Tahukah kau, sering kusimak dengan saksama derit napasmu yang teratur tatkala kau berenang dalam mimpi?
KUTELITI sulur-sulur rambutmu yang pendek dan legam. Kusibak dengan hati-hati supaya tak menutupi dahi. Lalu kubaca aksara yang tertera disana. Aksara-aksara yang menggumamkan kasih dan sayang kepada suami.
"Boleh kusemir rambutku?" Tanyamu suatu sore.
"Boleh. Hitam, perak, biru, atau ungu sesukamu. Tapi aku tak mau bepergian bersamamu setelah itu," tukasku.
Kau tersenyum. Menyambangi pipiku dengan sebuah kecupan. Kecupan yang kira-kira mengatakan: "Baiklah, kekasih, aku tadi hanya pura-pura. Aku tahu kau tak suka aku menyemir rambut, karena kau menyukaiku apa adanya seperti ketika kita pertama bertemu."
Kau menggeliat, memunggungiku. Gerakan halus yang membuatku tergila-gila. Saat lain, aku akan memelukmu, menghangati punggungmu. Tapi kali ini aku akan mengeja segenap pori-porimu.
Pori-pori sehalus sutera dimana aku melabuhkan lelah setelah mencari nafkah. Kau ajari bagaimana aku bercocok tanam dalam pori-pori ini. Mengajariku bagaimana membilas senyum manis di atas bantal menjadi gelinjang liar dan tak beraturan (pada saat lain, barangkali aku akan menyusup dalam pori-pori itu, lalu kita bersenggama).
Terbuat dari apakah kau, Cinta, sehingga keringatmu pun tak bau? Terbikin dari apakah kau, Sayangku, sehingga jemarimu itu menancap dengan nikmat tatkala kau memijat?
Banyak hal telah aku lakukan, dan ingin rasanya mengajakmu berbincang. Ingin rasanya mengutarakan tentang sisi hitam dalam diriku yang membuatmu cemburu. Ingin rasanya kuakui bahwa terkadang aku senang perempuan lain, senang wanita-wanita yang bukan siapa-siapa.
"Penyuka wanita," tuturmu suatu ketika, "Tak berarti bahwa kau melupakan hakekat perkawinan. Aku tahu kau mudah kesepian. Tapi pulanglah setiap hatimu mulai sunyi karena aku akan mengajakmu berlarian di atas awan bersama bintang-bintang."
Ah, beruntungnya aku mendapatimu dengan hati yang lapang, ketika aku sebenarnya bukan pria sempurna seperti pernah kau angankan. Kulitku yang hitam kau bilang pualam. Rambutku yang buruk rupa kau bilang mahkota.
Masa silamku kelam, bising dan gersang. Tapi kau mengutarakan hal yang tak terduga: "Siapapun punya masa kelam. Siapapun pernah abu-abu. Tapi aku tak memedulikannya karena kau bukan bajingan."
Tahukah kau, sayangku, aku menitikkan airmata. Mengusapnya diam-diam seraya membungkus cinta ini di segenap sudut rumah.
Istriku, ijinkan aku mencintaimu setiap waktu. Maafkan kesalahanku yang belum mampu membangun perahu ...
KUTELITI sulur-sulur rambutmu yang pendek dan legam. Kusibak dengan hati-hati supaya tak menutupi dahi. Lalu kubaca aksara yang tertera disana. Aksara-aksara yang menggumamkan kasih dan sayang kepada suami.
"Boleh kusemir rambutku?" Tanyamu suatu sore.
"Boleh. Hitam, perak, biru, atau ungu sesukamu. Tapi aku tak mau bepergian bersamamu setelah itu," tukasku.
Kau tersenyum. Menyambangi pipiku dengan sebuah kecupan. Kecupan yang kira-kira mengatakan: "Baiklah, kekasih, aku tadi hanya pura-pura. Aku tahu kau tak suka aku menyemir rambut, karena kau menyukaiku apa adanya seperti ketika kita pertama bertemu."
Kau menggeliat, memunggungiku. Gerakan halus yang membuatku tergila-gila. Saat lain, aku akan memelukmu, menghangati punggungmu. Tapi kali ini aku akan mengeja segenap pori-porimu.
Pori-pori sehalus sutera dimana aku melabuhkan lelah setelah mencari nafkah. Kau ajari bagaimana aku bercocok tanam dalam pori-pori ini. Mengajariku bagaimana membilas senyum manis di atas bantal menjadi gelinjang liar dan tak beraturan (pada saat lain, barangkali aku akan menyusup dalam pori-pori itu, lalu kita bersenggama).
Terbuat dari apakah kau, Cinta, sehingga keringatmu pun tak bau? Terbikin dari apakah kau, Sayangku, sehingga jemarimu itu menancap dengan nikmat tatkala kau memijat?
Banyak hal telah aku lakukan, dan ingin rasanya mengajakmu berbincang. Ingin rasanya mengutarakan tentang sisi hitam dalam diriku yang membuatmu cemburu. Ingin rasanya kuakui bahwa terkadang aku senang perempuan lain, senang wanita-wanita yang bukan siapa-siapa.
"Penyuka wanita," tuturmu suatu ketika, "Tak berarti bahwa kau melupakan hakekat perkawinan. Aku tahu kau mudah kesepian. Tapi pulanglah setiap hatimu mulai sunyi karena aku akan mengajakmu berlarian di atas awan bersama bintang-bintang."
Ah, beruntungnya aku mendapatimu dengan hati yang lapang, ketika aku sebenarnya bukan pria sempurna seperti pernah kau angankan. Kulitku yang hitam kau bilang pualam. Rambutku yang buruk rupa kau bilang mahkota.
Masa silamku kelam, bising dan gersang. Tapi kau mengutarakan hal yang tak terduga: "Siapapun punya masa kelam. Siapapun pernah abu-abu. Tapi aku tak memedulikannya karena kau bukan bajingan."
Tahukah kau, sayangku, aku menitikkan airmata. Mengusapnya diam-diam seraya membungkus cinta ini di segenap sudut rumah.
Istriku, ijinkan aku mencintaimu setiap waktu. Maafkan kesalahanku yang belum mampu membangun perahu ...
21 komentar:
Itukah kata hati seorang Mas arif kepada istri tercinta ?
ahhhh... aku rindu tulisan macam ini...
Hmmm..... saya sangat sangat sangat suka sisi yg ini (^_^)
hanya satu kata : 'withih...'
*angkat jempol sebanyak2nya :) *
Sangat indah dan romantis..semoga rasa itu tak kan berubah selamanya.. Very Nice..ini ciri khas Cerpenis...Salam
uh salut hahaha sebegitu dalam rasa cinta itu atau sebegitu perih penyesalan itu ahhahahahaha
salam hangat untuk keluarga
you are truly blessed. she is totally cursed.
huahahahaha!!!
wedding anniversary?
wouw....
Manis banget mas...namun disaat bersamaan tetap nyata dan jujur...
Love it..looovveeeee itttttt!
Psssttt..SAlam kenal ya mas, aku temannya Lala ;) dan juga ngaku ngaku adek cyber bang Goen...
Itu sebenarnya aku duluan!!!
*loh loh kok marah marah di blog orang :P*
Misi massss....hehehe..aku boleh kan sering sering mampir :)
thanks beib.....
@Mbak Ayik
Ia, Mbak.
@Blue
Agustus ini kau bakal melakukan hal yang sama, brother.
@G
Kau spirit untuk urusan beginian, sist.
@Mas Goe
Thanks Mas, berkat Anda kok.
@Tyas
I hope so, sister.
@Mas Tok Genthokelir
Kita pernah mengobrolkan penyesalan itu, Mas. Salam hangat untuk orang rumah.
@Pito The Bitch
Wedding Anniversary-nya masih lama, tapi aromanya mulai berhembus hari ini.
@Mbak Yessy
Aha, sudah lama saya pengin disambangi. Nanti kita bakal terus bertali silaturahmi. Jangan cemas.
@Anonim
Love U too, beib, you're my everything!
Gak nyangka...
:p
bang, satu hal lagi.
Taukah engkau, bagaimana cara membunuh Rindu?
romantis sekali ....
hmm, sungguh ini suara hati seorang penyuka perempuan yang berjiwa romantis ! dan senang mengetahui jenis ini ternyata sungguh mencintai sang istri, dan bukan seorang bajingan...:) semoga cintanya selalu dan hanya membara bagi sang istri tercinta !
very good writing, indeed !
kok saya malah membaca sesuatu yang berbeda yah...hehehe...
seperti membaca sebuah pengakuan akan sebuah kesalahan yang tak mampu diucapkan langsung kepadanya...
seakan posting ini membenarkan si empunya cerita akan kisah2 di posting sebelumnya...
hahahahha....
sori kalo' salah...kan tebak2 buah manggis...
pizz mas...piss mbak...(istri mas arief)
kadang kita perlu gersang dan meriang terlebih dahulu untuk tersadar bahwa ternyata hanya kepada dermaga setia itulah kita butuh berlabuh...
so mas, siapkan perahu! bukankah dermaga itu setia menantimu?
@Hezra
huss... nggak usah diperjelas dong, Hez. itu bahan yg mau kutanyakan nanti kalo ketemu e. aku merasakan yg sama. hahaha...
@Tuan Rumah
pis ah !
@Hezra dan mas Goen, hwahahhaaa... Saya no koment, nunggu sms-nya ajah dah.. Hihihi...
Kulitku yang hitam kau bilang pualam. Rambutku yang buruk rupa kau bilang mahkota.
perlu dicek kebenarannya nih apa betul dibilang pualam dan mahkota.
EM
cieee...cieee...
"Kulitku yang hitam kau bilang pualam. Rambutku yang buruk rupa kau bilang mahkota.."
itu bukannya pujian,mas. tapi istri mas ga tega buat ngomong yg sebenarnya. kalo ngomong yg sebenarnya ntar ga dikasih gaji bulanan,,ehehehe...
peace,mas... takut dikutuk jomblo seumur hidup :D
Posting Komentar