SAAT orang-orang sibuk dengan tahun baruan, saya tenang-tenang saja. Saya hanya akan nonton TV, memutar DVD, atau menyalakan playstation tatkala handai taulan dan kawan meniup terompet pada pukul 12.00 malam.
Apalah arti tahun baru? Apalah makna pergantian tahun? Apa, sih, yang istimewa?
Bagi saya tak beda dengan hari-hari biasa. Semua hari sama. Semua terdiri dari 24 jam. Mungkin yang membedakan adalah angka di kalender, dari 2008 menjadi 2009.
Seumur-umur saya tak pernah merayakan ulangtahun. Cuma, terkadang, istri mencium kening saya secara tiba-tiba, pagi saat saya masih berkubang selimut. Juga kadang teman-teman kantor riuh rendah mengucapkan selamat ultah. Tahu-tahu ada tumpeng atau kue bermotif bola di meja rapat, dan saya dipaksa meniup lilin, kemudian foto-foto.
Sebaliknya, saya juga jarang menyelamati istri, Ibu, Bapak, mertua, ipar, keponakan, adik-adik, famili, kawan, atau siapapun yang berulangtahun. Tradisi latah yang menurut saya hanya pemborosan belaka karena ketika tanggal lahir tiba, seseorang mendadak panik karena bakal ditodong kawan-kawannya untuk makan bersama. Kalau ada duit, beres urusan. Nah, bagaimana jika dompet sedang kempes? Tak jarang, kata seorang teman, ia perlu mengutang untuk mentraktir sate kambing atau MCD bila ultahnya tiba!
Saya memang anti yang latah-latah. Saat ulangtahun tiba, dan kemudian mendadak kawan-kawan menodong traktir, saya biasanya bilang: “Loh, bukannya saya yang harus ditraktir karena usia saya berkurang setahun?”
Tahun baru tak ubahnya tantangan baru. Bakal banyak setan bergentayangan di depan sana, dan kita harus menaklukkannya. Mengapa perlu diramai-ramaikan?