Search

4 Jun 2008

Pele


TIAP Juni tiba, selalu saya teringat momen terbesar dalam perjalanan jurnalistik saya ini.

Matahari Kuala Lumpur tepat di atas kepala. Dari kamar 562 lantai 5 Hotel Regent, Jalan Hang Tuah, saya melongok ke bawah. Lalu lintas cukup padat. Mal di seberang hotel disemuti pengunjung. Saya terhanyut dalam kebergegasan Malaysia, tetapi benak saya sedang berada di hall hotel ini. Saya tengah menunggu aba-aba dari panitia Piala Dunia Junior untuk segera menghambur ke ruang pertemuan.

Tak lama, telepon di kamar berdering. “Selamat siang, Anda di tunggu di hall sekarang juga. Terima kasih,” suara lembut perempuan muda, dengan Inggris bercampur Melayu. Dalam kesempatan lain, mungkin ia akan saya ajak ngobrol karena suaranya sungguh merdu. Tetapi saya tak boleh berbasa basi kalau tak ingin ketinggalan momen besar.

Di hall, ubin seolah bergoyang tatkala pria hitam itu memasuki ruangan. Dada saya berdegup kencang. Lelaki ini, Edson Arantes do Nascimento, atau dunia menyapanya dengan “Pele”, menebar senyum. Standing ovation dilakukan hadirin. Lalu lampu kilat menghujaninya. Pele menebar senyum dan lambaian tangan.

Setelah bicara panjang lebar mengenai masa depan sepakbola– bergantian dengan sejumlah pembicara lain dari beberapa negara sepakbola – Pele mengakhiri makalahnya. Tepuk tangan bergema. Kemudian ada sesi foto bersama. Di antara jejalan undangan dari seluruh dunia, saya mendapat kesempatan berfoto dengannya. Foto yang sangat mahal. Saya berterima kasih pada Akihito Saito, fotografer asal Jepang yang membidik saya dengan Pele.

***

APA kabar, Pele? Pagi ini saya mendadak sangat rindu. Hangat telapak tangan Anda masih membekas hingga kini. Saya cermati foto kita berukuran besar di tembok rumah, dan saya kembali mendapati keramahtamahan Anda, meski momen itu telah berselang lama, Juni sebelas tahun lalu.

Anda terbesar dalam sejarah dan saya sangat beruntung bisa menyentuhmu. Nanti, kisah ini bakal saya tuturkan ke anak cucu.

3 komentar:

Meita Win mengatakan...

waahh...moment yang luar biasa! Aku kehilangan banyak moment seperti ini dengan bodohnya. Memang kejadian 11 tahun lalu itu selalu membekas yah?

Enno mengatakan...

fotonya digedein trus dipajang ya? halah! :)
enggak apa2 sih hehehe *usil mode on*

Arief Firhanusa mengatakan...

@SiMungiL
wah, itu momen paling berkesan dalam hidup dek. Pele itu legenda hidup sepakbola, bintang di atas bintang. Pada masa jayanya, ia adalah fenomena.

Untuk menyimpan memori masa silam emang sulitnya minta ampun. Makanya sekarang ini kita perlu punya kamera, handycam, atau file di komputer yang rapi jali dan ada back up-nya. Sebab kelak di kemudian hari, yg terjadi pada saat ini perlu dikuak kembali.

@enno
iya, nno