Search

3 Mar 2008

KISAH TENTANG KESABARAN


PEKAN lalu saya menerima email dari Panji. Dia ini anak SMA di Magelang yang entah takdir apa yang mengaturnya, dalam rentang beberapa bulan terakhir sering berkirim surat. Ia mengaku pembaca setia Bolamania, tempat saya bekerja, dan mengaku pula cocok berdiskusi dengan saya.


Dalam suratnya Panji mengatakan, ia sangat marah pada sang ayah. “Bagaimana enggak marah, Mas, Bapak menjanjikan saya sepeda motor. Ia telah menetapkan tanggalnya, kapan kami ke dealer untuk mengambil Jupiter MX. Saya girang bukan kepalang. Tak tahunya, pagi pada hari H, mendadak Bapak mengabarkan bahwa pembelian motor ditunda sebulan lagi. Padahal saya sudah berangan-angan naik motor itu melintasi gerbang sekolah menuju parkir, di bawah tatapan kagum teman-teman,” ujarnya dalam surat.


Saya tercenung. Membaca berulang-ulang surat Panji, menaksir-naksir kadar kekecewaannya, dan perlahan saya mengembara ke belasan tahun lalu tatkala saya SMA.


Saya memahami rasa gonduk dalam dadanya. Itu mengapa saya tak gegabah membalasnya dengan kalimat yang justru tak memotivasi. Saya bilang begini dalam surat yang saya kirimkan: “Mungkin kamu harus sabar, Nji, karena betapapun jengkelnya kamu, tentu Bapak punya alasan menunda pembelian Jupiter.”


Apa jawabnya keesokan hari? “Sabar gimana maksud Mas? Saya sudah cukup sabar karena selama bertahun-tahun naik turun angkot. Saya merasa dikerjai oleh Bapak. Apa enggak ada rasa kasihan sih melihat saya berkeringat? Lagian di sekolah saya punya prestasi, dan motor itu akan saya gunakan untuk kepentingan sekolah, bukan untuk pamer belaka.”


Memahami anak seusia Panji itu bukan mudah. Saya sengaja tak membalasnya lagi, karena menurut saya cukup bagi saya mengatakan “sabar”, sebab ayahnya tentu bukan bajingan yang seenak perut memain-mainkan perasaan anaknya. Pastilah karena kebutuhan mendadak, sehingga ia tak membawa uang cukup untuk pembelian motor dalam waktu dekat.


Dua hari kemudian, Panji mengirim surat lagi. Nadanya berbeda. “Mas, pagi tadi saya menemukan sesuatu yang membuat saya merasa sangat berdosa karena menekan Bapak agar segera membelikan motor. Bapak sakit keras. Baru saya tahu bahwa ia sakit gula, sehingga perlu baginya untuk berobat. Berobatnya menggunakan duit yang harusnya untuk membelikan saya motor. Sejauh ini Ibu juga baru tahu kalau Bapak sakit gula. Saya menangis di bibir pembaringan tatkala Bapak berusaha untuk tersenyum. Ia menenteramkan hati saya dengan mengatakan bahwa pembelian motor tetap sesuai jadwal, yakni akhir Maret, padahal sebenarnya ia amat memerlukan uang untuk pengobatan berikutnya ... “


Entah mengapa, saya sangat ingin memeluk ayah Panji, kendatipun saya sama sekali tak mengenalnya ...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Sabar=ilmu warisan para nabi...ilmu yang cukup susah juga mas...Bapak saya juga selalu ngomong itu dengan sangat mudahnya...hehehe, masih harus banyak belajar neh mas si pipin tea...tengkyu mas...