Tadinya saya kesal melirik orang-orang pada makan dan merokok di sudut-sudut jalan atau beranda, sementara di sekelilingnya banyak orang berpuasa.
Tetapi, sejak empat hari lalu kegeraman saya tadi musti saya kubur dalam-dalam, sebab saya terpaksa (catat: terpaksa) juga makan-minum pada jam-jam puasa. Itu artinya juga merokok.
Diare akut membuat saya membolongi puasa. Saya harus minum obat. Ada yang tiga kali sehari, dua kali, bahkan setengah jam sebelum makan. Total 5 jenis obat harus saya embat.
Volume buang air ini sungguh tak terkira ‘jahat’-nya. 15 menit sekali saya berlari ke kamar mandi. Tubuh saya lemas karena kekurangan cairan, bahkan pusing dan mual.
Penyebabnya sepele. Saya pernah buka puasa dengan pecel yang amat pedas di Simpanglima. Dasar kemaruk – pecelnya lezat, sih – saya menambah porsi. Sintingnya, usai shalat tarawih saya tergoda pula menyantap mi instan. Jadilah lambung bergejolak hebat.
Seorang teman menyentil, “Mbokya minum obat abis maghrib, tengah malam, dan sebelum imsak. Jadi puasa sampeyan tidak perlu bolong.”
Saya menyetujui. Namun perlu dicatat, saya berobat pada pagi hari (yang seketika dikasih resep) ketika mulas di perut sudah tak mau kompromi. Guna meredam sakit perut agar tak semena-mena, saya segera minum obat tadi (sekaligus membatalkan puasa).
Untung diare reda setelah membabi buta selama tiga hari. Tetapi problem baru muncul. Saya menderita ambeien. Kok bisa?
‘Cuti puasa’ pun menjadi berkepanjangan dibuatnya. Tuhan, maafkan saya.
2 komentar:
ngga papa mas, yg penting nanti diganti di kemudian hari
waaa, pantesan kepergok sarapan kemarin dolo itu, hihhihi
Posting Komentar