat, ya say. Pria mana yang beruntung itu?” Teriak Rinai di ujung telepon. “Nggak jauh-jauh kok, dari kota tetangga. Nanti resepsinya di kota kita. Sempatkan datang, ya,” jawab Hening dengan suara penuh binar.

Rinai tak bisa hadir di hari bahagia itu lantaran suaminya mondok di rumah sakit. Itu mengapa hingga satu setengah tahun usia pernikahan Hening, Rinai belum pernah melihat seperti apa suami karibnya ini.

Tetapi ia tak perlu berpikir panjang bagaimana ujud, karakter, dan latar belakang suami Hening, karena baginya siapapun pria itu pasti benar-benar mencintai Hening apa adanya.

Ah, Hening yang slengekan. Hening yang bisa berganti pacar dalam waktu sekejap. Dulu Rinai pernah berpikir, mereka yang berpacaran dengan Hening pastilah cowok-cowok yang memilih kehangatan seorang gadis ketimbang melihat hal-hal fisik. Dan Hening menyadari betul romantisme itu penting.

Hening yang romantis dan penuh perhatian itu kini mendadak berkirim kartu pos mengenai kegelisahan. Ada gejolak apa? Ataukah Hening telah kehilangan kepercayaan diri yang dulu amat ia andalkan?

Lalu Rinai mengangkat telepon.

“Halo,” suara lembut di seberang.

“Bisa bicara dengan Mbak Hening?”

“Mbak Hening lagi ke kios, beli rokok. Ini dari siapa, Bu?”

“Saya Rinai, temannya. Ini dengan siapa, ya?”

“Saya pengasuh anak. Ibu nanti bisa menghubunginya lagi. Kiosnya nggak jauh, kok.”

“Oke kalau begitu. Omong-omong, di rumah ada suaminya Mbak Hening, ya?”

“Belum pulang, Bu. Bapak bekerja di kota S, seminggu sekali pulang, bahkan kadang lebih.”

“Oo. Terus, rokok itu buat siapa?”

“Buat Mbak Hening sendiri.”

“Loh, ia merokok?” Rinai terkejut.

Keterkejutan yang membuat Rinai ternganga beberapa saat. Bukan rokok itu penyebabnya, sebab sejak dulu Hening memang perokok, tetapi mendadak hatinya diliputi banyak pertanyaan mengenai prinsip berumahtangga yang tampaknya dilupakan oleh Hening.

“Ya, ya, nanti aku akan banyak bertanya padanya ... “Bisik Rinai dalam hati.

4 komentar:

Syaiful Safril mengatakan...

Aku malah berfikir tuk meninggalkan istriku.. he..he..he..he..

budhe mengatakan...

ga' brani ngebayangin dech...budhe tipe yang ga' bisa ditinggal je...

Enno mengatakan...

mas, ini sebenernya ttg apa seeh?

Arief Firhanusa mengatakan...

@ABDEE NEGARA: buset bener Mas tekadnya, huehehehe ...

@budhe: Iya, keliatan dari cara Anda menulis kata-kata: ekstra hati-hati dan feminin

@enno: mo tau aja! (sambil jewer kupingnya)