Roni berteriak seraya mengayunkan lengan. Setengah terkejut, saya menginjak rem.
“Numpang sampai gerbang depan, Mas. Saya ditunggu abang di sana,” ujarnya setengah girang saat kepalanya melongok di jendela yang kacanya saya turunkan.
Kemudian ia menghambur ke kabin. Segera ia tanggalkan helm. Dan kami bergerak.
“Nggak bawa motor, Ron?”
“Dibawa Lala. Sudah saya bilang puasa ini banyak operasi polisi. Tapi tadi ngotot karena takut disetrap kalau telat.” Lala, kelas 2 sebuah SMK, adalah anak tiri Roni dari pernikahan pertama Mbak Lastri dengan suami pertama. Menikah dengan Roni, Mbak Lastri mendapatkan anak 2 tahunan. Rifki namanya.
Lalu kami basa-basi dan sesekali ngakak. Kebiasaan di masjid. Ia menceritakan cedera engkel sehabis futsal kemarin malam. Pria asal Pati ini cukup kocak. Cara ngomongnya gaya terminalan. Maklum, ia punya warung di terminal bus kompleks perumahan, yang konsumennya kernet dan sopir.
“Enak ya Mas punya mobil. Nggak kehujanan, nggak kena panas. Bisa gaya lagi. Kapan ya saya bisa beli mobil?” Begitu cerocosnya.
Saya hanya tersenyum pahit. Roni tidak paham, mempunyai mobil tidak senyaman yang ia bayangkan karena memerlukan biaya yang besar untuk bensin dan perawatan. Pulang-pergi dari rumah ke kantor setidaknya saya merogoh Rp 50 ribu untuk bensin. Bisa tiga kali lipat kalau saya melakukan aktivitas.
Ia juga tampak kurang mengerti, bahwa pajak mobil dengan cc 2200 seperti milik saya besarnya Rp 2 juta lebih (sebelum kelak tarifnya dinaikkan oleh pemerintah), juga risikonya lebih besar karena spion pun bisa dicolong orang; susah mencari ruang parkir, dan tak jarang pikiran was-was kalau-kalau ada tangan usil menggores badan mobil sehingga butuh ratusan ribu untuk mengecat kembali.
“Ron, hidup itu relatif ...” Bisik saya. Mungkin ia tak mendengarnya.
(Tiba-tiba saya rindu Suzuki Shogun 2003 yang berbulan-bulan saya taruh di gudang ...)
1 komentar:
hidup memang ralatif bang,,,
ahh.. jadi inget korban zakat maut itu..
Posting Komentar