DI kantor, tatkala ‘adik-adik’ saya sibuk dengan Ungu, Repvblik, atau Kangen Band, saya cuek saja nyetel lagu Bimbang atau Rela Andi Meriem Matalatta. Terkadang bahkan Jujur, milik Bram Moersas itu.
“Lagu apaan tuh, Mas?” Tanya seseorang di antara mereka keheranan, suatu ketika.
“Jujur.” Jawab saya pendek seraya menyunting naskah.
“Radja itu ya? Kok suara penyanyinya beda?”
Saya tatap dia setengah kesal. “Radja yang sekarang itu pakai judul Jujur dengan menjiplak Bram Moersas tahun 1989! Jujur yang asli itu ciptaan RH Bramantio, waktu kamu mungkin masih SD!” Dia pun manggut-manggut, entah mengerti entah enggak, lalu berlalu dari meja saya dengan muka takut-takut.
Tiba-tiba pikiran saya mengembara. Tahun 1988, semasa SMA, saya kos di Wijaya Kusuma II. Itu nama perumahan di belakang SMA 1 Demak, sekolah saya. Sore saat menyeterika seragam, radio kami setel kencang-kencang. Sebuah radio mungil, yang sekarang mungkin tak lagi bisa dijumpai di toko elektronik. Lagunya? Jujur (Bram Moersas), Catatan si Boy (Ikang Fawzi), Seandainya Kita Selalu Satu (Harvey Malahiholo), dan semacamnya.
Meski era 80-an itu memberi kandungan kenangan yang luar biasa bagi saya (jatuh cinta dengan teman sekelas, meledek kawan yang ngebet guru Prancis, menyaksikan teman berkelahi karena rebutan cewek), namun saya tetap mengapresiasi generasi sekarang dengan romantismenya sendiri.
Jujur saja, di laptop saya ada daftar lagu Samsons, Tangga, Padi, Nidji, Naff, atau Letto. Tetapi penyanyi yang masih sanggup menyentuh relung paling jauh hati saya terus terang KLA Project, Tika Bisono, Iwan Fals, Andi Meriem, Bram Moersas, Trie Utami, 2D, atau Paramitha Rusady!
1 komentar:
bener kangmas,... meskipun aku juga hanya sempet menangi setengahnya masa-masa kejayaan mereka-mereka,... namun rasanya saat ngrungokne lengkingan suara mereka... aku seolah ikut hanyut terbawa dalam syahdunya kisah yang mereka bawaken... sangat menyentuh, secara mereka nggak sembarangan bikin lirik, mengaransemen dan saat menyanyikannya..
Posting Komentar