SAYA selalu menoleh padanya. Biar cuma 2 detik saja. Biar ia tak memedulikan saya. Sesekali saya menglaksonnya, meski ia sibuk melayani pembeli.
Saya tak tahu namanya. Barangkali ia pun tak peduli siapa nama saya. Tapi saya selalu ingin melihatnya setiap pagi saya lewat. Hanya sekilas, tapi itu cukup. Cuma beberapa kejap, tapi itu telah memenuhi hasrat saya untuk menyimaknya.
Ia duduk takzim jika sepi pembeli. Di trotoar, tempatnya menggelar sayur, makanan kecil, dan ikan, ia dinaungi akasia yang rimbun. Pepohonan yang memelihara wajahnya yang berjilbab itu agar tak gontai oleh gencar matahari. Melindungi sayur mayurnya agar tak mengelupas dan layu.
Saya berniat membeli donat, seminggu silam. Tapi ia tak ada di sana. Saya bertanya-tanya.
Esoknya, trotoar itu juga lengang. Tiba-tiba saya merasa kehilangan. Saya merasa rindu padanya. Rindu yang aneh. Ia tak mengenal saya, dan saya pun tak tahu asal usulnya. Entah mengapa saya berdoa agar ia baik-baik saja.
Hari ketiga saya kembali melihatnya duduk bersila. Ah, senang rasanya. Bergegas saya membelok dan jongkok. “Dua hari tak jualan kemana saja, Bu? Ada famili punya hajat, ya?” Tanya saya. Tak peduli sejumlah ibu-ibu kompleks perumahan mencibir karena saya sok akrab.
Ia melihat saya. Lalu menyunggingkan senyum datar. “Saya kehilangan sepeda motor, Mas,” ujarnya, dengan ritme stabil, seolah “kehilangan” yang ia maksudkan itu tak mengganggu. “Pulang dari sini, saya mampir di masjid Penggaron, memarkir motor dengan keranjang dipenuhi sayur masih terkait di sadel. Selesai shalat, saya tak mendapati motor saya di tempatnya, dibawa kabur maling, komplet dengan dua keranjangnya ...”
Saya ternganga dan susah berucap apa-apa. Terbayang betapa perih hatinya. Betapa sedihnya dia. Herannya, ia malah tersenyum seolah ia baik-baik saja. Senyum yang amat rembulan. Senyum yang mengabarkan sesuatu yang membuat saya kagum dan tertegun: Ia ikhlas atas musibah yang menimpa!
Nyaris saja saya memeluknya saat sadar senyum ikhlas seperti itu pernah dimiliki almarhumah Ibu ...
(Apa kabar, Bunda? Baik-baik saja, kan, di alam sana?)
11 komentar:
Senyuman yg dari hati itu sangat indah mmg.
Saya pernah membaca artikel seperti ini :
Rasululloh SAW.dalam sabdanya: “senyummu kepada wajah saudaramu adalah sedekah.” karena dengan senyuman itu akan membahagiakan orang lain.
Jika blm mampu sedekah harta, mari kita sedekahkan senyum yang ikhlas untuk membahagiakan orang lain..
sungguh mengharukan!
Lha itu motor yg dipoto motor yg ilang? atau udah beli lagi?
Bang, aku membayangkan kerut dan wajah iba mu saat kali pertama mendengar cerita Ibu2 tukang sayur itu.
mungkin Tuhan sedang mengingatkan kita, untuk meniru ibu2 itu.
*kangen bang!!*
ooh..itu biasanya motornya mau diganti dg yg baru..atau malah mobil. Inilah "Uni minongko puji"
Senyum suka dan senyum duka itu beda, yg penting senyum hati harus tetap ada.
kadang kita bisa belajar darimana saja ya, mas.
wong Gusti Allah sudah ngebyak'ke ensiklopedi urip ning donya kok.
sek,sek....ini ibu2 blanjan yang jualan di PI boss ?
@Goenoeng: kalau sampean masuk PI, trus melewati lapangan basket ke arah terminal bis kuning, kemudian siap-siap meneliti trotoar sepanjang jalan Jati Raya setelah tikungan gereja pojok jalan(trotoar sebelah kiri), nah ibu ini ada di trotoar itu.
saya sering bertanya, sikap ikhlas seperti ibu tsb apakah suatu talenta dibawa lahir atau suatu hal yg perlu dilatih terus ya...?
hiks...posting ini sangat menyentuh... saya jadi teringat Mbak Iyah...penjual sayur keliling kompleks...persis benar ceritanya, tapi, bukan karena kehilangan motor, melainkan kehilangan harta paling berharga...kesehatan.
tapi benar mas...senyum itu...hmmm.
but anyway...kok ilustrasi gambarnya, si penjual sayur bapak2 yah...? hehe..
susah payah saya menahan air mata membaca postingan ini, ngebayangin kaluk ibu tuang sayur itu adalah saya...saya pasti sudah nangis nggloso......
kita memang harus lebih sering berkaca sekaligus belajar, dari "kebesaran hati orang tak punya".
Posting Komentar