Search

30 Jan 2009

ANGGUN


Sebuah milling list membuat saya marah tadi malam. Di sana, seseorang memaki Anggun C Sasmi sebagai penyanyi yang hanya berbakat “sampah”. Bahkan, ia menuding Anggun menjual tubuh untuk popularitasnya.


***

MENGEJA wajah Anggun adalah membaca pualam. Kulit itu kini kencang dan dewasa, meninggalkan pet warna merah yang menyelubungi rambut panjang setengah ikal itu, sewaktu ia syuting video klip lagu Mimpi, bertahun-tahun silam.


Ia top di negeri ini dan mancanegara, tetapi ia seperti padi, menunduk ketika berisi. Dalam beragam konser tertutup maupun terbuka, saat ia sudah kondang di manca, Anggun adalah diva yang tak boleh dipandang sebelah mata. Ia memakai gaun panjang, dengan sedikit celah yang meleluasakan kakinya bergerak lincah.


Anggun seolah manik-manik delima yang mengejek para penyanyi di negeri ini. Banyak yang bermimpi go internasional, tetapi mereka membentur tembok. Banyak yang berkoar, namun mereka jago kandang belaka.


Anggun Cipta Sasmi bukan penyanyi bungkus kacang, bukan pula pemain sinetron yang disulap menjadi penyanyi, tetapi ia adalah telur yang ditetaskan naga dalam disiplin yang kuadrat, melahirkan banyak album, dan ditempa oleh hembusan kencang segenap arah mata angin (selengkapnya baca di sini).


Ayah saya mengajarkan agar jika kita bermimpi, maka jangan tidur kembali. Mandi, dan kemudian berjuanglah,” ujar Anggun suatu saat.


Itu sebabnya, ketika ada suara serak dan sumbang yang nyinyir di gendang telinga mengenainya, saya menantangnya: siapa penyanyi Indonesia sepantaran dengannya yang bisa menyalip? Siapa penyanyi bukan karbitan di negara kita yang punya suara kental seperti dia?


Anggun, seperti ditulis Anggun Puspita di blognya (klik di sini), adalah The Amazing!

29 Jan 2009

MENIKAH ADALAH PERJUDIAN?


Benarkah menikah adalah kunci membuka gerbang kegersangan?

***

ROFIQ mencegat saya tatkala saya membelok untuk menjauhi gang rumah. Saya pikir ia mau menodong rokok, seperti biasanya. Tapi meleset. “Mas, cariin istri, dong. Saya bosan membujang,” ujarnya meringis dari luar jendela kaca.

Saya meneliti wajahnya. Muka yang ganteng tidak jelek pun tidak ini menyeringai. Tapi sejurus kemudian mimiknya berkerut, alias serius.

“Kamu serius?” Tanya saya seraya menepikan mobil.

“Serius, Mas. Ayo dong, perempuan mana saja saya mau, asal dia baik dan mau mengerti saya,” katanya, setengah merengek. Saya memaki pendek dalam benak. Dipikirnya saya ini biro jodoh apa!

Namun ada rasa kasihan yang menyengat. Rofiq pria baik. Ia menginjak 32 di Tahun Kerbau ini. Tapi di umur yang sepantaran usia Pak Harto menjadi presiden negeri ini tak pernah tersiar kabar ia memiliki pacar. Padahal, teman-teman sebayanya sudah meminang anak orang.

“Mengapa baru sekarang terpikir untuk menikah?”

“Kemarin-kemarin saya asyik membujang. Tapi lama-lama tak kuasa juga saya menahannya. Saya merasa sepi. Saya juga merasa tak tenang bekerja, sehingga sering melamun di pekerjaan. Akhirnya saya di-PHK. Sekarang saya menganggur dan sulit mencari pekerjaan lagi. Siapa tahu dengan menikah saya lekas mendapat pekerjaan lagi,” tuturnya panjang lebar, dengan manik mata yang digenangi air.

Sebuah keyakinan yang membuat saya sangat terharu. Tetapi, barangkali, Rofiq tak pernah membayangkan betapa peliknya rumah tangga. Betapa rumit memecah problem rumah, mengatasi banjir perkara dan repotnya membeli susu. Lebih-lebih saat ini ia tengah menganggur.

Rumah tangga adalah menaiki biduk menuju ombak yang bergejolak. Menikah, kata orang bijak, adalah perjudian ...

27 Jan 2009

PERADABAN YANG MENYIKSA


Seorang kawan merasa dianiaya sepatunya. Loh?

***

REKAN ini, reporter sebuah TV swasta nasional, tadi ribut sendiri. Ia mencampakkan sepatu butnya ke lantai, lalu menyumpah serapah. “Bedebah! Bikin gue senewen neh sepatu!”

Saya menahan ngakak. Lalu menyelidik. “Emang kenapa dengan sepatumu?” Tanya saya.

“Menebar bau! Kaki gue yang butut atau sepatu ini ya biang keroknya? Bini gue suka ngomel setiap sepatu ini gue lepas!” Semprot pria Betawi ini, seraya menuding sepatu yang harganya saya taksir di atas 500 ribu rupiah itu. Saya pun tak lagi bisa membendung tawa.

Sepatu. Uh, saya jadi ingat 1977-1983, saat SD. Di pelosok Demak, Jateng, nun jauh dari hingar bingar kota, saya melahap lumpur tanpa sepatu saat berangkat-pulang sekolah. Sepatu barang langka di desa. Anak-anak sekolah tak mungkin dibalut sepatu lantaran jalan begitu telanjang dengan lumpur kala hujan, dan debu saat kemarau datang.

Tetapi, kami sehat-sehat saja! Tak ada kuman, tak ada bakteri.

Sepatu adalah peradaban, teknologi, dan kenyamanan. Tapi, menyimak kasus teman yang mengomel gara-gara sepatu, ada baiknya kita telisik fasilitas modern lain yang juga memikul 'dosa'. Mobil, pasta gigi, korek api, internet, ponsel, dan barang-barang terkini lain tampaknya memudahkan. Tapi, ayo kita teliti, apakah kemudahan itu juga menyehatkan?

Mobil, misalnya, adalah alat mempercepat. Tapi sifat “asal injak gas, duduk manis, dan tahu-tahu sampai tujuan” justru menggerus kesehatan. Jaman dulu orang kekar-bugar lantaran kesana kemari jalan kaki. Knalpot juga sumber perkara. Ozon, katanya, jadi tipis gara-gara gas yang dibuang rotasi mesin dan oli.

Telepon genggam menciptakan euforia dan praktis-manis. PRT hingga jenderal memanfaatkan modernisasi bidang informasi ini. Namun, adakah yang menyadari orang-orang menjadi kelimpungan tatkala pulsa mereka ludes, sehingga terkadang mencuri duit ibunya hanya untuk membeli pulsa? Adakah yang sadar ponsel merusak jaringan otak? Dulu, orang menyampaikan kabar cukup dengan telepon rumah, atau bahkan menembus semak belukar sehingga sehat. Tak ada niatan menjual apa saja -- termasuk harga diri maupun utang -- cuma untuk membeli telepon selular semata untuk gengsi.

Internet juga membuat orang tak sehat, kendati praktis dan menulari jutaan informasi. Tapi kita menjadi malas menulis surat dan berjalan kaki ke kantor pos. Orang enggan lagi menyambangi bis surat karena ada surat elektronika. Internet, kata seorang teman, memperbudak.

Televisi adalah jendela dunia. Tapi program-programnya meremuk mental generasi berikut. Sinetron menghalalkan kebandelan dan KDRT. Pancaran layarnya juga merusak mata. Coba kalau radio masih mendominasi. Orang dininabobokkan pergelaran wayang, melatih pendengaran, dan mengasah imajinasi.

Banyak lagi kini fasilitas yang mempercepat dan lekas. Peradaban telah melahirkan produk-produk kimiawi yang menyembuhkan dengan segera, sehingga jamu-jamu dan herbal lambat laun omong kosong belaka. Tetapi, kita lupa, makin banyak obat ditemukan, makin pula penyakit aneh-aneh datang.

Ah, saya jadi ingat waktu kecil. Setiap perut mulas, Ibu memetik daun muda jambu. Dicampuri sedikit garam, saya disuruh mengunyah sambil menyuarakan “embek” kambing. Ajaib, sejenak kemudian perut tak lagi bergejolak ...

26 Jan 2009

GUNUNG DI HATI MAS GOENOENG


'Ketuban' saya pecah. Dan bergegas 'anak' itu lahir saat saya memasuki gerbang pintu rumah Mas Goenoeng ...

***

HATI saya berderap kencang. Seperti belia yang bertemu gadis pujaan untuk kali pertama. Saya menyeruak, menyalami tuan rumah, dan menyelonong hingga dapur, seolah dituntun peri.

Mas Goenoeng tak seperti yang saya bayangkan. Menuju rumahnya dengan sepeda motor, saya mengira orang yang mau saya datangi ini pendiam, takzim, dan berbicara sepatah dua kata. Namun dugaan saya meleset. Ia berbicara dengan sekujur tubuh. Dan riuh.

Siang kemarin memang ajaib. Saya sedang menggasak sampah yang menyumbat got rumah tatkala ponsel menyalak. Saya pijat tuts dengan tangan penuh lumpur. “Plesir ya Mas?” Bunyi sebuah pesan pendek. Saya jawab, “Lagi nyogoki selokan, Mas. Anda di Plamongan atau Banyumanik?” Kemudian saya girang bukan kepalang lantaran Mas Goenoeng sedang di Plamongan (sekompleks dengan saya), yang berarti inilah waktu yang tepat untuk bertemu, setelah berulang-ulang janjian ketemu kalah oleh waktu yang menggesek.

Mungkin kami sama-sama saling mengagumi. Mungkin juga ada 'rasa' yang lajurnya sama. Bukan hanya lantaran kami saling memberi komentar di blog masing-masing, atau sekadar ber-hallo ria di shutboks, melainkan karena kami juga saling 'mengisi'. Ia dan saya seperti telah sekian belas tahun berkawan. Padahal belum setahun kami saling menyapa. Itu mengapa saya mengendarai motor dengan semangat 45, menyusuri jarak rumah kami yang hanya ditempuh 2 menit saja.

Tiba di rumahnya yang berniat ia kontrakkan (ia dan keluarganya memilih tinggal di Banyumanik -- sebuah kawasan sejuk di kawasan atas Kota Semarang -- antara lain karena anak-anaknya sudah telanjur bersekolah di sana), saya menyadari ada kesamaan penampilan. Kami sama-sama bercelana kutung, berkaus ala kadarnya, dan berjam tangan. Yang membedakan, ia punya gelang di tangan kiri, sedang saya tidak. Saya tak berkacamata, ia iya. Satu lagi, ia putih saya cokelat, hahahaha ...

Saya duduk di ruang tamunya dalam lanskap negeri dongeng. Mas Goenoeng memadukan gordin dan cat tembok mirip balairung, dan ... puitis, seperti puisi-puisinya yang menyentuh. Tiga lukisan di dinding, dengan perkawinan dua lampu lentera kereta kuda, menyiratkan kesan tuan rumahnya punya selera seni tinggi. Teras dibubuhi batu alam yang cerdas, dengan bangku kayu nan unik dan lebar, membuat saya berniat mencuri idenya untuk suatu saat saya adopsikan di rumah.

Perbincangan yang mengapung di semilir angin. Dari hal teremeh sampai masalah berat. Ia menggelar beban hidup dan kegersangan jiwa, saya juga begitu. Ia mengisahkan ihwal titik terendah dalam hidupnya, saya merespon dengan sumbangan saran. Ia memberi saya perenungan, saya mengunyahnya dengan hikmat.

Hanya ada dua bungkus rokok di atas meja, plus dua gelas kecil dan sebotol besar air kemasan. Saya lupa menenggak air ini hingga lebih dari sejam perbincangan, karena waktu seolah menderu, sementara diskusi kami belum separuhnya kelar.

Saya harus berpamitan karena ada famili yang mau berkunjung ke rumah, meninggalkan Mas Goenoeng dalam putaran nadi dan denyut hidup yang menganiaya.

Suatu saat nanti kami bertemu lagi, entah di mall atau warung tenda, dengan semangat yang lebih menyala.

21 Jan 2009

MISKIN HARTA, KAYA HATI


Lagu “You Rise Me Up” milik Josh Groban sayup-sayup menghilang bersama munculnya credit title di layar kaca. Saat itulah saya masih terisak ...
***

PEREMPUAN berbaju kuning ini melongokkan kepala ke kabin becak. “Pak, bisa mengantar saya?” Ucapnya sambil meringis.

“Bisa, Bu. Kemana?” Kata abang becak dari kursinya.

“Ke Rumah Sakit Dokter Kariadi. Jauh enggak, Pak? Perut saya mulai mulas,” ujarnya sesayup sampai sembari mengelus kandungannya yang besar.

“Wah, jauh, Bu. Tapi tak masalah kalau Ibu membayar 30 ribu,” ujar si tukang becak girang lantaran sebentar lagi bakal meraup rejeki.

“Tapi uang saya tadi hilang. Dompet saya dicuri orang ... ” kata si perempuan masih dengan mimik muka memelas. Raut muka tukang becak berubah tentu saja, dari senang menjadi kelu.

“Wah, kalau begitu nggak bisa, Bu. Saya harus menyetor uang ke juragan,” ucapnya seraya memalingkan muka, membiarkan sang ibu merana di sela bias mentari yang gencar memanggang kepala.

Perempuan ini berlalu, menyeret sendal jepitnya di kerikil. Sudah lebih 10 jam ia datang dan pergi ke abang-abang becak. Total 136 becak menolak. Panas mulai beringsut ke barat, tetapi perih perut si ibu makin merejam. Lunglai dan putus asa menyirami wajahnya. Rasa sakit akibat orok yang mulai meronta membuatnya nyaris pingsan, bahkan barangkali mati.

Di tengah frustrasi, ia mendekati becak ke-137. Dengan kalimat yang sama dalam harap yang mulai sirna, ia kembali memohon. Si bapak – yang kemudian diketahui bernama Toyib – memandang sebentar wajah si perempuan. Tiga detik kemudian, ia menyambar lengan si ibu, membimbingnya menaiki becak, dibantu beberapa orang lain di sana. Lalu mulailah ia mengayuh. Peluh merembes di bajunya yang dekil. Tak ayal napasnya tersengal saat ia mendorong becak di tanjakan.

Pria 60 tahun itu mulai mengerem kala becak mendekati gerbang belakang Kariadi. Dengan penuh perhatian ia mengangkat bagian belakang becaknya, mempersilakan si ibu turun dengan santun, kemudian mengantar penumpangnya hingga ambang gerbang.

Pak Toyib merasa sangat lega, meski baru saja ia kehilangan Rp 25 ribu, angka yang amat besar baginya.

Tetapi Tuhan tak pernah tidur. Mendadak, entah datangnya dari mana, seorang gadis muda mendatanginya dan bertanya, mengapa ia mau menarik becak untuk sesuatu yang cuma-cuma. Ia menjawab, “Saya kasihan padanya. Ia hamil tua dan sedang kehilangan uang.”

Gadis muda itu merogoh tas, menarik beberapa lembar 50 ribuan, dan menyodorkannya pada Pak Toyib. Terkejut, ia pun melongo. Si gadis menarik tangan Pak Toyib, lalu menangkupkan tumpukan uang ke telapak sang bapak.

Pak Toyib roboh. Ia memanjatkan syukur yang lafalnya tak jelas. Airmata meleleh deras. Ia meraung pendek-pendek, menyulut simpati orang-orang yang mengerumuninya. Mereka sontak memberi selamat, menepuk-nepuk pundak, bahkan seorang ibu mencium dahi pria tua ini.

***

ITU adegan program “Minta Tolong” RCTI, Selasa sore kemarin, yang setingnya di Semarang. Reality show yang menguji kepedulian. Orang 'ditantang' untuk kebajikan dalam kemiskinan.

Saya hanyut dalam emosi yang meninggi tatkala sekian puluh tukang becak menolak mengantar perempuan renta dan tersiksa karena hamil tua, ditambah pula kehilangan uang. Saya marah dan memaki. Saya merutuki orang-orang yang kehilangan kepekaan. Saya sumpah serapahi mereka yang dijilati setan sehingga tak punya belas kasihan.

Dan saya pun meraung tatkala Pak Toyib muncul sebagai malaikat. Pria dengan sisa-sisa napas. Orang lapuk yang dijejali kerut merut di pipi. Lelaki dengan kemiskinan harta tetapi kaya hati!

Saya masih terisak tatkala "Minta Tolong" berganti program lain, menyisakan You Rise Me Up di ujung acara yang terus bergaung di telinga ...

12 Jan 2009

KIREY


Kirey lahir kembali. Padahal, hampir sepuluh tahun ia sirna dari memori saya.

***

PEKAN lalu saya sangat kesepian. Kabin mobil senyap. Diam-diam saya menyumpah karena pergi dengan tergesa. Akibatnya boks CD tertinggal. Padahal saya bakal tiga jam berada di aspal Semarang-Solo.

Lalu saya memutuskan mencari toko kaset di Ungaran. Ebiet, Iwan Fals, atau kompilasi lagu terkini tak apalah. Yang penting perjalanan tidak ngilu oleh gempuran sepi.

Aha, ketemu juga! Saya menepi. Tapi saya bergegas melupakan Ebiet dan Iwan sebab mata saya tersedot ke sekeping CD berlabel “Lima Diva Dua Dekade”. Di sela Andi Meriem Matalata, Yuni Shara, Rafika Duri dan Novia Kolopaking, menyelip nama Kirey. Saya menghambur ke kasir yang manis tapi malu-malu, lalu membayar. Tak sabar rasanya untuk melabuhkan rindu pada si cantik itu!

Kirey tidak seprimadona KD atau Rossa. Ia juga jauh dari tataran Ruth Sahanaya maupun Vina Panduwinata. Tapi pada 1997-1999 ia menggaung dan menikam rasa. Saya pernah memasang posternya yang cantik – bonus album Terlalu (1997) -- di tembok kamar. Sesekali saya menatapnya lama-lama dan rahasia.

Kirey. Nama yang memang rada aneh. Perempuan kelahiran Selong, Nusa Tenggara Barat, 16 Oktober 1976 ini memiliki nama asli Nurzairina. Di kota dimana ia melewatkan masa kecil -- begitu yang saya baca dari google -- ia sempat meraih berbagai gelar juara tarik suara. Salah satunya runner up Bahana Suara Pelajar 1993. Kirey juga sering meloncat dari band satu ke band lain. Setelah bosan dengan Selong yang dianggapnya begitu-begitu aja, ia lantas hengkang ke Jakarta.

Di Ibukota, seorang teman membawanya ke produser sebuah pabrik rekaman, Music Plus. Ia langsung dikontrak 3 album. Album pertamanya berbandrol Terlalu. Album ini belum maksimal dalam penggarapan. Kemudian tahun 1998 dan 1999 ia membesut album kedua dan ketiga berlabel Rindang Tak Berbuah dan Kehadiranmu.

Selain menyanyi, Kirey juga membintangi beberapa sinetron, diantaranya Anakku Terlahir Kembali, bersama Desy Ratnasari dan Tamara Bleszynski.

Saya tak mati rasa selama tiga jam memelototi jalan. Kirey seolah duduk di bangku sebelah, menyenandungkan suaranya yang jelita seraya memainkan sulur-sulur rambut saya ...



10 Jan 2009

SAYA MEMELUKNYA HINGGA PAGI TIBA


Kalau ia benar-benar ingin kembali kepadamu, saya tak mempersoalkannya …

SAYA menyimak muka Adelia dengan seksama. Mimik yang datar, tanpa emosi, tanpa pretensi. Saya menjadi kikuk. Kue pisang yang tinggal separuh itu menggantung di udara, urung menghambur ke rongga mulut saya.

“Kau lagi ngomong apa?” Saya membohonginya karena saya tahu arah pembicaraan ini.

“Saya tahu kau rutin berkomunikasi, rajin mengiriminya SMS atau membalasnya.”

Malam yang diresapi gerah udara, meski di luar sana dingin menyengat tulang. Adelia menggumamkan sesuatu, tapi tak jelas di telinga. Ia tengah marah. Saya tahu dari cara duduknya yang kaku. Rokoknya menjilati asbak, menciptakan belang hitam di bibir asbak itu. Dan ia membiarkannya.

Kami diam membeku. Televisi memancar, tapi kami tak tergoda mengubah tayangan. Remote control entah dimana kini teronggok.

“Saya ingin bicara sejujur-jujurnya … “

“Jujur bahwa kau masih menyisakan cintamu padanya?” Ia menyela dengan sengit.

“Jujur bahwa saya tak lagi menyisakan cinta saya padanya.”

“Omong kosong!”

“Sumpah!”

“Tak perlu sumpah untuk membuktikannya.”

“Lalu saya harus ngomong apa lagi?”

“Kasih alasan mengapa kau tak mencintainya lagi. Katakan sekarang!”

Saya menghela napas. “Oke. Dia telah melukai hati saya. Dia menorah hati saya dengan belati lewat caranya meninggalkan saya. Ia lari dari saya, menggondol beberapa hal yang amat berharga dari saya, kemudian menikah dengan pria lain selagi saya masih mencintainya. Ia perempuan yang menciptakan bilur luka maha dahsyat yang barangkali saya bawa mati rasa sakitnya … “

“Itu sudah kau bilang pada saya berkali-kali.”

Saya mencintaimu, karena kau mengembalikan banyak hal yang dicuri oleh Nana! Kau malaikat penolong saya, membuat saya hidup kembali setelah mati! Cukup?

Kami bersitatap. Lalu luruh dalam pelukan yang amat erat. Pelukan yang tak renggang barang seinci hingga pagi tiba.

8 Jan 2009

KEMATIAN


Tuhan ada di sisi kita, di setiap hembusan napas

KEMARIN saya melayat. Peti mati ditaruh di tengah ruang tengah, dengan kaki-kaki ditaburi kapur. Ada sebaskom es batu teronggok di bawah peti.

Perempuan di dalamnya terbujur kaku. Dari balik kain berenda yang transparan, saya melihat wajah sepuh itu terpejam damai. Ia mendekap al kitab. Rapi ia disoleki, bersiap menuju kepada-Nya.

Kawan saya, anak ibu yang meninggal ini, masih menyisakan ratap. Matanya sembab. Tak kurang-kurangnya saya memberinya kekuatan agar ibunya diikhlaskan saja. Ia mengangguk mengerti. Tetapi, kala misa dikumandangkan seorang Romo, airmatanya kembali tempias.

Aroma kematian menyelubungi segenap ruang. Rangkaian melati menuang misteri ajal yang sukar disingkap. Saya merokok di sudut ruang, meneliti dengan diam-diam apakah ada malaikat yang mengintip dari celah jendela dan menatap saya dengan seksama.

Saat berpamitan, kembali saya memandangi almarhumah. Menitipinya beberapa lafal doa agar beliau pergi dengan sedamai-damainya. Saya merasa ia mengayunkan tangan, mengucap terima kasih. Lalu kami berpisah di persimpangan jalan.

***

KEMATIAN adalah sebuah ruang yang letaknya hanya dibatasi parit. Kita bergerak lurus di sisi lain selokan, dan sewaktu-waktu terjerembab ke sisi lainnya lalu memasuki alam moksa.

Saat pulang dari melayat itu, saya merasa hidup ini cuma sementara, sebab jiwa kita bisa tanggal manakala Tuhan menghendaki, kapanpun, dimanapun, oleh sebab apapun.

Saya merasa kecil dan tak punya makna. Saya hanya debu yang dihempaskan angin, hinggap dimana udara menggiring saya. Dan ketika sudah waktunya sapu menghalau, tamat sudah riwayat debu.

Kematian adalah masa dimana kita perlu istirahat setelah lelah, kembali ke tanah, dan melambaikan tangan pada orang-orang tersayang.

“Tuhan, beri saya sedikit lagi waktu untuk berbuat baik agar kematian saya tidak sia-sia …”

6 Jan 2009

BERSELIMUT KABUT


“Mengapa kau pasung rembulan? Mengapa harus menjadi peselancar kabut sementara jagat raya ini indah dan benderang?”

PERTANYAAN yang menukik dan tiba-tiba datangnya. Ia bertanya untuk yang kesekian. Mungkin jawaban-jawaban saya tak mudah dieja. Barangkali, bahkan, hanyut di kali. Ia menanyakannya kembali sekaligus menagih janji: “Kapan kau tulis tentang bunga matahari?

Hidup saya perih. Saya tertawa dengan siapa saja, tukang batu, para tetangga, imam masjid, pendeta, mantan dosen saya, tukang kerupuk, bekas pacar yang kini jadi pelacur, supir angkot, kernet bis, gali, polisi, perampok, teman jauh, famili, anak-istri. Tapi mereka tak bisa meraba, betapa lunglainya saya.

Saya adalah serpihan memori yang kelam dan demam. Anak kampung yang berlagak kota. Pria introvert yang menyesali diri. Anak mama yang dihempas prahara sejak balita. Bapak mulai menampari saya sejak SD hanya gara-gara salah menutupi nasi. Bukan dengan tangan, melainkan sandal tebal.

Masa remaja saya penuh anyir lendir. Lara berkepanjangan menikam sehingga luka-luka tak lagi terasa. Itu sebabnya saya terbiasa curiga. Saya pernah tak pernah percaya kepada siapa saja. Saya pernah ingin membunuh. Saya melihat lelehan darah di setiap kaki saya melangkah.

Saya adalah simbol kesakitan yang sangat. Kelam dan tenggelam. Rapuh dan runtuh. Moody dan lupa diri.

Saya tak memiliki kemampuan untuk melihat larik panjang tentang "dunia ini indah dan hangat", seperti dikatakan teman-teman. Itu mengapa saya berselimut kabut dan ingin lekas bertemu Tuhan ...

Semarang, 6 Januari 2009

2 Jan 2009

SAYA DIMINTA JADI LURAH, HAHAHAH!


MUSIM pilkades merebak di Demak. Seorang kerabat yang mengabdi di Kecamatan Wonosalam, Demak, mengirim SMS begini pada 21 Desember lalu: “Rief, nyalon lurah aja. Kalau mau nggak usah keluar duit. Saya jamin kamu jadi.”

Saya terlongong. Lurah? Apa tidak salah? Bukankah saya tak punya talenta membangun desa? Ngomong di depan seminar mungkin lancar. Lha ini mesti pidato di depan warga dengan Bahasa Jawa. Bukan saya tak mampu berbahasa Jawa, tetapi di hadapan massa yang tingkat pendidikannya rendah adalah masalah.

Problem yang menerpa bukan itu saja. Saya harus menjadi pendekar untuk melancarkan saluran, memperjuangkan jalan supaya enak diinjak, belitan program KB dan posyandu, hingga masalah remeh macam menengahi pertengkaran warga, cekcok suami istri, dan sebagainya, dan seterusnya.

Usai menerima SMS itu, saya sempat berangan, ah, andai jadi lurah, saya akan bawa komputer spesifikasi tinggi ke balai pertemuan, mengaliri dusun dengan internet, dan membuat koran. Koran beroplag kecil tapi menyulut antusiasme warga. Saya juga berencana menggelar press conference rutin saban bulan, mengundang kawan-kawan wartawan untuk menginformasikan progresi desa kami.

Namun itu cuma khayalan kecil. Kepala desa, kini, bukan jabatan gurih seperti masa lalu. Dulu, lurah dijabat sepanjang masa. Sekarang masa bhakti hanya lima tahun, dengan bengkok (bayaran berupa sawah) seluas 25 bahu (lebih kurang 5 hektar). Sawah yang bersifat pinjaman. Jika tak menjadi lurah, mantan kepala desa harus mengembalikannya lagi ke negara.

Upah yang saya rasa tak cukup untuk membayar pengorbanan jiwa, raga, waktu, pikiran, dan mental. Menghadapi warga desa persis menimang bayi. Salah susu, maka si bayi teriak kencang dan susah didiamkan.

Tapi, alamak, para calon kades mengejar jabatan ini hingga liang lahat. Uang dihamburkan hanya untuk memperoleh baju lurah. Seorang calon kades di sebuah desa di Kecamatan Dempet, Demak, Jateng -- sebut saja Handono – mengaku menggelontorkan dana Rp 800 juta. Padahal, ia digampar ending yang sangat tak enak: gagal menjadi lurah!

Pilkades tak ubahnya pilkada kabupaten/kota, pilgub, bahkan pilpres. Dana disiapkan untuk menyuap warga supaya mencoblos calon bersangkutan. Handono, menurut sumber yang sangat layak dipercaya, memberi angpaw sebesar Rp 250 ribu kepada setiap pencoblos. Itu belum 'serangan fajar' berupa Rp 20 ribu bagi mereka yang bersiap menuju TPS, serta barang-barang berupa sarung atau kain untuk upeti warga. Hitung saja andai pencoblos di desa ini berjumlah 5000 orang.

Saya curiga, jangan-jangan kerabat yang meng-SMS saya itu salah satu calo lurah ...


1 Jan 2009

LUNA MAYA TIDAK CANTIK


SAYA ribut dengan istri soal Luna Maya. Saya menyelingkuhinya? Hoho, tentu tidak!

Menurutnya, Luna Maya cantik setinggi langit. Saking kagum, ia berdecak kencang sampai menggetarkan dinding kamar bila Luna muncul di televisi. Namun, menurut saya tidak. Luna Maya gadis biasa. Istri saya ngotot, kemudian ia 'menuduh' saya rabun. Olala, tentu saya tidak terima.

Baiklah, ada sejumlah fakta mengapa Luna yang konon mengeruk pendapatan setahun Rp 6 miliar dari membintangi video klip, main film, membintangi iklan, presenter, menjadi ikon di sejumlah produk, dan bermain dalam tayangan komedi di sebuah televisi ini saya kategorikan berperforma biasa-biasa saja, bahkan barangkali tak memenuhi syarat sebagai perempuan cantik.

Pertama, tubuhnya kurus. Ia tak memiliki beberapa hal yang membuatnya pantas digolongkan seksi (Anda mungkin sepaham dengan saya bagaimana membatasi wanita seksi dan tidak. Tak ada yang meragukan kadar seksi Jessica Biel dan Halle Barry untuk katarsis ini).

Kedua, kakinya berbentuk “O”. Dalam sebuah iklan televisi, tampak ia menangkap bola. Dari medium shoot tertangkap dengan jelas kedua tulang keringnya melengkung saling berjauhan membentuk huruf “O”.

Ketiga, matanya terlalu lebar. Sepintas mata Luna berkelip bintang. Namun, jika kita jeli menelaah, dua lubang matanya terlalu gede. Itu mengapa ia sangat layak membintangi film-film horor. Dipermak dengan sentuhan gelap di bagian kantung mata, dan kemudian ia dikasting mendelik, maka ia berhasil menjadi sosok yang amat mengerikan.

Keempat, bibirnya terlalu lebar. Jika suatu ketika ia membintangi film Batman, pantaslah Luna menjadi Joker, musuh Batman, yakni tokoh dengan raut senyum menakutkan dari seringai bibirnya yang lebar, tanpa Luna diberi pewarna merah di ujung-ujung bibirnya untuk efek tersenyum. Item ini masih disokong pula dengan bibir Luna yang terlalu tipis sehingga membenamkan sensualitasnya.

Kelima, wajahnya kotak. Rahang Luna Maya terdiri dari dua belah tulang melebar ke kiri dan ke kanan, sehingga menyuguhkan bentuk kotak. Untung penata riasnya tahu benar problem ini. Dalam beberapa kesempatan, rambutnya sukses menutupi titik lemah tersebut.

Keenam, suaranya cemeng. Memikat atau tidak seseorang, disumbang pula oleh suara yang seksi. Mbak Bertha itu subur, namun suaranya merasuk sukma. Begitu pula Dewi Hughes yang besar. Ia punya kemampuan bercakap yang enak diserap. Warna suaranya juga sebening kaca.

Ketujuh, susunan gigi. Dua deretan gigi Luna, atas dan bawah, terlalu mungil dan tidak terpadu serasi jika dikatupkan.

Itulah catatan saya tentang Luna Maya. Sedikit tambahan, ia juga tertolong oleh nama yang sedap didengar. Andai dari awal bernama Sutipah, Kardiyem, Sulastri, atau Siti Kamar Mandi, mungkin ia susah beranjak dari “sekadar perempuan biasa”.

Saya coba ajukan argumen tadi, tapi istri saya tak mau mendengar, sebagaimana ia juga bersikeras bahwa Mayangsari juga minta ampun cantik dan seksinya. Padahal, Mayang yang merebut Bambang Trihatmojo dari Halimah, istrinya, itu tubuhnya mungil, jauh dari seksi, meski ia manis dengan lesung pipitnya.

Jangan berkecil hati, Mbak Luna, sebab apapun yang saya utarakan adalah opini, pendapat saya pribadi, yang sudah jelas berseberangan dengan jutaan orang yang memuja dan tergila-gila pada Anda, termasuk grup band Changcuter yang mengusung nama Anda dalam sebuah lagunya, Ariel Peterpan yang (kembali) memacari Anda, istri saya, dan seterusnya.

Rejeki memang tak bisa dibendung daya kucurnya jika Tuhan menghendaki, sebagaimana duit yang melimpah ruah dari banyak sumber yang kini menyesaki deposito Anda. Teruslah bergerak dan berderak, dengan, tentu saja, tak boleh lupa bersyukur atas kebaikan Sang Maha Pemurah!

Anda tahu bagaimana cara bersyukur, bukan?