DALAM sebulan, dua kali saya bertanya dengan satu kalimat yang sama: “Mengapa cerai?”
Pertama pada M. Ia teman satu sanggar sewaktu kami sama-sama miskin di Semarang, awal 1990. Ia sosok yang, jujur saja, saya kagumi. Jarang bicara ngelantur dan khusuk shalat. Artikelnya banyak dimuat di beragam suratkabar.
Lalu saya mendengarnya ia berpisah dengan istri. Istri yang cantik, pemain sinetron, dan gaul. Tiga anak telah mereka peroleh. Anak yang tentu lucu-lucu. Kehidupannya juga tidak kekurangan. Ia terakhir saya pergoki menaiki Kijang kapsul yang mulus. Saya ingin bertemu dengan M usai mendengar ia menceraikan istrinya. Dan terkabul.
“Ada yang salah dalam pernikahan kami. Tapi saya tak bisa bercerita banyak. Ini problem internal kami. Sudahlah, saya harus melaluinya,” ujarnya serius dan misterius. Tapi saya amat memahami.
Kemudian yang kedua dengan J, kawan seperjuangan sekitar 1999. Kami bertemu di Bandara Soekarno-Hatta sewaktu sama-sama menunggu penerbangan ke Semarang. Saya melontarkan pertanyaan: “Mengapa cerai?” Tak ada jawaban jelas. Dan saya bukan tipikal pria yang interogatif masalah rumah tangga orang.
***
CERAI mungkin kata yang biasa saja di khasanah selebriti. Tetapi di kalangan umum perceraian meniupkan aroma ngeri. Kengerian yang timbul pada nasib anak-anak. Anak-anak yang tanpa dosa tetapi dilibatkan pada dosa-dosa orangtuanya.
Pengadilan Agama mungkin mulus memutuskan gono-gini, hak asuh anak, dan sebagainya. Namun selang sebulan setelah ketuk palu, ada rentetan lain yang menguras airmata. Malam, ketika gerimis turun, salah satu anak akan bertanya kepada ibunya: “Ma, Papa pergi kemana? Kok lama sekali nggak pulang? Kakak rindu Papa.”
Ketika si anak sakit dan perlu rawat inap, si ibu kalang kabut. Ia terbiasa berdua mengatasi beragam masalah. Tahu-tahu kini hilir mudik dan lintang pukang sendiri. Belum lagi jika si anak demam dan menggumamkan nama sang bapak ...
Status duda mungkin gurih pada awalnya. Ia ngeceng di mall atau dugem semalaman tanpa diganggu SMS istri. Tetapi ia punya hati kecil yang tak bisa diam. Di jalanan, tatkala dilihatnya balita dalam gendongan ibunya, si duda akan meratap lantaran teringat Devi dan Saskia yang kini hidup bersama ibunya. Kecuali, tentu saja, ia telah mati rasa!
Perceraian cuma mengguratkan luka. Seorang janda, sebut saja Zaenab, pernah merintih dengan ratap ngilu ketika menyadari dia sendiri, lima bulan setelah ia cerai. “Aku kesal dengan kelakuan Apri, tapi lebih kesal lagi ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa status janda itu sungguh tak nyaman di hati. Anak-anakku nakal sekali. Mereka hanya segan pada ayahnya. Aku nggak ngerti, apakah aku yang salah pilih suami, ataukah salah karena menuruti kata hati dengan menceraikan Apri ..” Kata Zaenab yang famili jauh dengan saya itu. Dua anaknya kini beranjak remaja.
Sebab itu, berbahagialah orang-orang yang bisa menahan diri untuk tidak bercerai, karena segenap masalah sudah pasti ada jalan keluarnya. Bukan begitu, Bapak Ibu?
12 komentar:
Entahlah, saya kenal (bahkan SANGAT kenal) dengan orang2 yg menyandang status janda cerai, dua2nya sahabat terbaik saya, dua2nya memilih bercerai karena mmg ga ada yg bisa dipertahankan lagi dalam pernikahan mereka. Jgn salah, saya sama sekali tidak menyetujui perceraian sbb mmg perceraian selalu mengakibatkan luka, bukan hanya pada pihak yg memilih bercerai, namun juga (terutama) anak2, tp ada luka2 (parah bngt) yg diciptakan di dalam sebuah pernikahan yg utuh, yg mencederai lebih parah daripada perceraian loh
apakah perceraian bukan salah satu jalan keluar u dapat mempertahankan sesuatu yg baik?
cerai adalah pilihan manusia, bukan kebutuhan jadi akibatnya adalah baik buruknya pasti ada dampak...
Bisa dihindari bila ada kesadaran siapa Pemberi jodoh itu..
Jgn tambah lagi tragedi2 spt ini..
ngeri ah bang.
mau kawin neh... kok malah bikin ngeri lho.
jangan deh sampai cerai kecuali kalo terjadi kekerasan dlm rumah tangga dan perselingkuhan
alhamdulillah, buat keluarga2 yang mampu bertahan sampai saat ini. semoga seterusnya dijauhkan dari 'satu kata' itu. soalnya kalo sudah ada 'buntut', bukan cuma mikir nafsu berdua saja, ada nyawa lain yang perlu diperhatikan, dan perlu dipikirkan.
ego. itu yg kadang susah untuk dikalahkan.
muga2, kene wong2 sing diparingi sabar ya, mas.
Barangsiapa dipersatukan oleh Tuhan, maka mereka mestinya sehidup semati, kecuali salah satu duluan mati ...
Bersatu kita teguh, bercerai kawin lagi, hwahwahwhahwha ..
Ada teman yang belum-belum ngeri entar bakal dicere sama suaminya usai nikah. Nah, kl perceraian jd momok begini, kapan kita nikahnya?
hayah hayah... cere? hiks hiks ini kata yg sngt ngeri buat aq. cere itu perbuatan yg diijinkan Allah, tapi Dia membencinya.
Oalah kang kaaaang. Bikin aku merinding ajah. Itu cere memualkan trutama kl selebritis yg melakukan. Runtang runtung saat pacaran, disorot kamera tivi, tak tahunya seminggu kemudian cere! Hueekk!!!
saya anggap saja posting ini sebagai alarm...
lonceng berdentang saat godaan itu datang...
Posting Komentar