PRAMUGARI masih profesi yang dikagumi. Paling tidak ia menempati strata tertinggi dalam deret pekerjaan yang melibatkan perempuan macam sekretaris, asisten, bahkan mungkin dokter.
Boleh jadi, ‘kasta’ tinggi ini didapat pramugari lantaran pekerjaannya yang penuh tantangan, hebat, atau mungkin karena mereka mencari sesuap nasi di awang-awang. Gayanya tatkala melintasi gerbang pun oke punya. Berderet tiga orang, para pramugari sok anggun dengan koper kecil yang ditarik menyusuri lantai. Langkahnya bergegas seolah sepasukan marinir menuju kancah perang. Ia pun tak melewati gerbang detektor, tapi melintasi pintu tersendiri. Bayangkan kalau salah satu di antara mereka menyelipkan alat picu bom waktu!
Tetapi di kabin pesawat mereka rata-rata berubah menjadi robot, baik saat menyambut penumpang di pintu pesawat, maupun ketika menyuruh penumpang yang lalai mengaitkan sabuk pengaman.
Cara kerja mereka sungguh hapalan dan teks book, seolah apa yang ia lakukan cuma berdasar buku atau literatur yang pernah ia baca di sekolah-sekolah pramugari. Mereka miskin sentuhan human dan alfa makna sense of belonging, sebagaimana ketika mereka membaca teks instruksi pengenaan seat belt atau baju pelampung dan meminta penumpang mematikan handphone.
Yang saya ceritakan di atas adalah pramugari di maskapai domestik. Bagaimana dengan pesawat-pesawat internasional?
Beberapa kali saya menumpang Singapore Airlines (SQ). Pramugarinya ramah dan tersenyum ikhlas. Mereka menanyakan kepada penumpang mau menu apa, daging atau ayam. Penumpang pun serasa di rumah sendiri, dengan ‘PRT’ yang siaga melayani majikan.
Korea Airlines pun demikian. Sudah mereka cantik dengan balutan seragam khas
Oleh sebab itu, saya pernah sangat kagum dengan seorang rekan yang mengirim SMS berbunyi begini: “Bro, gue dapat kenalan pramugari waktu kemarin gue ke
Pasti teman saya itu punya pelet!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar