IA mengetuk kaca. Tiga mobil tak menggubrisnya. Lalu tibalah ia di mobil saya. Tangannya terayun dengan lunglai, mencerminkan betapa frustrasinya ia. Saya membuka jendela sebelum jemarinya menyentuh kaca.
"Mau kemana, dik?" Tanya saya beradu cepat dengan lampu yang beringsut menuju hijau.
"Bangkong, Pak. Saya boleh menumpang?" Ujarnya nelangsa, bersiap menepi jika saya menggelengkan kepala atau menyuruhnya minggir karena nyala merah trafficlight berangsur hilang.
Saya mengangguk, dan menyuruhnya bergegas. Ada pijar mata yang melintas kala ia melempar tubuhnya ke jok. Bocah ini seperti memenangi lotere setelah -- mungkin -- sekian orang di lampu merah Kaliwiru menganggapnya udik dan tak perlu ditolong.
Saat kami telah melesat, saya melirik celana panjang warna biru yang ia kenakan. Lusuh dan bopeng. Begitu pula baju putihnya yang berbaur dengan debu dan lumpur. Pucat, sepasi wajahnya.
"Dari mana tadi?" Tanya saya setelah ia menyebut namanya, Tegar Wicaksono.
"Dari rumah Eyang."
"Untuk apa?"
"Minta uang. Saya disuruh pak guru meminta uang pada Eyang karena Bapak tak sanggup membayar tunggakan SPP selama tiga bulan. Tapi tadi tak bertemu Eyang," ujarnya dengan Bahasa Indonesia bercampur Jawa, dalam kelu yang tak lagi tersembunyi.
Ayahnya, begitu Tegar bercerita, adalah kernet angkot. "Namanya Joko Anjaryani," ujarnya. Karena penghasilan Pak Joko dari gelantungan di omprengan tak menentu, jadilah iuran sekolah Tegar tak terurus. Lebih-lebih Pak Joko memiliki empat anak lain, seorang kakak perempuan yang kelas 3 SMP, dan tiga adik-adik Tegar yang masih balita.
SPP perbulan di SMP 9 Semarang, tempat Tegar bersekolah, Rp 25 ribu. Jika tiga bulan menunggak, total Rp 75 ribu. Itu masih ditambah angsuran BP3 sebanyak Rp 40 ribu yang juga belum terpenuhi. Seluruh tanggungan Tegar yang menggantung menjadi Rp 115 ribu.
Menunggak Rp 115 ribu mengakibatkan Tegar tak diperbolehkan mengikuti pelajaran, termasuk ulangan. Bayangkan jika seminggu ia tak diperkenankan menginjak lantai kelas, berapa jauh ketertinggalannya.
"Saya malu sama teman-teman. Saya takut nggak naik kelas. Besok saya akan menemui Eyang lagi, minta sedikit uang agar saya bisa masuk sekolah karena tadi pak guru sudah memberi keringanan," katanya. "Eyang" yang ia maksud ialah neneknya. Sang nenek berjualan nasi bungkus di pompa bensin Pudakpayung, Ungaran.
"Kalau besok tak bertemu Eyang, gimana dong?" Saya bertanya. Pertanyaan yang teramat bodoh karena begitu Tegar tak bertemu neneknya, praktis ia belum boleh mengikuti pelajaran. Ia hanya menggelengkan kepala, pertanda tak sanggup harus menjawab bagaimana. Hati saya teriris. Saya menatap kosong jejalanan. Tak mampu berkata apa-apa, karena ucapan saya, semanis apapun, hanya akan menoreh kesedihan Tegar makin dalam.
Tegar saya turunkan di lampu merah Bangkong, seraya saya sodori 10 ribu rupiah untuk naik angkot, agar ia tak berjalan sepanjang 1 kilometer menuju rumah gurunya untuk melaporkan bahwa hari itu ia tak berhasil menemui neneknya, dan sekian kilometer lagi berjalan menuju rumahnya di belakang Swalayan ADA Jalan Fatmawati.
Berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih, tanpa ia sadari bahwa saya berjanji dalam hati besok akan datang ke rumahnya, memberinya sekadar uluran tangan supaya ia bisa kembali diterima sekolahnya.
Di perjalanan menuju Demak -- ke rumah Indah, adik kandung saya, untuk suatu keperluan -- diam-diam saya sibuk menyeka airmata ...
