PAGI belum dibilas mentari, tetapi telah ada keributan kecil di bagian depan kantor kami, hari ini. Agak malas, saya menyeret langkah ke depan, ingin memperoleh jawaban. Tahulah sekarang apa sumber hiruk pikuk yang mengganggu tidur saya itu: koran hilang!
Ya, hanya dua suratkabar – Jawa Pos dan Suara Merdeka – yang membuat beberapa kawan murka. Dua koran yang dibekuk dalam satu lipatan dan dilempar begitu saja oleh loper ke teras, menyisakan rasa kecewa yang mendalam di hati mereka.
Mengapa? Pertama, kegiatan pagi di kantor memang didominasi baca ramai-ramai di ruang tamu, sembari ditemani secangkir kopi. Kedua, koran-koran ini memberi informasi dan inspirasi, selagi jari jemari belum mengetuk tuts kibod komputer. Lebih-lebih ini musimnya Piala Eropa, sehingga para jurnalis di kantor kami (yang kebetulan melulu berurusan dengan sepakbola) mendapatkan data-data pelengkap.
Saya mengamati sekitar, mencari-cari penyebab hilangnya koran. Benar dugaan saya: pagar besi tidak terkatup, bahkan membuka di bagian separuhnya! Dan, bukan sekali ini saja koran-koran itu musnah – entah diembat orang lewat, atau oleh pemulung yang saban subuh mengais tong sampah di sudut depan halaman – yang penyebabnya cuma satu, pagar tidak ditutup!
Di tengah ribut-ribut saya membatin (dan sedikit menyalahkan teman-teman serta diri saya sendiri), mengapa hal sepele selalu kami lupakan, yakni bergegas menggeret pagar berkaki-kaki rel tersebut sebelum tidur. Saat ini baru koran. Jika nanti-nanti yang lenyap motor (maklum hingga larut malam, terutama saat deadline, banyak sepeda motor belum dimasukkan) atau mobil kantor kami yang kerap diparkir sampai pagi di sana, bukankah rasa kehilangan dan hati yang terluka lebih dahsyat dan parah?
Maaf bila saya bilang, tangan-tangan orang Indonesia memang ‘terampil’ menyikat barang milik orang lain. Takarannya bukan lagi klepto, melainkan sudah merasuk ke sumsum, berbarengan dengan mental maling yang mencengkeram (baik lantaran hanya berangkat dari sekadar ingin memiliki barang incaran untuk pemuas hobi, atau karena kesulitan ekonomi yang menjepit).
Di Korea, tahun 1999 dan 2000, saya melihat begitu banyak buku telepon digeletakkan di kotak telepon umum. Tak ada yang jahil membawanya pulang untuk bungkus pisang rebus, tak ada pula yang ngiler untuk mengantonginya.
Di negara yang sama, tepatnya Kota Suwon, saya melihat banyak sepeda motor ditaruh begitu saja di depan rumah, di jalanan, bahkan di pinggir kebun, sementara pemiliknya ngelayap hingga nun jauh di tengah kebun. Padahal, Korea begitu sepi, di banding Indonesia yang setiap jengkal terdapat manusia.
Aha, andai motor-motor yang berdiri mematung tanpa pengawasan itu di Indonesia ...
3 komentar:
It could widen my imagination towards the things that you are posting.
itu artinya org indonesia adalah orang yg pandai memanfaatkan peluang mas hehehehe....
Hebat bener, koran pun diembat.
Betapa maling pun tetap ingin terlihat cerdas dengan mengembat koran
Posting Komentar