Search

6 Mar 2008

TUHAN TERLALU BAIK


TUHAN mungkin terlalu baik pada saya.

Tahun 1992, saya mengemis pekerjaan pada Arswendo Atmowiloto. Di ruang Pemred Majalah Hai, Arswendo menerima saya dengan wajah tanpa ekspresi, dan bahkan nyaris tanpa mengalihkan tatapannya ke dua komputer untuk sekadar menyimak sekilas wajah saya yang memelas. Mungkin ia sedang merampungkan novel Senopati Pamungkas, atau cerpen, atau sekadar mengetik surat untuk pacar.

Ia sebenarnya cukup ‘bermurah hati’. Saya disuruh menyerahkan berkas lamaran ke seorang perempuan (lupa namanya, tapi besar kemungkinan nama yang ia sebut adalah sekretarisnya), tapi dengan embel-embel kalimat yang saat itu menyinggung perasaan saya: “Kamu kuat angkat-angkat, kan? Pekerjaan kamu nanti di gudang.”

Saya berniat protes. Tapi ada rasa takut. Arswendo pada saat itu sangat terkenal. Saya membaca buku-bukunya, termasuk Mengarang Itu Gampang, sejak SMA. Jujur, bisa bertemu Arswendo merupakan berkah tersendiri. Sayangnya saya masih cukup udik untuk menerima kenyataan bahwa menjadi wartawan – seperti yang saya inginkan sebelum menemui Arswendo itu – butuh ijasah dari kampus, sedangkan waktu itu kuliah pun saya baru semester 4. Saya pun pulang ke Semarang.

Empat tahun kemudian, saya diterima BOLA, sebuah perusahaan yang seatap dengan Hai, di Kelompok Gramedia. Saya akhirnya begitu akrab dengan Palmerah, tempat kerajaan Kompas berdiri. Sebuah situasi yang berbalikan 180 derajat dari mimpi empat tahun sebelumnya. Tuhan memang pemurah!

Tuhan juga turut campur tangan terhadap nasib saya hingga detik saya menulis ini. Banyak hal saya dapatkan, begitu berlimpah kesempatan, sungguh bejibun karunia saya cecap.

Ia juga menunjukkan hal-hal gaib dan ajaib. Beberapa kali di depan saya ada kecelakaan lalu lintas – bahkan sebagian merenggut nyawa --, seolah Ia ingin mengatakan bahwa batas antara hidup dan mati itu tipis. Seakan Ia mau berkata bahwa saya dipilih untuk menjadi saksi atas kebesaran-Nya.

Tahun 1987, nyawa saya hampir melayang. Sebuah bus menyeret saya sepanjang 40 meter, dengan posisi tubuh saya dihimpit sepeda motor. Motor itu tersangkut di kolong bus tersebut, dan sopirnya tak bisa mengerem lantaran remnya blong. Saat akhirnya bus itu berhenti, salah satu bannya berada di beberapa sentimeter menjelang batok kepala saya. Saya tidak mati!

Terima kasih, Tuhan, matur nuwun. Saya berjanji lebih dekat kepada-Mu.

Tidak ada komentar: