Search

12 Mar 2008

INGIN JADI SPIDER-MAN


“KALAU boleh tahu, dulu Mas Arief cita-citanya jadi apa?” Tanya seorang peserta Seminar & Workshop Jurnalistik Fakultas Teknologi Industri UPN Yogya, Minggu (9/3) lalu.

Tentu saya kaget. Pertanyaan itu melebar. Tapi tak masalah, saya harus menjawab. Mau tahu apa yang ingin saya katakan? “Saya ingin jadi Spider-Man!”

Tapi jelas saya tak mengucapkan jawaban kanak-kanak tersebut. “Cita-cita saya dulu ingin jadi sastrawan, paling sial jadi penulis. Lulus SMA saya didaftarkan ke Akpol oleh Bapak. Saya tidak sreg. Untung saya buta warna sehingga ditolak,” kata saya.

Keinginan jadi Spider-Man itu sesungguhnya tidak main-main. Waktu kecil saya senang mengkhayal. Ada-ada saja keinginan saya. Sehabis baca komik Batman, saya ingin jadi Batman. Setelah baca novel Wiro Sableng, saya ingin jadi pendekar. Sesudah nonton film Superman, saya sangat ingin bisa terbang.

Saya bayangkan, kalau saya Superman maka saya bisa menyetop kereta yang mau tubrukan, atau menyambar balita yang meluncur deras dari lantai 5 mall, atau mengangkat ambulance yang terjebak kemacetan sehingga lekas sampai rumah sakit.

Tapi gara-gara Superman itu bukan manusia bumi, saya beralih pengin banget jadi Spider-Man. Manusia Laba-laba ini hanya perlu menyamar, lalu melepas baju, kemudian berayun-ayun sawang untuk memburu copet. Sayangnya Semarang itu panas. Saya bayangkan betapa gerahnya memakai baju rangkap-rangkap. Lagipula di Semarang juga tak banyak gedung pencakar langit. Masa Spider-Man bergelantungan di pohon?

Toh ‘cita-cita’ jadi Spider-Man itu tak lekang hingga sekarang. Sekuel film Spider-Man saya tonton berulang-ulang, dan tak bosan! Betapa terharunya menyaksikan Peter Parker yang diperankan Tobey Maguire itu sukses menggulung rampok. Hati ini juga ikutan bungah ketika Peter akhirnya menikahi Mary Jane Watson (yang diperankan dengan apik oleh Kirsten Dunst) dalam Spider-Man 3.

Kisah-kisah kepahlawanan sangat mempengaruhi saya. Ketika sudah dewasa kini, saya membayangkan jadi Harrison Ford dalam Air Force One. Saya juga pernah menitikkan airmata saat menyaksikan Damon Wayan begitu perkasa dalam film Independence Day, atau Wesley Snipes yang jagoan di Passenger 57. Pokoknya semua hal yang berakhir happy ending dan di sana muncul pahlawannya membuat saya terisak-isak.

Tak hanya itu, kadang-kadang saya juga membayangkan jadi vokalis. Menyanyi di depan banyak orang yang sangat mengagumi suara saya ketika melantunkan Dealova, Still Got The Blues, atau Forever and One.

Saya pengkhayal? Benar! Sifat itu yang amat membantu saya lancar menulis cerpen …

1 komentar:

Ge Siahaya mengatakan...

OMG...sekarang saya mengerti mengapa km mmbenci Doc Ock... Astaga... (^^,)