Itu mengapa ketika SMA saya mengadakan piknik ke Jakarta – itu saat saya kelas 3, tahun 1989 --, saya senang bukan kepalang. Melewati Monas dan menyusuri pagar Jalan Thamrin seolah melambungkan saya ke langit ke tujuh. Belum lagi TMII dan Ancol yang selama ini cuma berkelebat dalam benak.
/2
Kini, saya ‘harus’ ke Jakarta untuk sebuah pemindahan tempat kerja, ketika saya sudah kenyang akan kekejamannya, mual dengan bir di tempat hiburan di sana, eneg dengan beragam tipu daya, kesal dengan macet, trauma dengan banjir, dan geram dengan gaya hidup yang pura-pura.
Sekarang saya ‘harus’ berpindah ke sana dengan status “mau tak mau”, tatkala saya sudah jengkel dengan calo tiket Gambir, delay jadwal penerbangan pesawat, sopir taksi yang menipu mentah-mentah penumpangnya, bandit berseliweran baik teri maupun berdasi, demonstrasi seperti sarapan pagi, mutilasi ada di mana-mana, dan alat kelamin sudah tak lagi berharga.
Jakarta bukan lagi kota yang empuk ketika menyelinap ke alam mimpi, karenanya sejak 2002 saya sempat berikrar untuk tak lagi berdiam di sana setelah selama enam tahun menjadi salah satu kecoa Jakarta. Jakarta bukan lagi kulkas, karena telah beredar hawa panas yang menikam hati dan kepala hingga membara.
4 komentar:
mau dipindahin ke jakarte? hihihi rasain! welcome to the jungle, om!!! :D
selamat pindahan ke ibukota
dulu, saya sempat tak terpikir sedikitpun bisa kerja di Jakarta. semarang teramat sangat nyaman bagi pemuda lugu macam saya ini. Tapi, macam pesulap. tiba-tiba "BOOOMMMMM" saya jatuh diantara deru dan asap knalpot. dibawah gedung-gedung pecakar langit.
Tapi tiba-tiba, saya menikmati. karena sebenarnya Indonesia itu terletak di sini. dengan segala macamnya.
jadi ke Jakarta bang?
@Enno
Masih sekejam hutankah Jakarta itu?
@Elys Welt
Tunggu aku di pelabuhan itu, Elys
@Blue
Kita akan 'kolaborasi' jika itu terjadi, Blue. Tunggu sampai lebaran kelar ya keputusannya
Posting Komentar