"Mau kemana, dik?" Tanya saya beradu cepat dengan lampu yang beringsut menuju hijau.
"Bangkong, Pak. Saya boleh menumpang?" Ujarnya nelangsa, bersiap menepi jika saya menggelengkan kepala atau menyuruhnya minggir karena nyala merah trafficlight berangsur hilang.
Saya mengangguk, dan menyuruhnya bergegas. Ada pijar mata yang melintas kala ia melempar tubuhnya ke jok. Bocah ini seperti memenangi lotere setelah -- mungkin -- sekian orang di lampu merah Kaliwiru menganggapnya udik dan tak perlu ditolong.
Saat kami telah melesat, saya melirik celana panjang warna biru yang ia kenakan. Lusuh dan bopeng. Begitu pula baju putihnya yang berbaur dengan debu dan lumpur. Pucat, sepasi wajahnya.
"Dari mana tadi?" Tanya saya setelah ia menyebut namanya, Tegar Wicaksono.
"Dari rumah Eyang."
"Untuk apa?"
"Minta uang. Saya disuruh pak guru meminta uang pada Eyang karena Bapak tak sanggup membayar tunggakan SPP selama tiga bulan. Tapi tadi tak bertemu Eyang," ujarnya dengan Bahasa Indonesia bercampur Jawa, dalam kelu yang tak lagi tersembunyi.
Ayahnya, begitu Tegar bercerita, adalah kernet angkot. "Namanya Joko Anjaryani," ujarnya. Karena penghasilan Pak Joko dari gelantungan di omprengan tak menentu, jadilah iuran sekolah Tegar tak terurus. Lebih-lebih Pak Joko memiliki empat anak lain, seorang kakak perempuan yang kelas 3 SMP, dan tiga adik-adik Tegar yang masih balita.
SPP perbulan di SMP 9 Semarang, tempat Tegar bersekolah, Rp 25 ribu. Jika tiga bulan menunggak, total Rp 75 ribu. Itu masih ditambah angsuran BP3 sebanyak Rp 40 ribu yang juga belum terpenuhi. Seluruh tanggungan Tegar yang menggantung menjadi Rp 115 ribu.
Menunggak Rp 115 ribu mengakibatkan Tegar tak diperbolehkan mengikuti pelajaran, termasuk ulangan. Bayangkan jika seminggu ia tak diperkenankan menginjak lantai kelas, berapa jauh ketertinggalannya.
"Saya malu sama teman-teman. Saya takut nggak naik kelas. Besok saya akan menemui Eyang lagi, minta sedikit uang agar saya bisa masuk sekolah karena tadi pak guru sudah memberi keringanan," katanya. "Eyang" yang ia maksud ialah neneknya. Sang nenek berjualan nasi bungkus di pompa bensin Pudakpayung, Ungaran.
"Kalau besok tak bertemu Eyang, gimana dong?" Saya bertanya. Pertanyaan yang teramat bodoh karena begitu Tegar tak bertemu neneknya, praktis ia belum boleh mengikuti pelajaran. Ia hanya menggelengkan kepala, pertanda tak sanggup harus menjawab bagaimana. Hati saya teriris. Saya menatap kosong jejalanan. Tak mampu berkata apa-apa, karena ucapan saya, semanis apapun, hanya akan menoreh kesedihan Tegar makin dalam.
Tegar saya turunkan di lampu merah Bangkong, seraya saya sodori 10 ribu rupiah untuk naik angkot, agar ia tak berjalan sepanjang 1 kilometer menuju rumah gurunya untuk melaporkan bahwa hari itu ia tak berhasil menemui neneknya, dan sekian kilometer lagi berjalan menuju rumahnya di belakang Swalayan ADA Jalan Fatmawati.
Berulang-ulang ia mengucapkan terima kasih, tanpa ia sadari bahwa saya berjanji dalam hati besok akan datang ke rumahnya, memberinya sekadar uluran tangan supaya ia bisa kembali diterima sekolahnya.
Di perjalanan menuju Demak -- ke rumah Indah, adik kandung saya, untuk suatu keperluan -- diam-diam saya sibuk menyeka airmata ...
14 komentar:
miris saya membaca tulisan mas arif. masih banyak anak diluar sana yang tak seberuntung anak saya. kadang saya malu karena cuma bisa bilang kasihan tapi tak bisa berbuat apa-apa. tapi mustinya orang-orang di gedong sana lebih malu lagi, karena mereka hanya bisa berjanji "sekolah gratis" tapi janjinya berlalu bersama bau kentutnya. Aaaargh....
Sepertinya bisa merasakan gimana kecewanya hati Tegar, ketika berharap bisa mendapat wang yang tak seberapa banyaknya tapi malah pulang dengan tangan kosong. Sungguh, hati saya menangis. Doa saya slalu buat Tegar, semoga dia tegar dan kuat, seperti namanya...
terus terang saya terharu membaca ini. sebuah pengalaman batin yang menyentuh mas. Tak ada yg bisa saya sumbangkan kecuali doa-doa supaya anak2 seperti Tegar ini akan terus tegar dan jadi kusuma bangsa.
Nice post, bos. Salam kenal.
Angkat topi untuk org2 peduli. di sekitar saya bnyak org tdk mampu, bahkan pada putus sekolah. tp negara sepertinya tdk konsisten mengatasi masalah ini. pemilu dulu banyak yg janji-janji, tp sy yakin siapapun pemimpin negeri ini tak bs mengentaskan mereka dari kemiskinan. yang kaya pastilah semakin kaya!
airmata dan keprihatinan nggak akan membawa Tegar dan kawan2 senasib kemanapun. mereka akan selalu berada pada siklus yg sama tiap bulan.
cek disini: http://bloggersforbangsari.blogspot.com/
itu program 2 taun lalu. sangat lokal, tapi sampe sekarang masih jalan.
ada ide untuk bikin yang serupa buat bantu mereka? saya tunggu. saya siap bantu fundraising di jakarta.
Emang bener, airmata td cukup mengentaskan mereka dari kemiskinan. Kudu ada tindakan nyata dan menyentuh!
Top markotop bang! Kami sangat terharu ngebacanya. Kalau saja kami diberi uang yang lebih kayak 'bapak-bapak' itu, sudah pasti kami ulurkan tangan utk Tegar dan rekan-rekan. Doakan program-program kami menyentuh mereka.
Sisi gelap republik ini adalah ketertinggalan dan kemisikinan. Beragam seminar digelar, berbagai diskusi dilakukan. Tapi, semua sebatas wacana. Semua tak lebih omong kosong belaka!
Ya Allah, trus anak itu mesti laporan ke gurunya segala? udah maem blom dia mas? Ih, hatiku sakit mendengarnya, sakit karena keadaan negeri ini kok ya ngga maju-maju.
aduuuh
apalah arti uang segitu untuk orang yang biasa makan siang di resto jakarta...
miris sekali
Saya paling tidak suka dengar orang berhenti sekolah karena tidak ada dana. Bagaimana kabarnya dia mas?
Jadi ketemu dia?
Berbagi dengan:
@Mbak Ayik Sekar Lawu
"Sekolah gratis" ternyata pepesan kosong, Mbak.
@Mbak Soeryani Atmadja
Kalau saja saya nggak terburu-buru karena acara keluarga memang sangat mendesak, kejadiannya mungkin lain, Mbak.
@Hasta
Amin, Mas.
@TGH
Salam kenal juga, Mas.
@Findmysthar
Kita masih boleh terus berharap kok, biarpun menunggu sesuatu yang tak pasti itu menyedihkan.
@Anonim
Salut!
@Mira
Yup, harus ada tindakan nyata!
@SNEX
Ayo kawan-kawan SNEX berbuast sesuatu yuk!
@Kata Hati
Iya, cuma wacana dan omong kosong. Tindakan nyata lebih dinanti ketimbang seminar dan diskusi!
@Bu Tjokro
Si Tegar belum makan, bahkan sarapan saja kesulitan.
@Mbak Imelda
Paginya saya memenuhi janji saya, Mbak, saya datangi sekolahnya, dan dengan saksi beberapa guru saya menyisakan sedikit uang untuk kelangsungan sekolah si Tegar, di hadapan ibunya (saat itu Pak Joko, ayah Tegar, sedang bekerja).
Bedebah kau bang!!
aku menitikkan air mata!!
mudah2an tegar bisa terus sekolah. gak tega, dia seumuran anak saya :(
tolongin dia ya, mas?
Posting Komentar