AISYA memunguti butir-butir pasir di punggung kakinya yang basah. Asyar telah lewat. Matahari beringsut ke barat. Aisya membeku dalam gejolak batin yang membiru, melebihi gelombang pasang lelautan di depannya.
Ia telah memasukkan handphone-nya di ruang paling ujung laci. Tak mau ia dengar lagi suara menyelinap dalam telinganya. Suara terakhir yang meneleponnya tadi pagi adalah gemuruh pohon tumbang. Suara lelaki yang pernah ia dambakan, tetapi kini berubah menjadi monster menjijikkan dengan balut cairan kental yang setiap saat menetes dan menguarkan bau busuk!
“Boleh mengutarakan sesuatu? Mengganggu enggak?” Suara pria itu. Suara yang mengerjap-ngerjap. Suara yang membuat kelenjar darah Aisya pernah mendadak biru lantaran dibanjiri cinta.
“Lagi istirahat, nih, kebetulan sekali. Emang mau ngomong apa?” Pekik kecil Aisya. Ia tak sadar telah menggantung segenap asa padanya, sehingga hari-hari adalah lamunan dan penantian. Maka suara pria ini adalah kunci yang membuka gembok gerbang yang seolah telah tertutup selama seribu tahun.
“Kamu jangan marah.”
“Mengapa mesti marah?”
“Karena ini akan menyakitkan.”
Aisya menerawang.
“Aku menarik ucapanku dua hari lalu .. “
“Maksudmu?”
“Telah aku putuskan untuk putus darimu.”
Aisya ternganga. “Jangan becanda!”
“Aku serius, bahkan lebih serius ketimbang biasanya.”
“Jadi?”
“Ya, kita akhiri saja.”
Bumi seperti menahan puting beliung. Aisya terhuyung. Tak sadar lengannya menyenggol cangkir, memunculkan ribut kecil di meja kerjanya. Ia menghambur ke dapur, menyembunyikan dukanya di sudut yang basah. Ia tak peduli pada dirinya lagi, juga tak mempedulikan ucapan-ucapan minta maaf dan sejenisnya yang berhamburan dari mulut pria itu. Aisya tersengal-sengal dan merasa karam.
“Mengapa memilihku?” Itu pertanyaan setahun lewat, ketika si pria menjentik semut di pundak Aisya.
“Kamu unik.”
“Bukankah umumnya pria senang perempuan cantik?”
“Kamu punya kecantikan yang merembes dari hati. Aku selalu terpana tiap kali melihatmu melenggang dengan kaki-kaki yang lurus ke bumi.”
“Kamu memang pintar merayu.”
“Hanya kepada seseorang yang benar-benar aku sayangi rayuan itu aku tujukan. Padahal hanya kamu yang aku cintai.”
“Gombal!”
Tiga bulan berselang, si pria tidak menunjukkan konsistensinya. Ia mulai melupakan Sabtu malam. Ia tak lagi dengan gagah mengendarai motor, meliuk di kemacetan dengan tangan-tangan Aisya mendekap erat di punggungnya.
“Kita berteman saja, ya.” Lontar pria ini suatu ketika.
“Kok begitu?”
“Aku takut tak bisa membahagiakanmu.”
“Kebahagiaan tidak bisa datang tiba-tiba. Kita bisa merajutnya.”
“Tapi tidak untuk saat ini, Aisya.”
Aisya mulai mengenali diri sendiri dan seberapa jauh pria itu memiliki relung indah buatnya. Perlahan-lahan Aisya sadar kekasih hatinya belum dewasa. “Oke, Tuhan, aku akan menunggunya sampai ia menemukan jalan yang lempang menuju kepadaku,” bisik Aisya dalam salat malamnya, suatu ketika.
Mendadak angin itu berkesiur lembut. Dua hari lalu Sang Arjuna menelepon Aisya dengan penekanan yang mengayun-ayunkan perasaan Aisya. “Kita pacaran lagi yuk. Aku tak bisa tidur tanpa terlebih dahulu mengingatmu.”
“Terima kasih, Tuhan,” pekik hati Aisya.
Dan dua hari berikutnya, tadi pagi, beton berton-ton menimpa Aisya sehingga ia terpuruk dan tenggelam …
“Bolehkah aku mati sekarang, Tuhan?”
“Jangan, anakku!”
“Tetapi Engkau telah memberiku beban yang terlalu berat.”
“Kau salah satu zat yang terpilih.”
“Aku tak mempercayaimu lagi.”
“Jika kau tak mempercayaiku, siapa lagi yang akan melahirkan anak-anak dengan kekuatan gempa?”
“Aku tak akan punya anak karena aku beranjak layu.”
“Kau salah menafsirkan isyarat-isyarat. Ingatlah bahwa ajaran yang aku berikan adalah kekal. Kau menganggap beban
“Maafkan aku, Tuhan.”
“Ya, nak, kau boleh pulang sekarang, dan siramilah bunga-bunga di bawah kusen jendelamu. Belajarlah pada kupu-kupu. Akan kau temukan saat-saat indah ketika kau melayang-layang di udara dengan senyum yang senantiasa terkembang .. “
2 komentar:
bang, selalu saja.
selalu saja saya terjebak dan larut dalam kata-kata sampean.
sampean selalu mematangkan setiap tulisan saya.
maaf mas, jujur, saya selalu berguru pada tulisan sampean.
Thanks Blue. Jangan merendah begitu ah. Saya sebenarnya juga terinspirasi dari postingan terakhir di blog-mu, hehehe.
Posting Komentar