SAYA termasuk golongan orang cengeng. Menyaksikan pengibaran bendera 17-an saja kerap menitikkan airmata.
Pagi tadi kelenjar airmata saya juga tersentak tatkala dua mobil pemadam kebakaran melintasi Jalan Sriwijaya, saat saya berhenti di lampu merah di belokan menuju kantor. Dua hal yang membikin saya terharu, pertama kebergegasan para petugas dengan mengebut mobilnya menuju kebakaran (yang hingga saya ketik catatan ini belum saya ketahui dimana kebakarannya); kedua, itikad baik para pengguna jalan raya yang serentak minggir kala PMK mau melintas.
Kepedulian terhadap musibah ternyata masih ada di dada warga negeri ini. Tetapi, beberapa tahun silam, ada seorang pemuda yang terpaksa saya damprat lantaran ia tak memberi jalan pada sebuah ambulance yang bergegas melesat membawa orang yang (mungkin saja) mendekati ajal jika tak segera ditangani medis.
Itu terjadi di Jalan Siliwangi, di jalur padat menuju bundaran Kalibanteng. Yang lain sudah minggir, tapi mobil mewah ini cuek saja menghalangi ambulance di lampu merah menuju Bandara A Yani. Saya dekati kacanya, lalu saya ketuk jendela. Ia membuka kaca dan melongokkan kepala. Dari balik kacamatanya ia tampak kaget bercampur marah, tapi saya tak peduli.
“Bisa minggir nggak, Mas!” Kata saya sambil melotot sembari saya tunjuk ambulance persis di belakangnya. Mungkin merasa diperintah, dia acuh tak acuh.
Di rumah, ia boleh juragan, tetapi di sini pria itu harus menjadi manusia yang beradab! “Minggir!!” Teriak saya galak sambil saya tendang pintu BMW-nya. “Sampean budeg, ya? Minggir nggak!” Akhirnya dia minggir, demi melihat orang-orang di
Saya mungkin tergolong orang yang cengeng. Tetapi saya tidak menangis ketika melihat tayangan televisi yang menceritakan seorang bandit ditembak polisi lantaran berusaha kabur …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar