Search

21 Jun 2008

15 Menit yang Mahal


Tiba-tiba pria itu mengetuk kaca. Saya terkejut bukan kepalang mendapati seringai buruk dengan rongga-rongga gigi keropos. Kalau ini tengah malam, saya langsung ngacir. Siapa tahu ia hantu. Tapi lantaran pagi, dan sekeliling juga penuh orang, saya buka kaca.


“Mau menumpang, Mas. Boleh tidak?” Ujarnya, setengah merengek, di beberapa senti di sebelah saya.

“Sampai mana?” Kata saya setengah terpaksa. Bayangkan: “ditumpangi pria dekil dengan asal usul yang tidak jelas”. Bukan saya pelit, tapi semata saya memikirkan keselamatan. Siapa tahu ia pura-pura miskin. Atau, siapa menyangka ia gila.

“Kalau Mas lewat Citarum, saya turun di sebelah stadion, depan Rumah Sakit Panti Wilasa,” ucapnya pede. Seolah saya sudah memberinya ijin membuka pintu.

Saya menimbang-nimbang. Bila terlalu panjang berdebat, saya akan diklakson puluhan kendaraan di belakang saat nanti lampu menyala hijau. Namun jika saya ijinkan ia masuk kabin, berarti saya menghadapi risiko, umpama ternyata laki-laki ini buronan polisi. Akhirnya saya ambil keputusan mempersilakan ia naik, dengan membuang semua prasangka. Siapa tahu ia memang benar-benar butuh tumpangan.

Rasa senang mengalir di wajahnya ketika mobil bergerak. Dari sudut mata saya melihat ia berusaha mengajak saya berbincang. Tapi saya rem dulu keinginan bertanya-tanya. Lima menit kemudian, saya membuka suara. “Namanya siapa, Pak?”

“Agus, Mas, Agus Widiyantoro,” ujarnya setengak berteriak. Mungkin ia senang akhirnya saya mengajaknya bicara. Wah, nama yang keren. Tadinya saya mengira Busro, Kasdi, Darmin, atau Kampret.

Polos dan apa adanya. Itu kesan 10 menit setelah ia resmi menumpang saya. Mendadak saya menyukainya. “Bekerja atau mau apa di Citarum sana?”

“Bekerja, Mas.”

“Kerja apa?”

“Serabutan. Kadang menimba air, kadang mendorong mobil, memanggul beras, sering juga memijat atau mengelap kaca restoran,” tuturnya penuh semangat. Ada kebanggaan tersendiri, meski ia bekerja di sektor paling rendah. Ia tak sungkan mengatakan bahwa ia kacung.

“Sudah menikah? Berapa anaknya?”

“Belum, Mas, saya belum berani. Takutnya nanti pilihan saya tidak disetujui Ibu.”

Saya meliriknya. “Memang berapa umur Pak Agus sekarang?”

“Empat puluh dua.” Buset!

Lalu tanpa diminta ia menceritakan tentang simpanannya. Berupa uang, bukan gundik. Berapa? “Satu juta, Mas. Saya selipkan di sebuah bengkel yang sering saya bantu mencopoti ban kempes,” akunya. Entah benar entah dusta, saya tak memedulikannya.

Ia mengoceh tentang banyak hal. Suaranya khas pinggiran yang begitu terampil mengungkap pembunuhan di Semarang, perampokan toko emas yang kerugiannya Rp 25 miliar itu, tentang pemilihan Gubernur Jateng, soal korupsi, masalah banjir, dan seterusnya. Saya mengangguk-angguk saja, menikmati ucapan-ucapannya yang lucu.

Persis 15 menit dari mulai ia memasuki kabin mobil, Agus minta diturunkan. Di sebuah sudut Stadion Citarum, tempat ia menapaki hari-hari. Ia lambaikan tangan dengan senyum yang mengandung ungkapan terima kasih yang murni.

Selepas dia pergi, tiba-tiba saya merasa kehilangan. Jujur saya iri padanya. Hidup yang begitu ringan dan sederhana. Hidup yang asyik dalam sebuah dunia kecil yang ia nikmati tanpa mendung dan berhitung …

12 komentar:

Anonim mengatakan...

alhamdulillah msh ada org ky mas arief

Anonim mengatakan...

gracias mas. anda termasuk yg langka di negeri yg penuh kesombongan ini.

Anonim mengatakan...

gw ngakak baca nama-nama busro, kamdi dan kampret ..

Anonim mengatakan...

giliran org laen numpang di okein. dulu aku mau nebeng aja keberatan, alesannya mobil takut kotor. tp waktu itu aku emang blom mandi sih,, bhuwhahakak

Anonim mengatakan...

itu kapan dik? tumben-tumbennya lewat citarum, biasanya kan pedurungan bablas simpang 5?

kapan-kapan mampir rumah ya, aku punya duren di kulkas. mas gepeng kangen dirimu

Arief Firhanusa mengatakan...

@rahma
Iya Mbak, maaf udah rada lama nggak sua Mas Gepeng. Yesa sehat, kan?

O iya, waktu kemarin itu pengin saja lewat arteri Citarum, soalnya Pedurungan macet total kalau pagi. Durennya bikin ngiler aja.

Meita Win mengatakan...

itu namanya hidup penuh syukur, mas :)
seperti hari kelahiran yang sebentar lagi datang, syukurilah semua hal yang baik dan buruk dalam hidupmu,
maka kamu PASTI akan bisa tersenyum dengan riang sama seperti Mas Agus itu...

tidak pernah tau juga kan ada orang yang pernah berkata tentang hal yang mas tulis terhadap hidup mas yang sekarang? :)

bersyukurlah...

Anonim mengatakan...

satu hal lagi yang membuat saya makin cinta sampeyan mas..

Anonim mengatakan...

lha kok namaku berubah jadi liliana?

Anonim mengatakan...

liliana, blue, firhanusa?? aku curiga......kalian????

Anonim mengatakan...

nice story bos...
gak selamanya kaum marginal itu dikategorikan sebagai seonggok sampah...

Anonim mengatakan...

my mom always said that it's all about sawang sinawang, about ora ngethok githok e dewe, about rumput tetangga lebih hijau dibanding rumput halaman sendiri.

thanks for being my Narnia. I found Aslan in your pages.