Search

20 Jun 2008

Mereka Menuang Kata-kata


Setidaknya empat blog belakangan ini saya cermati. Menjadi semacam rutinitas pagi selagi mulut mengunyah roti dan minum teh, menjelang kerja. Keempatnya adalah http://sofianblue.wordpress.com (milik Sofian), http://www.jejaksimungil.com (punya Mei), http://falling-eve.blogspot.com (Enno), dan http://ulies.blogs.friendster.com (ditulis oleh Mira/Ulies).

Kecuali Mira yang mulai tidak produktif (“saya nulis kalau lagi bener-bener mood aja, Mas,” katanya), Enno, Mei, dan Sofian (senang memakai nick name “Blue”) seolah menyiratkan bahwa menulis di blog adalah hobi, tugas, sekaligus tuntutan.

Enno punya kesempatan luas untuk menuang kata-kata. Ia adalah editor sebuah majalah hukum di Jakarta. Jenis pekerjaan yang memang bergumul dengan huruf dan kalimat. Itu mengapa ia sebebas merpati meracik kalimat untuk disuguhkan ke khalayak ramai melalui blog-nya.

Retno, begitu ia punya nama asli -- (“Enno itu tak lebih memudahkan cara menyebut saja, kok, mirip anak kecil yang cadel sehingga tak bisa menyebut Retno dengan benar. Di luar negeri, Enno itu nama laki-laki,” ujarnya suatu ketika) – adalah Pisces yang lain daripada yang lain. Setahu saya, Pisces itu tidak romantis. Bintang yang cenderung cerewet dan butuh perhatian.

Namun, harus saya akui, paparan di blog-nya mencuri perhatian. Ia menikung dengan cermat saat beralih kalimat. Ia mencomot banyak kosa kata musykil tapi indah. Enno mahir berkelit dan meliuk, bak penari balet di Sydney Theater. Cewek ketus ini juga pandai mengerem kalimat, sehingga melahirkan gemas dan penasaran.

Sayang ia melalaikan satu hal. Ibarat majalah, blog Enno menumbuhkan gusar pembacanya lantaran ia kurang mengindahkan ritme. Ia menumpuk topik-topik yang nyaris sama di judul-judul yang bertetangga, sehingga terkadang memaksa kita (para pembaca) mati rasa. Ia bisa mengurai perihal “Pria Hujan”-nya dalam tiga judul sekaligus, sampai-sampai kita merasa sebal.

Bagaimana dengan Mei? SiMunGiL, begitu ia minta disapa dengan akrab, lebih lebar membangun blog-nya. Perkara sosial ia tulis. Persoalan cinta ia babat, resensi film pun ia ungkap (bahkan harus saya akui wanita mungil ini maniak bioskop).

Kekuatan Mei adalah pada pesan. Setiap mengakhiri tulisan, ia menyodorkan filosofi, tak peduli filosofi ini ia kutip dari ucapan seorang tokoh. “Terus terang, tidak semua orang bisa melakukan ini. Tidak ada hal yang tidak butuh proses. Semua hal yang berhubungan dengan mahkluk lain, pasti membutuhkan proses. Hanya kita mau atau tidak berusaha dan belajar dari hari ke hari, untuk menjadi yang lebih baik lagi”. (ini salah satu pesan berbau motivasi di judul “Listening” yang ia posting pada 7 Juni 2008, jam 4.19 sore).

Kekuatan lain, ia paham benar lead, alias “kepala berita”. Alinea pertama ia kukuhkan sebagai ‘mesin rayu’ untuk mengikat pembacanya untuk tak berhenti membaca.

Kelemahannya? Nyaris sama dengan Enno, Mei mendapat beribu-ribu pena dari “cinta”. Ketika keduanya sedang berayun-ayun dalam kotak asmara, tulisannya membanjir. Dan tatkala Mei putus hubungan dengan seseorang, tempo hari, mendadak ia hanya memposting foto dirinya tanpa kata-kata dan deskripsi, atau memasarkan asesori (oya, Mei ini bekerja di sebuah perusahaan kasur busa – yang tanpa kita sadari mereknya tiap malam kita tindih saat kita tidur, sebab mereknya amat terkenal – disamping juga memproduk sendiri asesoris perempuan).

Nah, mari kita bicara soal Sofian Blue. Latarbelakangnya jurnalis. Ia bekerja di sebuah koran terkenal, di Jakarta. Anak urban yang mencoba mencari nasi dan jatidiri di ibukota.

Background wartawan itulah yang menuntunnya sibuk mengamati sosial. Sebagian besar tulisannya, terutama akhir-akhir ini, adalah periuk keseharian. Ia mengamati fenomena Euro 2008, penyanyi dangdut, sampai nasib kawan sekampungnya yang dulu preman dan kini lumpuh.

Blue pintar bertutur dan blak-blakan, khas remaja (masih remaja tidak ya?). Ia menyikut dan mengkritisi. Cuma itu? Tidak. Ia juga mahir menuang prosa lirik, alias artikel yang diadon dengan kata-kata puitis. Blue mendadak jadi Chairil Anwar cilik tatkala dibelit asmara (dan birahi?)

Setiap membaca tulisannya, saya membayangkan raut wajahnya yang lebih didominasi serius. Saat bekerja di kantor yang sama, beberapa tahun silam, saya tak pernah menyangka di benaknya tengah bersemayam romantisme. Di balik wajahnya yang mengalun seperti gamelan, Blue ternyata ingin seperti Peterpan.

