SECARIK kertas yang tidak menarik. Ia digantung di sudut monitor komputer Ulie dengan rekat solasi. Ulie tadinya tak peduli. Pagi hari selalu ia temui kertas-kertas kecil berserakan di sekujur meja, atau di komputer. Pesan-pesan ringan, atau setengah berat, dari rekan-rekannya. Baru setelah menyalakan CPU, Ulie biasanya mulai membaca satu persatu pesan itu.
Tetapi kertas mungil warna pink ini melambai kecil. Bukan oleh hembusan AC, karena AC ada di sudut lain lantai 3 ini. Sebentar Ulie takjub. Ia mengulurkan lengan, merenggut memo itu dari tempat asal. Sederet tulisan tangan, tapi ini lebih halus dan tegas dibanding biasanya. Puisi? Siapa pagi-pagi menebar pesona? Ah, bukan. Ini lebih mirip pesan!
“.. danau diciptakan untuk siapapun yang ingin mengambang di atas bening airnya, seperti angsa yang berkecipak kecil tatkala menyapa kawan-kawannya. tak ada amarah yang disampaikan air terjun, melainkan keindahan atas air yang mengucur deras ke bawah. wahai hujan, berikan payung-payung. wahai mendung, tanamkan rasa percaya bahwa kelam bukan berarti mencekam, gelap bukan membuat mata silap … “
Ulie termangu. Kepada siapa pesan ini ditujukan? Untuk apa rangkaian kata itu ditaruh di komputernya? Siapa? Ini tulisan siapa?
***
WINA mendengus. Hitungan uang selisih. Tak seperti biasa ini terjadi. Diam-diam ia melirik pintu ruang di sudut lain lantai ini melalui kaca loket di sisinya. “Bu Mawa bisa marah kalau begini. Di mana letak kesalahanku, ya? Ah, aku harus menghitung ulang sebelum melaporkan pengeluaran,” bisik hati Wina risau.
Lalu ia memencet tombol CPU. Kemudian tombol serupa di monitornya. Sejenak layar menayangkan logo Window XP. Tetapi berikutnya di monitor 14 inci itu muncul rangkaian kata dengan huruf-huruf tegas. Wina terperangah, tapi menyimaknya dengan seksama.
“ … mengapa harus kau keluarkan energi sia-sia, anakku? mengapa kau tumbuk merica ke segenap auramu kalau kau tahu akibatnya, yakni membuatmu menjadi pedas dan pedih di mata orang lain? telah aku berikan tanda-tanda. telah aku katakan kepadamu bahwa kau akan dilindungi peri kalau tak kau butakan mata. kau akan menjadi bidadari kalau kau terangi sendiri hati. aku menyayangimu, anakku, aku tak lekang mengajarimu makna cinta … “
Angin berkesiur lembut, menarik mata Wina untuk menerobos keluar melalui kaca, mengirimkan sebait puisi rindu ke kelopak mata Ulie yang pada saat bersamaan juga mendadak sangat ingin menatap Wina …
1 komentar:
My name is Ulies...Ulies is my name...wekekeke.....cuma orang yang memiliki sensitifitas tinggi yang bisa memahami puisi itu. Aku pun harus membaca 3 kali baru mengerti...(lemot mode on) semoga tidak ada yang sakit hati PISSSSSSSSSSSSSSS!!!!
* indahnya dunia tanpa iri dengki
* teduhnya dunia tanpa memanasi
Posting Komentar