Seseorang bertanya begini tadi pagi: “Aku mau bikin buku, tapi bagaimana harus memulai? Mas Arief bisa bantu?”
Bikin buku tak ubahnya menyusun skripsi. Yang dibutuhkan hanya bagaimana supaya tidak garing. Skripsi, makalah, cenderung membosankan karena dicengkeram retorika, dan kosa kata yang dituangkan pun formal-formal belaka.
Buku bermula dari gagasan. Ribuan judul yang dirakkan dalam toko adalah buah pikiran yang berbeda. Kalaupun idenya serupa, pastilah sudut pandangnya berlainan.
Buku/novel laris biasanya fenomenal dan belum pernah dipublikasikan. Banyak penulis tak becus menyusun kalimat yang gurih, tetapi akhirnya diterima penerbit karena idenya maut. Penerbit mempunyai sederet editor yang siaga menyusun bahan baku menjadi sajian menarik. Belum lagi ilustrator sampul yang mahir membungkus cover.
Itu mengapa Moamar Emka mendadak terkenal dengan Jakarta Undercover-nya. Habiburrahman El Shirazy mencuat berkat Ayat-ayat Cinta. Terakhir Laskar Pelangi melambungkan Andrea Hirata.
Kembali ke teman saya tadi. Dalam SMS-nya ia menyebutkan roh buku yang mau ia bikin (maaf, gagasannya itu tak bisa saya sebutkan karena beberapa pertimbangan). Saya terkesima sebab idenya baru, walau sesungguhnya memang telah banyak terbit sajian serupa hanya beda sudut pandang saja.
Semangatnya untuk menerbitkan buku patut saya angkati topi, hanya ia lupa (atau barangkali tidak mengerti) bahwa menyodorkan naskah ke penerbit tak ubahnya melamar pekerjaan. Tahap pertama, penerbit biasanya menerima materi dengan rona muka yang membuat kita belum-belum sudah merasa buku kita bakal diterbitkan. Tetapi hingga lama, buku yang kita impikan tak kunjung diterbitkan.
Tips sederhana supaya buku kita diterbitkan kira-kira begini:
Lebih baik kita terkenal dulu supaya memuluskan jalan (Dewi Lestari contohnya, Supernova itu bisa dikarang siapa saja. Tapi bahwa ia penyanyi – yang kebetulan cantik – maka segera saja novelnya diterbitkan, dan kebetulan cukup laris)
Gagasan yang disodorkan cukup memikat, memudahkan penerbit menakar-nakar untung rugi jika menerbitkannya
Mengirim naskah dengan ujud hard copy, alias di-print out, dan tentu saja disertai CD guna memudahkan penerbit mengkaji
Sebisa mungkin menyusun kalimat bersih, alias tidak jorok, kendati penerbit memiliki editor. Naskah belepotan cenderung dibuang ke tong sampah
Naskah dikirim ke penerbit-penerbit yang kerap menerbitkan buku-buku laris. Penerbit ecek-ecek tak diminati distributor (distributor memegang peran penting menyalurkan buku/novel ke toko besar macam Gramedia). Yogyakarta dan Bandung boleh diandalkan untuk menerbitkan buku, karena di dua kota itu, di luar Jakarta, mempunyai sejumlah penerbit yang bonafid
Tips lain, meski ini remeh, namun perlu juga digarisbawahi, yakni faktor kedekatan. Penulis sebaiknya punya relationship dengan penerbit agar naskah yang kita kirimkan minimal diperhatikan. Kalau sudah dekat tapi ternyata buku tak diterbitkan juga, ya berarti naskahnya memang belum pantas dijual di pasaran
Akan tetapi, agar kita pagi-pagi tidak ciut nyali, ada satu realita yang membuat spirit penulis tetap menyala. Kebanyakan penerbit mematok target jumlah buku (baca: judul) yang kudu diterbitkan dalam kurun waktu tertentu.
Itu mengapa terkadang mereka memaksakan diri untuk menerbitkan buku guna menginjak target tersebut, biarpun kerap buku-buku mereka teronggok selama berbulan-bulan di rak toko, tanpa seorang pun meliriknya ...
12 komentar:
wealah, penting nih. TQ yo mas
Bwhakakaka .. harus terkenal dulu? Naek2 tower listrik kaleeee biar cepet tenar, bhwkakakak. Najes ah!
Mo bikin buku, tp engga pede. Makasih mas atas tipsnya, tp apa iya sih begitu? Gagasan musti orisinil gitu ya?
Kita tahu buku yg udah diterbitin itu laku di pasaran atau enggak dr mana mas? Maksudnya, apabila ada sistem rolayti, apakah kita diberitahu oleh penerbit?
pengin bikin novel, tp di toko buku udah ada ratusan judul, hiks hiks
ah, jadi rindu jalan-jalan ke toko buku. Udah sekian taun ini aku berkutat di gawe
saya punya sepetak toko buku bekas di belakang Stadion Diponegoro Semarang. Ratusan buku saya jual tp tak ada bakat saya utk menulis buku, meskipun saya suka baca-baca. Ayo datang di blok A-1, tanya nama Rusman di sana, pasti itu saya. Makasih mas arif.
wah makasih nih mas...tipsnya sangat bermanfaat...btw klu kita belum jd orang terkenal berarti kita harus bagus dalam karya dong ya...hmmm
ada bbrp temenku yg bilang kalau utk penulis pemula sebaiknya mengajukan naskah ke penerbit2 kecil saja, krn kalau ke penerbit besar saingannya banyak. bener gitu gak sih?
trus seandainya ditolak terus oleh penerbit, utk menerbitkan sendiri ide yg bagus gak
Menyodorkan naskah ke penerbit kecil itu jelas bukan haram. Malah, nanti kalau buku kita meledak bisa mendongkrak penerbit mungil ini.
Cuma, penerbit kecil tak ubahnya memuasi kita aja lantaran buku kita diterbitkan. Terus juga toko buku gede macam Gramedia kurang minat menyedot buku dari penerbit cabe rawit. Padahal untuk terkenal, penulis perlu menyeruak ke toko raksasa, kecuali kita memang hanya pengin buku kita tersebut dijajakan di kaki lima.
Tambahan lagi, penerbit-penerbit kecil banyak yang belum memiliki ISBN, alias ijin penerbitan yang mengasumsikan buku-buku yang diterbitkan adalah produk bajakan. Toko buku besar (Kharisma, Gunung Agung, Gramedia, etc) ogah menerima buku ilegal.
Menerbitkan buku sendiri juga oke tuh. Cuman budgetnya gede loh. Kata teman-teman saya, butuh sekitar 10 juta perak untuk ongkos cetak dan kertas.
well, posting ini very useful for me mas...
hehe, namanya pengen bikin buku...pasti pengen yah...
thx ya mas...tp, utk point terakhir yang katanya remeh, justru menurut saya, itu yang paling sulit...sapa ya?
gitu toch caranya.....
Posting Komentar