Sedikit mengulik kelemahannya, blog “Sebuah Dunia Kecil” ‘diingkari’ oleh Blue sendiri. Ia menulis panjang lebar, sampai-sampai harus memakai format “more” untuk menuntun pembaca menyantap tulisan hingga tuntas, lewat halaman lain.

Apa ini salah? Tentu tidak. Tapi, alangkah menyenangkan jika Blue mengeremnya menjadi hanya satu halaman (pembaca tak perlu lagi meng-klik “more”) supaya tak merepotkan. Sering kita kehilangan mood hanya gara-gara disibukkan dengan ‘birokrasi’, terlebih bagi mereka yang bandwithd-nya pas-pasan.

Blue juga angin-anginan. Tulisannya sering luar biasa, tetapi juga ada yang setengah dipaksakan, sehingga kita kehilangan pesan. Mungkin, seperti pada lumrahnya manusia, ia juga butuh mood total untuk menghadirkan suguhan lezat.

Mira, Enno, Mei, dan Blue (kebetulan keempatnya di Jakarta) sama-sama punya talenta hebat. Andai ada penerbit yang bermurah hati menjemput mereka ke penerbitan novel (teenlit atau novel beneran), saya kira mereka tidak bikin kecewa!

10 komentar:

Meita Win mengatakan...

Hanya mampu memeluk dengan penuh haru. Terimakasih, Mas! Ini sebuah hal yang JARANG sekali aku dapatkan, sebuah PENGHARGAAN TULUS.

jika ada kata yang bisa mengungkapkan rasa TERIMAKASIH maka akan aku sebutkan.

Aku menghargai sekali tulisan ini. Seribukali terimakasih diiringi pelukan erat penuh haru!

mwaaaahhh!!

Meita Win mengatakan...

hehe..bukan karena patah hati jadi berenti menulis koq, tapi karena lagi hitung gaji!

lagi banyak kerjaan, Mas!
:)

Anonim mengatakan...

ada akuuuu disitu.....dudududu...senenge...

Enno mengatakan...

Mei, aku gak mau meluk! Apaan aku dibilang ketus... pdhl aku ketusin dia (baca: sdr arief firhanusa) krn care about him....

hehehe.... tak urung terharu juga sih... kalo ucapan tengkyu mah pastilah dpt dr adikmu yg manis inih!
mbokya resensi blog aku diforward ke website penerbit mana gitu... hehehe

muach, muach!!!

Meita Win mengatakan...

@Enno,
hehehe...gak meluk tapi nyium? Sama ajah kaleeee...

Enno mengatakan...

mei, soal nyium itu aku diwakilin sm neneknya tetanggaku tau... hihihi

Anonim mengatakan...

Hahahaha .. adek-adekku emang lucu dan genit2

Anonim mengatakan...

saya tidak genit bang,
saya hanya lelaki yang kadang sentimentil.
kadang menangis jika membaca tulisan-tulisan yang mengharu biru.

saya cengeng? biarlah orang berkata apa.
bagaimana tidak, mendengar lirik lagu saja kadang terbit air mata saya.

Tulisan sampeyan ini bang, yang terdengar "memuji" membuat saya takut.
saya takut menjadi sombong bang. sebuah sifat yang saya hindari.

padahal patut abang ingat, saya belajar menulis itu dari sampeyan.
sampeyan ini yang membuat saya bisa menulis. rangakaian kata-kata itu tercipta secara tidak sengaja ada unsur keterlibatan sampeyan.

kalau saya berubah menjadi romantis? itu resiko yang harus saya terima karena dulu sempat mencecap ilmu dengan sampeyan.


*hehehe.. ngeles..
Matur nuwun mas, pujiannya. benar-benar membuat saya semakin "bodoh".

Arief Firhanusa mengatakan...

@blue
Ada saat dimana orang patut dan layak dipuji, meski Tukul Arwana bilang pujian adalah teror.

Akan halnya dirimu, saya melihatnya dari sisi energi. Kamu adalah striker yang tak kurang akal dalam menuang fenomena dan bikin gol. Kamu mencapai kemajuan yang luar biasa (dari sisi susastera) ketimbang ketika masih berkutat dengan Sofyan (staf artistik Radar Semarang) itu.

Mencernamu memang perlu beberapa kali kaji. Tetapi lambat laun kau akan ditemukan di sebuah sudut sepi dan sunyi. Di sana kamu meringkuk seperti bayi, dengan geliat-geliat tertentu yang melahirkan keingintahuan.

Tak mudah mengakui keterpengaruhan. Tetapi berulang kamu bilang, kamu terpengaruh oleh saya. Padahal enggak 100 persen begitu.

Apa yang kita baca, kita cermati, kita lahap sehari-hari, itulah pengaruh yang besar, sebagaimana saya pernah mengaku terpengaruh oleh Kurnia Effendi, Motinggo Busye, dan Arswendo Atmowiloto, kendatipun aku tak pernah merasa begitu lantaran Kurnia, Motinggo, maupun Mas Wendo juga nggak mau dibilang mewariskan kemampuan.

Yang jelas dan pasti, saya sangat bangga punya teman dan 'murid' seperti sampean. Horas!

Meita Win mengatakan...

all have said :)

we learned things from you,
thank you for all the things that you've done to us. unaware but it's real. its out there in our written thoughts :)

teach us more!