Saya berencana bangun jam 1.00 tadi malam untuk menonton semifinal Rusia vs Spanyol. Jam weker sudah saya patok, cemilan sudah tersedia, rokok teronggok. Lengkap sudah. Tetapi, entah mengapa, baru pukul 22.00 mata saya melek prematur.
Tak tahu sebabnya, saya tak terpikat “Empat Mata’. Padahal Tukul adalah tontonan terakhir saya menjelang tidur. Sebentar saya bingung mau berbuat apa. Aha! Saya ingat sore sebelumnya saya menyewa CD Hantu Ambulance!
Terus terang saya salah satu korban promosi film yang salah satu bintangnya Suzanna yang legendaris ini. Produsennya menggelar jumpa pers, mendandani ambulan mirip seperti yang terpampang di filmnya, melakukan konvoi (yang karena alasan sakit Mbak Suzanna-nya tak bisa hadir), dan seterusnya. Saya penasaran dan ingin mendapat jawaban.
Film dibuka dengan angle kabin mobil yang sedang melaju di aspal. Dari arah berlawanan, melaju kencang sedan berkecapatan tinggi dan oleng. Bisa diduga: tabrakan hebat! Salah satu mobil terbang, berdebum, dan mencium jalanan, mirip film laga.
Sebuah intro yang lumayan. Apalagi disertai sedikit slow motion dengan format gambar hitam putih. Mengingatkan saya pada sejumlah adegan keren The Godfather yang dibintangi Al Pacino itu.
Adegan berikutnya lumayan mencekam. Rano (dimainkan Dimas Andrean) dihantui bayangan cewek yang berkelebat di jendela, anak tangga, hingga kamarnya. Rumah megah itu mewujudkan teror yang, terus terang, sempat membuat bulu kuduk saya meremang.
Saya ingin lebih. Saya ingin mendapatkan sumber ketakutan. Tetapi baru 15 menit film bergerak, saya mulai ngakak sendirian dalam kamar, melebihi kencang ketawa Suzanna dalam Sundel Bolong di masa lampau.
Mau tahu sebabnya? Hantu Ambulance gagal total sebagaimana Pocong, Suster Ngesot, Sundel Bolong, Terowongan Casablanca, Genderuwo, Bangsal 13, 40 Hari Bangkitnya Pocong, Beranak dalam Kubur, dan seterusnya. Hantu-hantunya selalu pocong dengan muka yang dibedaki sumba warna merah, atau sesosok tubuh yang berjalan ngesot dan kemudian menggaet kaki korban, atau perempuan berjubah dengan rambut awut-awutan, dan kuburan!
Lebih sebal lagi, trik kuno dengan memunculkan sesosok makhluk nggegirisi di cermin dipakai di film ini. Lebih menyebalkan pula, hantu-hantu seolah ada di mana-mana. Hampir setiap adegan ada hantunya, di kamar, di mobil, di ambulans, di kakus, di gedung yang belum kelar pembangunannya. Hantu-hantu itu menciptakan (atau dipaksakan oleh sutradara Koya Pagayo) ‘teror’ pada setiap orang, sehingga norak dan kampungan.
Dalam penat usai menyimak film ini, saya mendadak cemburu pada Jepang dan hollywood. Film horor Jepang tak asal-asalan membangun ketegangan. Para sineas Nippon begitu cermat menjalin alur, menciptakan visual effect, dan mencermati sisi humanisti. Tengoklah Ima, Ai Ni Yukimasu (2004, besutan sutradara Nobuhiro Doi), atau Ringu dan Ju On (keduanya dibesut pada tahun yang sama).
Dalam takaran lain, industri film Indonesia seyogyanya sudah mulai berpikir bagaimana film-film horor Amerika begitu memesona memungut ide dan pengambilan gambar. Tak banyak hantu dimunculkan, tetapi film-film dengan sutradara canggih macam M Night Shyamalan menyajikan ide-ide cerita yang unik.
Sutradara yang dibesarkan di Philadelphia ini mengawali debut karir penyutradaraan dalam film layar lebar Praying with Angers tahun 1992. Hingga tahun 2006, setidaknya, sutradara, produser dan penulis skenario yang dilahirkan di Pondicherry, India ini telah menulis skenario untuk delapan film dan tujuh diantaranya disutradarai langsung oleh Shyamalan sendiri.
Night Shyamalan adalah salah seorang sutradara yang konsisten menawarkan dunia ‘baru’ di setiap filmnya. Sebut saja, The Sixth Sense (1999), yang menyuguhkan drama dengan balutan dunia paranormal melalui pengalaman supernatural seorang bocah. The village (2004), yang menyuguhkan drama dalam balutan mitos. The Unbreakable (2000), drama thriller dalam balutan dunia supernatural. Lady In the Water pun, menyuguhkan sesuatu yang lain, yaitu menawarkan keeksotisan cerita-cerita dongeng dengan drama urban Amerika.
Begitu banyak yang bisa kita gali dari serpihan budaya Bumi Pertiwi untuk dikemas dalam film horor. Sayang, dari sekian judul yang sempat saya koleksi (atau menyewa dari rental), cuma The Mirror (dibintangi Nirina Zubir) yang pernah membuat saya terkesan. Itupun idenya mengadopsi The Others (Nicole Kidman) ...
2 komentar:
Ringu, ok. Ju on, aseek. the sixt sense, salah satu favorit. Mirror, enggak banget :p
film horor indonesia emang nyebelin. Gw rasa setan-setan pada tersinggung tuh, huwahahaha
Posting Komentar