Search

21 Feb 2008

WAGE


JANTUNG saya serasa dibetot. Saya amati dengan seksama foto pria berkacamata yang sedang menatap kamera dengan kedua tangannya menggenggam sepatu itu. Koran Radar Semarang di jemari saya pun rasanya mau merosot.

Wage? Wage Teguh Wijono yang dulu garang itu? Benar adanya! Dialah Wage!

Tetapi mengapa berkutat dengan sepatu? Mengapa wajahnya tampak begitu tua? Mengapa ia berganti nama menjadi “Lek Wage”? Paparan dalam berita di koran itu mengabarkan duduk perkara: Wage sekarang menjadi tukang sol sepatu di kawasan Jatingaleh, Semarang!

Lima belas tahun lalu, Wage sekamar dengan saya di Sanggar Aktor Studio, milik Mas Djawahir Muhammad, salah satu seniman di Semarang. Sanggar yang tak hanya memproduk para pemain teater, melainkan juga kumpulan para pelukis, penyair, penulis, bahkan tukang becak boleh numpang tidur.

Dalam keseharian, Wage bicara ceplas-ceplos dan idealis, seolah dunia ini enteng di tangannya. Ia mengobrolkan WS Rendra hingga Sitok Srengenge. Ketika bicara tentang kesenian, ia fasih melontarkan istilah-istilah susastera. Beberap kali ia saya pergoki pagi-pagi merentangkan tangannya seraya menghadap matahari, seakan ia hirup energi alam semesta.

Karena saya masih hijau, ada beberapa hal yang saya adopsi dari Wage, umpama sikap pedenya menghadapi apapun. Ia juga secara tak langsung mengajari saya untuk kuat, meski waktu itu saya sangat marah tatkala ditugasi mengepel lantai. Sampai usia belasan, saya tak pernah mengepel. Hidup saya cukup borju untuk ukuran kampung, karena bapak adalah carik di sebuah desa di Demak sana.

Setelah sekian tahun tak terdengar kabarnya, tahu-tahu pagi-pagi saya membaca ulasan mengenai Wage, dengan sorot mata optimis ketika mengelus sol sepatu,
untuk menghidupi tiga anak serta satu istrinya!

!

Tidak ada komentar: