
TIAP Kamis, selalu paras Ibu melayang-layang di depan mata. Ada rindu untuk mendekap dan menghirup keringatnya.
Tradisi keluarga kami berziarah di makam leluhur tak pernah luntur. Sudah lebih lima kali saya melewatkannya: tak melafalkan doa-doa di atas makam Bunda pada Kamis petang. Dan saya menuai akibat buruk: ia menyusup ke alam mimpi saya, menggapai-nggapaikan tangan pertanda ingin disambangi.
Bapak tak memiliki hati singa seperti Ibu. Itu sebabnya saya mencintai Bapak tapi seraya bertanya-tanya, mengapa belasan tahun menikahi Ibu tetapi ia tak sekokoh istrinya, melainkan malah rapuh dan melepuh.
Saya tak memperoleh surga tatkala Bapak menikahi Emi, perempuan Ambarawa, Jawa Tengah, setelah Ibu meninggal. Bukan lantaran Emi nyinyir, tetapi karena Bapak tergesa menceraikannya sebelum sempat ia menabur kasih sayang kepada kami, saya dan tiga adik saya.
Lalu juga tak mendapat apa-apa ketika Bapak meminang Endang, janda tanpa anak asal Demak (juga Jawa Tengah). Endang berkompromi dengan adagium "ibu tiri tak semenarik ibu kandung". Ia bawel dan setengah hati. Mungkin ia menyayangi Bapak, tapi tidak untuk anak-anak (tiri)-nya.
Sebab itu Ibu tetap nomor satu di mata saya (dan tentu adik-adik saya), kendatipun secara fisik saya (berusaha) menghormati Bu Endang. Indah dan Eni, dua adik perempuan saya, memperlihatkan rasa tidak suka saban bertemu Bu Endang, tapi saya tidak.
Saya sangat menyayangi Ibu, walau dulu tanpa iba memangkas paksa rambut saya yang gondrong sebahu. Saya mencintainya meski mestinya saya marah karena pernah diminta memutuskan Retno, pacar saya semasa kuliah, gara-gara Retno kurang sopan saat makan.
Saya amat mencintainya, dan ingin mewarisi kekuatan macan itu. "Macan" yang dikuntit ratusan orang dengan genang airmata, ketika ambulan yang mengangkut jasadnya dari Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, memasuki kampung, tahun 1992 ...
Tradisi keluarga kami berziarah di makam leluhur tak pernah luntur. Sudah lebih lima kali saya melewatkannya: tak melafalkan doa-doa di atas makam Bunda pada Kamis petang. Dan saya menuai akibat buruk: ia menyusup ke alam mimpi saya, menggapai-nggapaikan tangan pertanda ingin disambangi.
Bapak tak memiliki hati singa seperti Ibu. Itu sebabnya saya mencintai Bapak tapi seraya bertanya-tanya, mengapa belasan tahun menikahi Ibu tetapi ia tak sekokoh istrinya, melainkan malah rapuh dan melepuh.
Saya tak memperoleh surga tatkala Bapak menikahi Emi, perempuan Ambarawa, Jawa Tengah, setelah Ibu meninggal. Bukan lantaran Emi nyinyir, tetapi karena Bapak tergesa menceraikannya sebelum sempat ia menabur kasih sayang kepada kami, saya dan tiga adik saya.
Lalu juga tak mendapat apa-apa ketika Bapak meminang Endang, janda tanpa anak asal Demak (juga Jawa Tengah). Endang berkompromi dengan adagium "ibu tiri tak semenarik ibu kandung". Ia bawel dan setengah hati. Mungkin ia menyayangi Bapak, tapi tidak untuk anak-anak (tiri)-nya.
Sebab itu Ibu tetap nomor satu di mata saya (dan tentu adik-adik saya), kendatipun secara fisik saya (berusaha) menghormati Bu Endang. Indah dan Eni, dua adik perempuan saya, memperlihatkan rasa tidak suka saban bertemu Bu Endang, tapi saya tidak.
Saya sangat menyayangi Ibu, walau dulu tanpa iba memangkas paksa rambut saya yang gondrong sebahu. Saya mencintainya meski mestinya saya marah karena pernah diminta memutuskan Retno, pacar saya semasa kuliah, gara-gara Retno kurang sopan saat makan.
Saya amat mencintainya, dan ingin mewarisi kekuatan macan itu. "Macan" yang dikuntit ratusan orang dengan genang airmata, ketika ambulan yang mengangkut jasadnya dari Rumah Sakit Telogorejo, Semarang, memasuki kampung, tahun 1992 ...