Search

21 Apr 2008

GEDUNG REOT PULSA


PULSA pernah membuat saya ternganga.

Awal 2007 saya ditugasi untuk pertama ke Jakarta oleh Tabloid Bolamania. Dari bandara saya bayangkan gedung megah dengan satpam yang matanya penuh selidik. Bangunan yang bakal saya datangi itu – di Jalan Raya Ragunan 27, Pasar Minggu – adalah redaksi Pulsa serta kantor artistik Intelijen, Khalifah, dan Bolamania.

Saat taksi melintasi gerbang, saya kaget bukan kepalang. Inikah kantor Tabloid Pulsa? Keterkejutan ini saya pendam dulu karena saya harus membayar taksi. Di dalam gedung, hati saya kian melolong menyimak betapa ‘miskin’-nya kantor Redaksi Pulsa, yang oleh kalangan Grup Kompas-Gramedia pernah disebut-sebut sebagai rissing star itu. Ruangan-rungan berjejal. Satu unit usaha dengan anak perusahaan lain -- sejumlah unit perusahaan di luar penerbitan pers milik Group Indomedia ketika itu seatap dengan Pulsa -- disekat tembok ala kadarnya.

Dinamika media massa memang tampak. Ada komputer yang di depannya duduk takzim orang-orang dengan tampang serius. Ada gelak tawa Ari Gendut dan Mas Harry di ruang sebelah (keduanya saat itu masih mengabdi di Comunique. Comunique sekarang berpindah ke Graha Indomedia di Limo 39, Kebayoran Lama, yang megah). Juga ada aktivitas pendesainan koran di belahan lain gedung ini.

Tetapi tetap saja saya ragu, apa benar ini koran beneran, meski tempat-tempat nelangsa pernah pula saya jumpai di lembaga yang menelurkan karya besar, umpama Penerbit Galang Yogya yang menghasilkan buku laris Jakarta Undercover? Galang lebih tepat rumah reot, ketimbang kantor penerbit.

Belakangan kondisi ini mendewasakan pikiran dan paradigma saya. Saya dan teman-teman di Semarang pernah merasa perih tatkala tiap hari harus bekerja dengan keringat yang berlelehan lantaran kantor Redaksi Bolamania tidak memiliki AC. Kantor lama itu – di Jalan Kelud Raya, dan kini sudah hengkang ke Jalan Tegalsari Raya – bisingnya minta ampun. Tak ayal kami bekerja dengan kalimat-kalimat yang harus diteriakkan untuk menyaingi suntuk jalan raya depan kantor!

Dari Pulsa saya belajar banyak. Bukan saja dari Mas Dhony, Pemred, yang selalu kalem dan bersahaja, melainkan juga bagaimana dari telur burung kenari menetas garuda. Bagaimana dari sejumput jerami tumbuh padi dengan bulir-bulir biji yang ranum.

Pulsa memang membekap momen yang pas tatkala negeri ini mulai tergila-gila ponsel. Namun ada latarbelakang yang menyertai, mengapa Pulsa menohok dengan jitu pasar Indonesia yang susah ditembus, yakni ketika Pak Legiman cs sudi menjadi tukang sirkulasi ‘gadungan’. Ketika hasil karya disetubuhi dengan kesungguhan. Ketika kita ‘bisa melihat’ sesuatu sebelum terjadi.

Jujur, saya belum memberikan apa-apa. Saya belum membayar lunas apa yang sudah diberikan Pulsa. Saya menjadi lokomotif kawan-kawan di Semarang, dengan gerbong yang penuh muatan …

Hari ini, saya mewakili teman-teman memberi sesuatu yang, mungkin, nilainya tak seberapa: “Selamat ulang tahun, Saudara Tua!” Semoga panjang umur.

Tidak ada komentar: