IA menyentuh bahu saya. Saya mendongak, melihat siapa yang mengayunkan lengan tatkala mata saya tengah bersetubuh dengan layar komputer. Blue! Ya, dialah yang saya tunggu!
Sebelumnya Pito mengirim pesan pendek bahwa Sofi (Pito memanggil begitu, kependekan dari Sofian, nama asli Blue) datang ke Semarang.
Saya senang bukan kepalang. Bisa saja ia segera saya peluk, kemudian cipika-cipiki untuk melukiskan betapa bahagia rasanya. Betapa makhluk ini menyita sebagian besar rindu saya pada sosok adik. Tetapi saya mencoba menahannya. Saya akan menuang seluruh kekangenan bukan setipis pelukan tiba-tiba.
Lalu kami duduk semeja. "Sehat saja kan, Bang?" Loncatan kalimat pertama yang ia kucurkan. Dan menurut saya ini pertanyaan ajaib. Mengapa bukan: "Apa kabar, Bang?" Atau, "Wah, kok bertambah hitam sekarang?"
Pertanyaan itulah yang justru menjadi jembatan. Ia seolah cuma sekian hari tak bertemu saya, atau ia mencoba merasuk langsung ke sanubari saya guna mengabarkan bahwa ia juga sangat rindu, lewat 'pertanyaan cerdas' itu.
Ia datang ke Semarang untuk meliput kampanye Partai Hanura, dengan Wiranto yang cuap-cuap di Simpanglima. Bukan bendera Jawa Pos lagi ia pikul, melainkan Harian Seputar Indonesia, koran yang dipioniri RCTI.
Jakarta telah memermak sikapnya menjadi lebih matang. Gerak-geriknya sistematis. Tak seperti dulu yang imut dan pemalu dengan duduk di pojok secara diam-diam, seperti perawan menghadapi lamaran.
Cara berbusananya juga lebih elegan. Maklum, kini sehari-hari ia ngepos di Depdagri. Dulu, saat kami seatap di Jawa Pos, ia suka berbaju katun aspal yang murah. Kini, ia memakai celana dan jaket jins yang mencitrakan dia macho. Dua ponsel mahal mengikutinya kemana ia bergerak.
Kami memanfaatkan waktu yang pendek sebelum ia ngacir ke Simpanglima untuk merekam pernyataan politik Wiranto, dengan gurauan khas. Mengalir lancar nyaris tak terbendung. Ia masih suka nyengir lebar tatkala mendengar joke-joke saya. Saya pun ngakak tiap kali ia mengerling perempuan lewat.
Mata Blue memang nakal. Tetapi ia adalah pria 29 yang saya rasa siap untuk menjemput pelaminan. "Dalam hitungan hari, Bang. Nanti datang ya," rengeknya perihal rencananya menggelar resepsi, di Jakarta.
Saya berulang mengangguk, meyakinkannya bahwa saya ingin datang. Saya juga menyuntikkan sedikit wejangan untuk menguatkan mentalnya mengarungi samudera rumahtangga, bahwa menjadi suami bukan seperti diangkat menjadi Ketua RT, melainkan berurusan dengan hiruk pikuk keseharian lewat mata yang selalu terjaga dan hati yang terpelihara.
Menjadi suami tak boleh lagi mengerling betis perempuan, menyengsarakan anak-anak, dan memasung sanubari dengan kepala penuh bara tatkala kesulitan membelit ...
**
Proficiat, Blue, asahlah pedang untuk pertempuran sengit melawan napsu!
Sebelumnya Pito mengirim pesan pendek bahwa Sofi (Pito memanggil begitu, kependekan dari Sofian, nama asli Blue) datang ke Semarang.
Saya senang bukan kepalang. Bisa saja ia segera saya peluk, kemudian cipika-cipiki untuk melukiskan betapa bahagia rasanya. Betapa makhluk ini menyita sebagian besar rindu saya pada sosok adik. Tetapi saya mencoba menahannya. Saya akan menuang seluruh kekangenan bukan setipis pelukan tiba-tiba.
Lalu kami duduk semeja. "Sehat saja kan, Bang?" Loncatan kalimat pertama yang ia kucurkan. Dan menurut saya ini pertanyaan ajaib. Mengapa bukan: "Apa kabar, Bang?" Atau, "Wah, kok bertambah hitam sekarang?"
Pertanyaan itulah yang justru menjadi jembatan. Ia seolah cuma sekian hari tak bertemu saya, atau ia mencoba merasuk langsung ke sanubari saya guna mengabarkan bahwa ia juga sangat rindu, lewat 'pertanyaan cerdas' itu.
Ia datang ke Semarang untuk meliput kampanye Partai Hanura, dengan Wiranto yang cuap-cuap di Simpanglima. Bukan bendera Jawa Pos lagi ia pikul, melainkan Harian Seputar Indonesia, koran yang dipioniri RCTI.
Jakarta telah memermak sikapnya menjadi lebih matang. Gerak-geriknya sistematis. Tak seperti dulu yang imut dan pemalu dengan duduk di pojok secara diam-diam, seperti perawan menghadapi lamaran.
Cara berbusananya juga lebih elegan. Maklum, kini sehari-hari ia ngepos di Depdagri. Dulu, saat kami seatap di Jawa Pos, ia suka berbaju katun aspal yang murah. Kini, ia memakai celana dan jaket jins yang mencitrakan dia macho. Dua ponsel mahal mengikutinya kemana ia bergerak.
Kami memanfaatkan waktu yang pendek sebelum ia ngacir ke Simpanglima untuk merekam pernyataan politik Wiranto, dengan gurauan khas. Mengalir lancar nyaris tak terbendung. Ia masih suka nyengir lebar tatkala mendengar joke-joke saya. Saya pun ngakak tiap kali ia mengerling perempuan lewat.
Mata Blue memang nakal. Tetapi ia adalah pria 29 yang saya rasa siap untuk menjemput pelaminan. "Dalam hitungan hari, Bang. Nanti datang ya," rengeknya perihal rencananya menggelar resepsi, di Jakarta.
Saya berulang mengangguk, meyakinkannya bahwa saya ingin datang. Saya juga menyuntikkan sedikit wejangan untuk menguatkan mentalnya mengarungi samudera rumahtangga, bahwa menjadi suami bukan seperti diangkat menjadi Ketua RT, melainkan berurusan dengan hiruk pikuk keseharian lewat mata yang selalu terjaga dan hati yang terpelihara.
Menjadi suami tak boleh lagi mengerling betis perempuan, menyengsarakan anak-anak, dan memasung sanubari dengan kepala penuh bara tatkala kesulitan membelit ...
**
Proficiat, Blue, asahlah pedang untuk pertempuran sengit melawan napsu!
7 komentar:
Selamat menjadi suami ya untuk Blue...
njrit!!! 29 dia?! buset dah! semalem tak jitak2, tak pocel2, tak slenthiki. kupikir dia seumurankuuuuuuuu!!! tapi emang, sih. ampe jam 5 pagi nongkrong di pelataran Circle K yg udah sepi gitu juga matanya masih nakal. default keknya.
tuh, fi. asah pedang, fi. jangan asah pel... xixi.. ga jadi ngomong ah!
*ngaleos*
padahal sebetulnya pas dia nanya "sehat bang?" itu, pertanyaan lengkapnya adalah "sehat bang? kwe kok soyo ireng to saiki?"
Iya bang. Sungguh, saya sedang menyiapkan mental untuk tidak sembarangan menggunakan pedang. (loh!!)
Pun sebenarnya, saya kemarin itu pengen berlama-lama. Tak cukup rasanya menuang kekangenan hanya sejam bersama sampeyan.
kali ada waktu lebih senggang, saya akan datang, bang!
*makasih bang, mbak Soeryani. mohon restu dan bimbingan untuk anak muda macam saya ini.
menjadi suami bukan seperti diangkat menjadi Ketua RT, melainkan berurusan dengan hiruk pikuk keseharian lewat mata yang selalu terjaga dan hati yang terpelihara.
wow begini toh suami.... apalagi wejangan sesudahnya, pake kata betis lagi hehehe
selamat menempuh hidup baru untuk yang akan menikah
EM
(weks verifikasi kataku kok mallas ya?)
PERNYATAAN 1 :
"menjadi suami bukan seperti diangkat menjadi Ketua RT, melainkan berurusan dengan hiruk pikuk keseharian lewat mata yang selalu terjaga dan hati yang terpelihara."
untuk pernyataan itu saya setuju.
PERNYATAAN 2:
"Menjadi suami tak boleh menyengsarakan anak-anak, dan memasung sanubari dengan kepala penuh bara tatkala kesulitan membelit ..."
untuk yang ini juga setuju sekali !
PERNYATAAN 3:
"Menjadi suami tak boleh lagi mengerling betis perempuan"
untuk yang ini, saya ragu2... :P
huehehe..koment utk komen mas goe itu loh, khususnya pernyataan ketiga..huahahaha...
....
wesss, wejangan Suhu Arief ini nggak maen2 loh..xixi...
apalagi di bagian akhir..
berattt...:p
Posting Komentar