TADI malam saya merasa malu pada Ravenska dan Rivenski Atwinda Difa, serta Syavergio Avia Difaputra. Mengapa? Apa sebabnya?
Ketiganya adalah putra-putri Fariz RM. Saya mengenal mereka? Tidak. Hanya sang ayah, Fariz itu, yang sangat saya kenal. Saya pernah mewawancarainya ketika ia konser di
Sewaktu kuliah, di kamar kos saya kerap menyetel
Saya juga pernah ‘mencuri’ Rustam Munaf (kepanjangan dari RM, nama belakang Fariz) pada saat pertama-tama saya menulis di suratkabar, supaya “Arief Rustam Munaf” tampak keren. Akhirnya “RM” di belakang nama saya itu saya gusur lebih karena saya muak karena mendompleng popularitas Fariz (untuk itu, saya mohon maaf, Mas Fariz).
Kembali ke Ravenska, Rivenski, dan Syavergio. Kenapa saya malu kepada mereka, sebab ketiganya adalah anak-anak yang patut diteladani. Pernyataannya dalam acara "Empat Mata" edisi Selasa (1/4) tadi malam, seakan meledek saya.
Dalam perbincangannya dengan Tukul, tiga anak yang beranjak ABG ini mengatakan: “Biarpun dipenjara karena narkoba, Ayah tetaplah idola kami. Ayah tetap bapak yang memberi teladan, karena ia adalah guru dan sahabat paling dekat. Kami bangga pada Ayah … “
Terus terang saya menitikkan airmata. Saya pernah membenci Bapak karena menikah lagi, beberapa tahun setelah Ibu wafat. Dalam batin saya, buat apa kawin untuk yang kedua kalau Bapak masih menyisakan cintanya pada Ibu? Buat apa menikah lagi jika Ibu menanam cinta yang kekal kendati telah kehilangan nyawa?
Karena kebencian itu, saya pernah tidak sungkem pada Bapak di tiga kali Lebaran. Saya tak mau bersalaman dengan orang yang mengkhianati Ibu!
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir saya menyadari satu hal bahwa kebencian itu tidak ada maknanya. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan kebencian. Ibu – yang lulusan sebuah pondok pesantren di Jawa Timur – pernah menyelipkan satu ajaran yang sampai sekarang masih pada tahap hendak saya lakukan, ketika beliau mengajari kami, anak-anaknya, mengaji. Beliau pernah bilang: “Nak, berikan pipi kirimu setelah pipi kananmu ditempeleng orang.”
Saya juga menyadari bahwa usia Bapak masih produktif, masih punya kebutuhan biologis yang tak bisa ditunda. Bapak perlu mendapat sentuhan perempuan karena keempat anaknya sudah berumahtangga. Ia pastilah kesepian berada sendiri dalam rumah, siang maupun malam. Dan bukankah saya adalah sperma Bapak? Bukankah Bapak adalah sosok yang sering tersengal-sengal ketika pulang subuh atau dinihari setelah ke luar kota untuk mencari nafkah? Waktu kecil saya yang membukakan pintu untuknya di tengah malam, dan mendapatkannya basah kuyub dengan napas satu-satu ...
Akhir-akhir ini Bapak diserang gula. Tubuhnya kurus, gairah hidupnya meredup. Itu mengapa ketika terdengar lagu-lagu macam Yang Terbaik Bagimu (Jangan Lupakan Ayah) milik ADA Band, atau Titip Rindu Buat Ayah yang dilantunkan Ebiet G Ade, saya suka terisak-isak di sudut kamar.
Sebulan sekali, belakangan ini, Bapak menelepon untuk satu hal yang membuat saya bergegas ke BNI. Bunyi telepon itu: “Rief, tolong kirimi Bapak 300 ribu saja, untuk beli obat … “
1 komentar:
Dear mas Arif,
Bukannya mau menggurui, tapi kita tidak akan pernah mengerti seberapa pentingnya seseorang itu sampai kita kehilangan mereka..
Jangan sampai terlambat, jangan sampai menyesal.
Salam untuk bapak mu ya :)
Posting Komentar