AYAT AYAT CINTA tak lebih Ghost, Titanic, Pocong, Catatan Si Boy, Kuch Kuch Hotahai, Harry Potter, Lord of The Ring, The Killing Field, Spider-Man, Batman Begin, atau hal-hal fenomenal lain.
Sebab itu, ketika orang-orang sibuk berjejal antre di depan loket, saya memilih sibuk mengunyah roti di Excellso, sebuah kedai kopi nan gurih di depan mulut Bioskop Citra di Citraland
Saya tak anti Ayat Ayat Cinta. Terserah tetangga hingga keponakan saya yang lulus SMA saja belum, sibuk membicarakan film ini. Saya juga tak kenal Habiburrahman Saerozi, pengarang novel Ayat Ayat Cinta, apalagi punya silang sengketa.
Saya hanya ingin bilang, segala yang berbau tren, saya ogah menjamah. Dulu sejumlah teman menindik kuping, saya mual. Kemudian kawan-kawan memakai Lee Cooper, saya senang jins yang nggak terkenal. Sepatu Doc Martin begitu digilai teman-teman saya saat kami kuliah, tapi saya cukup nyaman dengan sepatu merek dekil.
Boleh dikata saya antikemapanan. Di sebuah komunitas yang anggotanya perlente (dengan baju model junkies plus sepatu yang ujungnya lebar), saya cuek saja masuk dengan jins ala saya ditambah sepatu yang harganya mungkin tak jauh dari 50 ribu rupiah.
Tren itu sesungguhnya – paling tidak menurut saya – hanya akan memunculkan korban. Tahun 90-an ada istilah KDM, alias Korban Demi Moore. Hampir seluruh perempuan di
Kembali ke Ayat Ayat Cinta. Saya mencoba mengukur ‘kehebatan’ film ini dari berbagai sisi. Kemungkinan besar ia nongol ke permukaan di tengah gelombang film-film remaja yang ‘najis tralala’, atau Sundel Bolong yang tak lagi menakutkan, atau sinetron yang murah meriah dan sampah.
Lalu munculah Ayat Ayat Cinta yang (konon) beda. Beda angle-angle-nya, beda setingnya, beda ceritanya, beda sutradara, atau beda-beda lainnya.
Saat Ayat Ayat Cinta beredar, saya sempatkan nonton The
Tetapi, selalu saya temukan hal-hal baru, kreatif, dan cerdas dari film-film garapan para sineas Amrik sono, terutama ketika meracik alur cerita dan membuat kejutan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar