Search

17 Jun 2008

Surat untuk Ibunda (di Surga)


BU, kutitipkan surat ini pada bintang yang tadi malam singgah di rumah. Sedang apa pagi ini? Sudah minum teh seraya mengudap jajan pasar seperti Ibu sering lakukan saat kita masih bersama? Sehat, kan, Bu? Syukurlah.

Seharian kemarin aku merindukan Ibu. Kangen gingsul dan tawa Ibu yang renyah. Aku masih secengeng dulu setiap mengingat masa indah. Airmata tak pernah berhenti tumpah tiap kali teringat bagaimana aku begitu kerasan memijat kaki Ibu dan menciptakan rasa nyaman menjelang Ibu tidur.

Selalu kita habiskan malam untuk bercengkerama di beranda saat jengkerik melengking. Bulan sedang purnama. Ibu suka mengelus rambutku, memilin-milinnya seolah takut kehilangan. Menceritakan banyak hal tentang masa silam, tentang bagaimana dulu Bapak mengapeli Ibu lewat jendela karena kakek sangat galak, tentang bagaimana menaklukkan hidup, tentang makna mengaji dan shalat, tentang menyayangi binatang.

Ibu tersipu ketika aku bilang wajah Ibu hitam manis. Bapak menimpalinya dengan berkata bahwa kalau tidak manis tentu Bapak tidak mau menikahi Ibu. Lalu kerumunan kecil pun tercipta. Indah, Eddy, dan Enny berbaur dan kolokan. Kita berenam berendam dalam sebuah beranda rumah yang dijalari bunga-bunga.

Ibu adalah ‘petani’ yang sukses ‘bercocoktanam’ dan mengairi ladang. Penggalan-penggalan dongeng yang kerap Ibu kisahkan, sikap Ibu yang pasrah dan penyayang, kerelaan Ibu untuk menerima apa adanya, menghasilkan buah yang berlimpah.

“Dendam itu racun. Dendam akan terus mengikutimu sampai akhirnya kamu menjadi jahat,” tutur Ibu.

Ketika aku telah dewasa kini, pelajaran dari Ibu adalah roda dan asnya. Aku pernah merasa tak akan kehilangan pelita dan harapan, sebagaimana Ibu selalu tekankan kepada kami, anak-anak Ibu, untuk pantang menyerah.

Ada dua serigala yang selalu bertempur di dalam hatimu, serigala baik dan buruk. Serigala mana yang menang tergantung bagaimana kamu memutuskan,” kata Ibu di kali lain.

Tetapi terkadang roda kehidupan terantuk bebatuan. Saat-saat tertentu aku ingin mengadu kepada Ibu tentang kabut dan awan. Ada saat aku tak punya pegangan dan rentan. Aku tak punya roh baja seperti Ibu memilikinya. Aku adalah titik-titik air yang mudah diterpa angin.

Aku tak mewarisi ketegaran Ibu sebagaimana Ibu masih bisa tersenyum meski tubuh Ibu terbujur kaku tatkala ginjal Ibu tak lagi berdenyut. Ibu masih bisa tertawa meski malaikat telah berkerumun. Aku tak mempunyai kekuatan Surat Yasin seperti Ibu kerap kumandangkan usai maghriban.

Maafkan aku yang renta sebelum waktunya, Ibu. Jika saatnya tiba, aku akan segera mengetuk pintu rumah Ibu di surga sana. Aku ingin tiduran di pangkuanmu untuk melepas lelah …

7 komentar:

Enno mengatakan...

aku terharu... aku juga jadi kangen ibuku...

Anonim mengatakan...

Jangkrik!!!
aku nangis.
aku kangen ibu dirumah.
biasanya dia paling suka menciumiku. memanjakan dengan sop jagung kesukaanku..

Arief Firhanusa mengatakan...

kita sama-sama nangis, blue. Terbayang betapa berat menjaga dan memelihara sekian anak. Terbayang betapa nelangsa ketika ada anak durhaka ...

Anonim mengatakan...

kangen sama my ummy. rasanya ingin pulang ke kampung tuk ktemu n tiduran lagi di pangkuannya.

Meita Win mengatakan...

hiks...Ibu memang luar biasa! si Blue itu pasti menangis beneran deh...:D

Anonim mengatakan...

@siMUngil
Aku kangen rumah beneran mbak.. jadinya mengucur air mataku ini..

Anonim mengatakan...

Duh, jadi ikutan kangen.. tapi kangennya sama ayahku :(