Search

2 Feb 2008

IKLAN


Iklan dulu sopan, tapi cara penyampaiannya begitu sederhana. Seolah calon konsumen itu ibu-ibu katrok yang tak perlu bertele-tele saat menyapanya. Itu jaman negeri ini hanya punya TVRI.

Kini, iklan digelar dengan bahasa kiasan (macam Sampoerna di baliho-baliho itu), atau pengungkapan yang blak-blakan namun dibungkus efek-efek bagus di televisi.

Pemirsa televisi sekarang ini kritis. Mereka sudah bisa membedakan mana iklan megah, mana iklan kacangan. Iklan-iklan shampo maupun sabun (mandi atau cuci) rata-rata menganggap bodoh pemirsa (atau malah membodohi?).

Farhan menuturkan betapa dahsyatnya sabun deterjen dengan bahasa paling sederhana dan 'narsis'. Krisna Mukti setali tiga uang. Naskah iklannya begitu jelek, sehingga kentara bahwa sabun yang ia iklankan memang hanya untuk ditonton kaum ibu yang (dianggap) bebal!

Iklan shampo lain lagi. Banyak berjejal istilah istilah asing macam cocoba, acid, volumizing, dsb, seolah semua kuping konsumen itu borju dan terpelajar. Perempuan di ujung pulau, atau di pelosok pedesaan ngertinya cuma shampo kemasan plastik kecil seharga Rp 500-an!

Shampo dan sabun tidak sendiri. Motor dan mobil (yang segmentasinya menengah ke atas) juga berlarian di sekitar pamer suspensi atau daya kencang yang sanggup merobek baju pengendaranya. Penonton dirayu dengan kedahsyatan yang kelewat batas, sampai-sampai tak ada penghargaan terhadap nalar. Begitu telanjang dan blak-blakan, seakan penonton televisi adalah orang-orang bodoh yang kaga pernah 'makan' sekolahan!

Iklan pada dasarnya menyampaikan pesan. Pesan yang dikandung memang punya alasan untuk merayu konsumen untuk membeli. Sebab itu, jika ada penghargaan kepada pariwara, tentu ini untuk menyampaikan kabar bahwa pembikinan iklan pun perlu menghargai seni.

Pada bagian itu, mari kita angkat topi pada iklan-iklan rokok yang rata-rata kreatif, megah, menyita selera, dan menggelitik. Mereka tak perlu mengatakan: "Isaplah Rokok Anu, karena rokok ini membuat Anda sehat!"


















Tidak ada komentar: